headnya

Tuesday, September 27, 2005

REFLEKSI NILAI PENDIDIKAN


Kampus ini tidak luas. Bangunan yang satu dengan yang lain jaraknya berdekatan.Di tengah kampus ada gedung multi fungsi yang diberi nama Sasana Ajiyasa. Disebelahnya ada kantin yang mudah dicapai dari segenap penjuru kampus. Kedekatanjarak dan penempatan fasilitas publik di tengah kampus memungkinkan segenap civitas akademika saling mengenal satu sama lain, atau setidaknya punyakesempatan bertegur sapa. Di belakang Sasana Ajiyasa ada perpustakaan, dan diantara kedua bangunan itu ada pohon beringin besar yang belakangan dikenal sebagai ruang kuliah alternatif bagi beberapa mahasiswa yang gelisah mencarijati dirinya.

TAHUN PERTAMA
Tahun 1980. Hari masih pagi ketika seorang mahasiswa baru memasuki halamankampus. Namanya Yus Brahim asal Aceh, jurusan seni lukis. Dia tengokkanan-kiri, masih lengang. Belum ada mahasiswa satupun. Yang ada hanyalahtukang sapu yang sedang membersihkan halaman depan.“ Kok masih sepi pak ?, “ dia bertanya pada tukang sapu tadi. Seharusnya para mahasiswa sudah ada yang datang untuk mengikuti kuliah jam pertama.“ Ooo… kamu datang kepagian. Nanti jam 9 baru rame,” jawab tukang sapu.Semangatnya yang menyala sebagai mahasiswa baru dan berasal dari pulau seberangmulai terusik. Sewaktu masih di Aceh dia bersekolah di sebuah SMA yang memilikireputasi baik dan sangat disiplin. Jam 7 ketika para pelajar sudah masukmengikuti mata pelajaran pertama, pintu pagar dikunci. Sekarang dia menjumpaikenyataaan yang sangat berbeda dengan tempat sekolahnya dulu. Lantas diaberpikir :” Ini sekolah apa bukan.”Ini adalah kesan pertamanya terhadap kampus tercinta STSRI ASRI jalan Gampingan Yogyakarta yang di kemudian hari berubah menjadi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.

KOMUNITAS POHON BERINGIN
Lama-lama Yus terbiasa dengan situasi seperti itu. Ciri khas sekolah senimanbarangkali memang begitu: Santai. Kehidupan santai dan jam kuliah yang bisamolor tidak membuatnya kecewa, bahkan kemudian dia sangat menikmatinya. Diabanyak mendapatkan pelajaran mengenai kehidupan berkesenian justru dari pergaulan dengan teman-teman kuliah dan kakak-kakak angkatan di atasnya. Dikalangan mahasiswa terdapat banyak kelompok berkesenian di sampingorganisasi-organisasi kemahasiswaan. Kelompok-kelompok ini biasanya dibentukoleh beberapa mahasiswa yang punya minat dan visi yang sama dalam berkesenian.Ada lagi kelompok yang dibentuk sebagai wadah untuk belajar berwirausaha. Yusbelum masuk kelompok manapun, namun sebagai mahasiswa baru ia ingin punya eksistensi. Ada sebuah kelompok mahasiswa senior yang tiap hari kerjanyanongkrong dan ngobrol di bawah pohon beringin. Kelompok ini cukup diseganikarena tokoh-tokohnya mempunyai daya pikat, sering berpameran dan mampu menarikbanyak mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mereka ciptakan.Salah seorang di antaranya bahkan merupakan orang yang dijadikan panutan oleh masyarakat kampung Tamansari karena mampu menumbuhkan kemampuan berwirausaha dikalangan masyarakat tersebut. Yus menyempatkan diri untuk datang ke sana setiaphari mendengarkan apa yang mereka percakapkan. Banyak percakapan berbobot yangdia serap dan tidak didapatkan di kelas. Di samping segi-segi positif yangmelekat pada kelompok ini, ada kebiasaan ganjil yang mereka lakukan setiapnongkrong di bawah beringin, yaitu minum KTI (minuman berkadar alkohol tinggi yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas bawah). Dalam keadaan antara sadar dantiada, kata-kata berbobot mengalir lancar seperti air. Yus ikut hanyut dalamkebiasaan ini. Tiada hari tanpa minum KTI. Dari sinilah muncul istilah airkata-kata untuk menyebut minuman beralkohol. Tiap hari Yus datang ke bawah pohon beringin. Lama-kelamaan dia sering mangkir kuliah sebab pohon beringin telah menjadi ruang kuliahnya yang sebenarnya, tempat ia menimba ilmu kehidupan; sampai-sampai seluruh mata kuliah di semester tertentu nilainya G(sekarang E) semua. Walau demikian ancaman drop-out tidak pernah dialami.Komunitas pohon beringin memberinya rasa aman dan menjaga agar senantiasa bebasdari luka hati dan rasa takut sehingga ia mampu mengekspresikan diri sepenuhnya.Ini bekal yang berharga untuk tegar dan berani menghadapi tantangan hidup.Sebenarnya inilah tanggung jawab setiap guru atau dosen disekolah. Diamenciptakan sebuah lagu untuk sebuah malam kesenian yang kata-katanya menjaditerkenal karena surealis sekali : Rumput-rumput di langit (Mana ada rumput dilangit). Sekali lagi dia mempertanyakan ketika kesadaran tengah singgah dalamdirinya :” Ini sekolah apa bukan.”

MENJADI ANGGOTA MENWA
Pada suatu pagi Yus nongkrong di kantin. Seorang kawan yang kebetulan anggotaResimen Mahasiswa (Menwa) datang menghampiri dan menawarkan agar mau bergabung menjadi anggota Menwa. Yus tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau militerapalagi citra Menwa sering dikaitkan dengan kaki tangan tentara. Dia tidak menanggapi ajakan itu namun sang kawan terus menerus membujuk karena diadibebani target dari atasannya agar bisa merekrut 12 orang anggota baru.Berbagai taktik dilakukan. Yus diajak minum-minum. Ketika Yus dalam keadaansetengah sadar si kawan menyodorkan formulir untuk diisi. Yus menolak, tetapisi kawan memaksa. “Kau tidak perlu mengisi, tapi berilah tanda tangan diformulir ini”, katanya. Yus menandatangani tanpa pikir panjang agar si kawantersebut segera pergi dari hadapannya. Beberapa hari kemudian si kawan datang lagi, kali ini menyodorkan seragam Menwa.“ Ini seragam yang harus kau pakai. Besok kau harus ikut pelatihan,” katanya.Yus terkejut dan menolak karena ia tidak merasa pernah mendaftarkan diri untukmenjadi anggota Menwa. “Tapi kau sudah tandatangan di formulir, kalau menolak akan dianggap sebagai pembangkang dan bisa masuk penjara,” kata si kawanmenakut-nakuti. Terbayang di benaknya dia akan diinterogasi dan disiksa sepertipesakitan. Akhirnya Yus dengan berat hati ikut pelatihan dan resmi menjadianggota Menwa. Ternyata di organisasi ini dia mendapat banyak pelajaranberharga tentang hidup berorganisasi, belajar melayani dan memperhatikan kepentingan orang lain, pelajaran yang kelak berguna ketika dia menghadapi tantangan hidup yang sebenarnya. Ia tidak menyesal dijerumuskan menjadi anggota Menwa. Barangkali baru di perguruan tinggi ini untuk menjadi Menwa seseorangharus dibuat mabuk dulu. Ini sekolah apa bukan.

UJIAN TEORI
Ujian akhir semester sudah tiba. Di Sasana Ajiyasa sedang ada ujian salah satumata kuliah teori. Ada seorang mahasiswa belum hadir. Ketika kertas-kertasjawaban dikumpulkan, barulah mahasiswa tersebut datang. Ibu dosen pengawasujian langsung memarahinya. Setelah puas memarahi bu dosen ternyata berbaikhati. Si mahasiswa diberi lembar soal dan disuruh menulis jawabannya. Setelahditunggu beberapa lama, si mahasiswa mengumpulkan lembar jawaban. Bu dosenterkejut karena lembar jawaban itu masih dalam keadaan kosong. Bu dosen marahlagi.“ Kamu tahu nggak jawaban soal nomor satu ?,” tanya bu dosen.“ Tidak,” jawab mahasiswa.“Jawabannya ini. Tulis !,” perintah bu dosen. Demikian seterusnya sampai seluruhjawaban tertulis. Dosen ini baik hati sekali. Dalam hati Yus kembali bertanya:“Ini sekolah apa bukan.”KIJANG PUTIH.Suatu hari kampus gempar. Salah seorang asisten ketua (Asket) STSRI. ASRIkehilangan mobil dinasnya ketika sedang diparkir di Malioboro. Merek mobil ituToyota kijang, berwarna putih dan masih baru. Berhari-hari kejadian itu menjadibahan pembicaraan di kampus. Sang asisten ketua sangat terpukul oleh kejadian itu. Banyak pihak menyalahkan beliau, terutama yang merasa iri atas fasilitas kampus yang diterimanya sebagai asisten ketua. Semua orang pasang telingakalau-kalau terdengar berita mengenai mobil kijang itu. Selang beberapa harikemudian ada seorang mahasiswa jurusan seni lukis melapor , bahwa ia telahmenemukan mobil tersebut dan menyimpannya di rumah kostnya. Si asisten ketuagirang bukan main dan mengabarkan berita itu kepada rekan-rekan sejawatnya.Dengan diantar oleh si mahasiswa pelapor, beliau bergegas mendatangi rumah kosttersebut diiringi beberapa stafnya , termasuk seorang dosen fotografi yang akanmeliput peristiwa menggembirakan ini. Akhirnya sampailah mereka disebuah gangsempit yang hanya cukup untuk pejalan kaki dan sepeda motor.“ Mana tempat kostmu ?, “ tanya si asisten ketua.“ Di ujung gang ini, “ jawab mahasiswa. Si asisten ketua keheranan.“ Bagaimana kamu membawa mobil itu ke pondokanmu?.”“ Dimasukkan lewat atas,” jawab si mahasiswa serius. Jawaban ini tidak masukakal, tetapi karena keinginan untuk mendapatkan mobil itu kembali sangat besar,akal sehat sudah tidak jalan. Merekapun berbondong-bondong menuju rumah kostlewat gang sempit tadi. Sesampainya di rumah kost tidak terlihat ada mobilkijang di halaman rumah itu.“ Di mana mobilnya, “ tanya asisten ketua tidak sabar.“ Sabar pak. Saya bukakan pintu rumah dulu.” Lagi-lagi ini tidak masuk akal.Lebar pintu rumah berdaun tunggal biasanya 90 sentimeter, bagaimana mungkinmobil bisa masuk. Tapi akal sehat memang sudah tidak jalan. Pintu rumah dibuka,semua orang melongok ke dalam. Di dalam rumah tampaklah sebuah lukisan besardengan objek mobil kijang putih yang baru saja diselesaikan oleh si mahasiswa.Dasar pesong (gila) !. Kejadian ini menunjukkan bahwa bukan hanya si mahasiswayang pesong, asisten ketua dan stafnya juga ikut pesong. Bagi si mahasiswamungkin ini merupakan peristiwa teaterikal, sebuah karya happening art, tetapibagi asisten ketua ini adalah kepesongan. Ini sekolah apa bukan.

LOGIKA
Mahasiswa ASRI banyak yang dianggap gila, tetapi sebetulnya mereka kritis.Mereka dengan ringan bisa membolak-balikkan logika. Pada suatu hari paramahasiswa mengikuti mata kuliah logika. Dosennya adalah pengajar TPLB (TenagaPengajar Luar Biasa) dari Universitas Gajahmada. Si Dosen menerangkan bahwamahluk yang paling sempurna di dunia adalah manusia. Dadang Kristanto,mahasiswa dari jurusan seni lukis yang sekarang menjadi dosen di Australiamenyanggah: “ Salah pak !.”“ Lalu yang benar apa ?,” tanya si dosen.“ Yang benar itik. Manusia begitu lahir tidak bisa berenang. Sebaliknya itikbegitu lahir langsung bisa berenang tanpa diajari.” Seluruh mahasiswa tertawasedangkan si dosen terpana oleh jawaban yang tak terduga. Ini sekolah apabukan.

KONSULTASI
Masa kuliah yang dijalani Yus panjang dan berlarut-larut akibat dari carabelajarnya yang santai. Dia sangat betah dengan kehidupan di kampus ini, olehsebab itu ia tidak ingin segera lulus. Hal itu ternyata juga dialami olehbeberapa mahasiswa ISI masa kini, sampai-sampai mereka membuat produk T shirt yang bertuliskan HINDARI WISUDA DINI. Seiring dengan berjalannya waktu akhirnya sampailah Yus pada tahapan di mana dia harus menulis skripsi. Dosen pembimbingnya adalah seorang yang dekat dengan mahasiswa dan punya hobby minumjuga. Beliau menyimpan beberapa botol minuman keras di rumahnya, namunisterinya hanya mengijinkannya minum jika sedang menjamu tamu. Setiap Yus minta untuk berkonsultasi, si dosen menyarankan untuk konsultasi di rumah saja. Pada suatu sore Yus datang ke rumah si dosen untuk berkonsultasi. Sambil berkonsultasi si dosen mengajaknya minum minuman keras. “ Kemarin teman sayadatang membawa oleh-oleh ini. Jadi mari kita nikmati bersama”, kata si dosenmembuka upacara minum-minum itu. Akibatnya pembicaraan berkembang melantur kesana –kemari tanpa ujung pangkal. Yus pulang dengan perasaan puas tapi hasil konsultasinya nihil. Beberapa hari kemudian Yus datang lagi ke rumah dosenuntuk berkonsultasi. Si dosen kembali mengajaknya minum-minum dengan diawalioleh kalimat pembuka yang sama : “Kemarin teman saya datang membawa oleh-olehini. Jadi mari kita nikmati bersama.” Perkembangan skripsi Yus seolah berjalandi tempat karena setiap konsultasi tidak banyak membawa hasil, tetapi hubungan antara dosen dan mahasiswa menjadi cair. Si dosen telah menanggalkan otoritasnya. Otoritas pada dasarnya pengingkaran kebebasan dan menekankemampuan berinisiatif. Sekarang tergantung bagaimana mahasiswa memanfaatkannya. Sekali lagi Yus bertanya dalam hati:” Ini sekolah apa bukan.”

SAPUKALA
Ada seorang mahasiswa jurusan seni grafik bernama Sapukala. Berkacamata tebal sehingga kesan pertama bagi orang yang menjumpainya, ia adalah kutu buku. Iamerupakan salah satu dari mahasiswa yang berperilaku eksentrik selain Yus. Iatidak pernah pulang ke rumah kostnya, melainkan selalu tidur di kampus. Didekat perpustakaan ada bangkai mobil pick up. Di bak mobil itulah ia palingsering tidur. Kadang-kadang ia juga tidur di loteng yang terletak di ataskelas. Pokoknya di mana ada tempat yang aman dan hangat, disitulah ia tidur.Semua orang termasuk para dosen dan karyawan tahu akan hal itu, tetapimembiarkannya terjadi karena ia tak pernah meninggalkan jejak di mana ia tidur.Pada suatu pagi ketika kuliah sedang berlangsung tiba-tiba terdengar suara diatas kelas, lalu lubang plafond perlahan-lahan terbuka. Dosen menghentikan kuliahnya, para mahasiswa mendongak ke atas menyaksikan apa yang terjadi.Sebuah kaki menjulur keluar dari lubang plafond. Dosen dan para mahasiswapeserta kuliah terdiam. Kaki yang lain menyusul perlahan-lahan sampai akhirnyaseluruh tubuh muncul dari lubang plafond. Ternyata dia adalah Sapukala yangbaru bangun dari tidur !. Tepuk tangan segera menyambut kehadiran Sapukala dikelas lewat lubang plafond. Ini sekolah apa bukan.

UJIAN SKRIPSI
Sekolah bukan sekedar tempat untuk belajar tentang pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, tetapi juga tentang seni hidup dengansegala kompleksitas dan kepelikannya. Itulah yang dirasakan Yus dalam kehidupankampus yang sepintas terkesan amburadul ini. Kehidupan kampus ini memiliki barayang mencairkan segenap sekat-sekat perbedaan, sehingga Yus merasa bahwa inilahrumah keduanya. Oleh karena itu ia tidak ingin segera lulus. Lama kelamaan iatermasuk salah seorang yang kedaluwarsa masa studinya. Berbagai upaya dilakukanpara dosen agar para mahasiswa ini dapat meyelesaikan studinya secara baik-baik,bukan karena didrop-out. Ada dosen prihatin dengan mahasiswa bimbingannya sebabtidak pernah datang untuk konsultasi. Beliau dengan susah payah mencari tempatkost mahasiswa itu, masuk keluar gang sambil menuntun sepeda motor. Mahasiswayang dicari si dosen malah sedang santai bermain layang-layang. Ada lagi dosenyang mau menuliskan jalan pikiran si mahasiswa karena yang bersangkutan sulitmenuangkannya dalam bentuk tulisan. Para dosen ini telah bekerja melebihitanggungjawabnya.Waktu terus berjalan, akhirnya Yus Brahim berhasil menyelesaikan penulisanskripsinya. Yus berpikir, setelah ujian dan diwisuda, mau tidak mau ia harusmeninggalkan kampus. Ia masih kerasan, belum rela untuk pergi. Oleh karena itupada hari jadwal ujiannya, ia pura-pura ketiduran supaya ujiannya bisa ditundasampai semester depan. Jam menunjukkan pukul 10.00. Jadwal ujiannya jam 9.00.Yus kegirangan karena sudah terlambat untuk ujian skripsi. Ternyata kemudiandatang petugas menjemputnya dan mengatakan bahwa ia harus ujian sekarang juga.Terpaksa ia berangkat ke kampus.Para dosen penguji mengajukan pertanyaan-pertanyaan, namun Yus diam seribubahasa,karena memang ia tidak belajar sama sekali untuk mempersiapkan ujian.Akhirnya salah seorang dosen membisikkan jawabannya sementara dosen-dosen yanglain pura-pura tidak tahu. Yus dinyatakan lulus. Dia lagi-lagi bergumam :”Inisekolah apa bukan.”

REUNI
Tahun 2004, Yus jauh-jauh dari Aceh datang ke Yogya untuk reuni. Kini ia adalahkandidat anggota DPRD yang sebentar lagi dilantik. ISI sudah pindah ke Sewon,Bantul. Kampus Gampingan porak-poranda dijarah oleh orang-orang tidakbertanggungjawab. Halamannya dipenuhi ilalang setinggi dada. Coretan dantulisan-tulisan bernada marah memenuhi dinding. Para alumni, dosen danmahasiswa menyempatkan diri untuk menengok bekas kampus ini. Di bawah pohonberingin yang menyimpan sejuta kenangan Yus meraih gitar dan menyanyikan lagurumput-rumput di langit. Setelah itu kepada para mahasiswa, dosen dan alumniyang mengitarinya Yus mendongeng tentang masa lalunya di kampus ini diakhiridengan renungan :“ Kalau dibandingkan dengan kampus lain, ini sekolah apa bukan ya. Kampus iniunik tidak ada duanya di Indonesia bahkan di dunia. Kampus yang mengajarkanilmu kehidupan. Kampus yang punya hati, yang peduli terhadap nasib mahasiswayang dianggap sebagai orang buangan. Agaknya inilah sekolah yang sebenarnya,bukan sekedar pabrik yang menghasilkan orang-orang pintar tapi tak punya hati.Kampus yang tidak membuat luka hati anak didiknya akan selalu dikenang danmempunyai maknit yang menarik lulusannya untuk sesekali berkunjung kealmamaternya”.

( Hendro Purwoko)

Bahan bacaan :
Krishnamurti J. 1981. Letters to The Schools. Diterjemahkan oleh Yayasan Krishnamurti Indonesia. London. Krishnamurti Foundation Trust Ltd .

Labels:

INOVASI MEDIA RUANG LUAR DALAM URBAN DESAIN


Oleh: Mohammad Danisworo (Laboratorium Pusat Studi Urban Desain, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Bandung)

PETER Drucker (1992) menyatakan pada awal tahun 1990-an bahwa basis utama faktor produksi pada tatanan Ekonomi Lama yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal akan diambil alih oleh faktor baru yaitu informasi, pengetahuan, dan teknologi.
PADA saat ini, proses transformasi sedang berlangsung dengan pasti dari tatanan Ekonomi Lama ke tatanan Ekonomi Baru, dari penekanan pada kegiatan memproses sumber daya produksi yang bersifat fisik kepada penekanan kegiatan memproses sumber daya yang berbasis pada informasi dan pengetahuan.

Dalam kondisi pasar yang semakin hiperkompetitif, persaingan pasar berlangsung dengan memanfaatkan pengetahuan, informasi, dan teknologi sebagai basis operasi. Oleh karena itu, kelangsungan dari keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu usaha akan sangat tergantung kepada kapasitas inovatif yang dimiliki usaha tersebut.
Peluang yang diberikan oleh tatanan Ekonomi Baru ini telah dimanfaatkan para pelaku bisnis yang secara jeli melihat potensi ruang kota sebagai media logis untuk menyampaiakan pesan-pesannya kepada masyarakat luas. Mereka juga melihat dengan memadukan secara sistematis serta inovatif materi informasi yang ingin disampaikan ke dalam lanskap kota, mereka akan dapat secara mudah menjaring jumlah peminat yang cukup besar atas produk-produk yang mereka peragakan dengan harapan pada akhirnya di antara para peminat tersebut, dalam jumlah cukup signifikan, akan mengambil keputusan untuk membeli.

Ruang kota dan maknanya
Ruang kota memang dapat dikiaskan sebagai sebuah buku atau majalah berukuran raksasa, di mana segmen-segmen ruang kota dapat disamakan dengan lembar-lembar halaman.
Setiap segmen kota yang kita lalui menyuguhkan informasi kepada kita dan setelah melalui beberapa bagian ruang kota, maka kita mendapatkan serentetan informasi yang berbeda-beda, ada yang menarik dan ada yang membosankan.

Berbeda dari buku atau majalah di mana untuk membaca isinya kita harus membuka halaman demi halamannya, maka pada ruang kota halaman-halaman itu terbuka dengan sendirinya bagi kita dan menyodorkan isinya langsung ke hadapan kita pada saat kita melaluinya. Pada akhir perjalanan, maka kita mendapatkan banyak pelajaran dan pengetahuan tentang isi ruang kota.
Dengan pengertian tentang potensi yang dimiliki ruang kota ini, maka tidaklah mengherankan bila komunitas media, yaitu perusahaan media, agen periklanan dan produsen, berangsur-angsur menjadi semakin sensitif terhadap kapasitas yang dimiliki oleh ruang kota.

Mereka berlomba dengan berbagai cara untuk mendapatkan lokasi strategis di dalam kota bagi penempatan titik-titik media ruang luarnya. Iklan memang merupakan alat yang tangguh bagi penyebaran informasi untuk kepentingan pemasaran. Alat ini akan menjadi semakin kuat pengaruhnya apabila ditempatkan pada sudut-sudut kota yang dapat memberi kesempatan kepada publik untuk mendapatkan akses visual yang baik ke arah sumber informasi tersebut.
Bisnis media ruang luar memang cukup menggiurkan karena melibatkan anggaran biaya sangat besar. Dampaknya mudah diduga yaitu tumpang-tindihnya titik-titik reklame di areal strategis tetapi sempit, atau bertebarannya papan reklame secara acak dengan ukuran beragam dan cenderung semakin besar sepanjang jalan utama kota. Kenyataan ini semakin menjadi jelas pada kota-kota yang tidak memiliki instrumen yang mengatur penataan titik reklame serta penyebarannya di dalam ruang kota.

Keberadaan papan-papan reklame tanpa penataan yang konseptual memang merupakan bumerang bagi kualitas visual kota. Di satu sisi, kehadirannya memberi akses kepada informasi bagi masyarakat luas kota serta memberi kontribusi positif bagi pendapatan asli daerah, namun pada sisi lain keberadaannya di ruang kota sering cenderung menghalangi pandangan ke arah elemen-elemen kota yang justru menarik dinikmati seperti arsitektur bangunan, unsur lanskap kota, dan sebagainya. Akibat hal tersebut adalah merosotnya kualitas visual kota karena ruang kota dilanda polusi papan reklame yang berlebihan.

Perlu diketahui, salah satu aspek penting yang menentukan kualitas desain urban adalah kualitas visualnya. Artinya, kota itu harus memiliki keindahan, baik yang bersifat alami maupun buatan, memiliki jati diri yang kuat, informatif dan tidak membingungkan. Kualitas visual ini dibentuk oleh komposisi urban desain dari elemen-elemen ruang kota seperti arsitektur bangunan serta konservasi bangunan tuanya, estetika taman kota dan arsitektur lanskapnya, geometri jalur jalannya, serta unsur infrastruktur pendukungnya seperti jembatan penyeberangan orang dan jembatan layang.

Elemen-elemen desain urban ini merupakan materi informasi yang terkandung di dalam lembar-lembar buku raksasa kota yang bercerita tentang ruang dan waktu. Alangkah menyedihkan apabila cerita indah tentang kota itu dikacaukan oleh kehadiran elemen media ruang luar yang berantakan, tidak saja bidang bidang luas reklame tersebut menghalangi pandangan ke arah elemen kota yang bagus, tetapi kaki-kakinya juga merebut ruang publik dan mendesak pejalan kaki ke badan jalan untuk bersaing ruang dengan kendaraan bermotor. Sungguh merupakan sebuah story book (buku cerita) yang menyedihkan.

Memang tidak semua sisi dari aspek visual kota itu menarik dilihat, bahkan barangkali lebih banyak lagi yang tidak sedap dipandang sehingga merupakan ganjalan di dalam mata.
Banyak dari sisi bangunan gedung yang lebih berwujud sebagai dinding mati dan memiliki kinerja visual yang buruk untuk dipandang, akan tetapi justru menempati sudut pandangan strategis dalam ruang kota.

Di Jakarta banyak terdapat kerangka-kerangka gedung yang terlantar akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang tidak menentu nasibnya kapan akan diselesaikan pembangunannya. Hampir semua menempati lokasi-lokasi prima dan strategis di ruang kota, namun ungkapan yang dapat ditarik dari kehadiran elemen kota yang tidak selesai tersebut adalah cerita sedih dari luka ekonomi bangsa yang dalam.

Namun, haruskah kita terus bersedih. Bisakah kita mengubah masalah visual ini menjadi suatu potensi untuk menjadikan wajah kota menjadi lebih bergairah dan ceria. Ini adalah tantangan bagi para pakar desain urban, pemerintah kota, dan pelaku bisnis media ruang luar untuk menemu kenali potensi yang dikandung oleh elemen "ganjalan mata" ini.

Teknologi selubung pembungkus
Kenyataan yang mirip juga dialami kota-kota besar lain di dunia. Era Ekonomi Baru yang berbasis pada sistem informasi dan pengetahuan telah mendorong pencarian serta penciptaan berbagai bentuk medium yang bisa dipakai sebagai basis penyebaran informasi.

Dengan dibantu pakar komunikasi visual, pelaku bisnis media ruang luar mulai melihat sisi buruk dan tidak produktif dari wajah kota dapat disulap menjadi komponen yang produktif dengan cara menyulamkan pesan komersial sebagai bagian integral dari elemen kota yang sudah ada.
Mengingat besarnya elemen bangunan, maka ukuran bidang informasi yang disuguhkan pun harus berukuran super besar sehingga pengaruh yang dihasilkannya juga berdampak besar.

Wacana ini juga telah menggugah kreativitas para artis grafis untuk menjadikan poster raksasa sebagai karya seni dan budaya yang sekaligus menjadikan ruang kota sebagai galeri seni raksasa.
Penemuan teknologi cetak untuk large images (gambar besar) dengan kualitas yang menghasilkan kesan gambar yang hidup serta hasil pengembangan teknologi wrapping (selubung pembungkus) untuk bidang super besar dan luas telah menjadikan wacana tadi suatu kenyataan.
Kelebihan cara penyajian informasi ini dibanding dengan sistem billboard yang konvensional adalah bahwa meskipun gambar yang disajikan berukuran raksasa, namun kehadirannya tidak menghalangi pandangan ke elemen-elemen ruang kota yang ada karena ia merupakan bagian integral dari elemen-elemen kota yag sudah ada yaitu gedung-gedung itu sendiri.

Selain itu, keberadaannya juga tidak mengusik trotoar yang ada yang menyebabkan pejalan kaki harus tersingkir ke jalur mobil. Tata informasi ini bila diterapkan secara inovatif bahkan dapat memperkaya khazanah urban desain kota.

Aplikasi nyata teknologi wraping telah dilakukan di beberapa kota dunia, antara lain di New York City, Munich, dan Sydney. Di kota New York teknologi ini disesuaikan dengan kondisi bidang bangunan yang ditutup di mana tampak antara lain dari jendela-jendela bangunan yang masih dapat berfungsi seperti adanya. Begitu juga di kota Munich, Jerman, wrapping secara penuh dilakukan pada kerangka bangunan. Sedang di Jalan Thamrin, Jakarta, teknologi wrapping belum mendapat perhatian sewajarnya, terlihat antara lain pada wacana yang memanfaatkan kerangka struktur bangunan Westin Hotel dan sosok gedung Chandra yang terlihat terlantar.***


Labels:

MENGENAL AKSI SENIMAN URBAN

oleh : Agung Puspito



Kota adalah pusat peradaban manusia. Ia ditandai dengan intensitas pergaulan warganya yang tak sebatas lokal, tapi juga nasional, bahkan global. Warga kota, kaum urban itu, juga amat beragam dalam hal profesi. Ada pedagang, birokrat, pendidik, buruh, intelektual, seniman.
Siapakah yang disebut paling akhir? Seniman urban atau perupa urban, jelas akrab bergaul dengan seni rupa urban. Ketua Jurusan Seni Murni Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Tri Aru Wiratno, SSn menjelaskan lebih jauh. “Seni rupa urban berhubungan dengan masalah budaya kota, di mana terjadi akulturasi lokal maupun internasional. ”
Menurut Tri Aru, masalah budaya kota adalah, “bagaimana karya seni rupa berinteraksi dengan masyarakat sosial budaya kota. Jadi, perkembangan suatu masyarakat berkaitan dengan kultur masyarakat lokal dan internasional. ”

Seni rupa urban mengambil bentuk-bentuknya yang khas berupa grafiti, poster, mural, komik, bill board, bahkan pamflet-pamflet politik dan produk massal seperti T-shirt. Toh, pilihan medium amat bergantung pada perupa yang bersangkutan. Ada seniman urban yang tetap membuat lukisan cat minyak di kanvas tapi dengan tema-tema kehidupan kota. Contohnya, pelukis Melodia dari Yogyakarta dengan lukisan-lukisan kendaraannya.

Lalu, meski tak selalu, para perupa urban kerap menyuarakan masalah-masalah sosial atau politik. Yang jelas, seruan mereka merupakan ekspresi individual terhadap problem-problem yang dihadapi. Mereka pada umumnya merasa berhak membuat karya seni di tempat-tempat umum, karena merasa ikut memiliki tempat-tempat tersebut. Toh, kecenderungan ini tak menafikan bahwa beberapa karya terbaik perupa urban justru dipajang di galeri-galeri, bahkan di balai lelang lukisan.

Masalahnya, setiap kota punya karakteristik seni urban yang berbeda-beda. Jika hampir setiap kota di Indonesia seperti berlomba-lomba meraih predikat sebagai kota seni dan budaya, para perupanya punya pandangan tersendiri mengenai seni rupa. Seni urban di Yogyakarta digelar bebas di jalan-jalan. Salah seorang eksponennya bernama Heri Dono. Ia memanfaatkan figur-figur visual dari seni pertunjukan tradisional yang populer, wayang, sebagai sarana komunikasi di antara khalayak ramai.
Menurut Tri Aru, kultur para seniman urban Yogya kekeluargaan dan tampak bergabung dalam komunitas-komunitas, tapi dalam berkesenian cenderung idealis dan individual. Secara institusional, “yang berperan besar tentu saja Institut Seni Indonesia (ISI), ” kata Tri menyebut perguruan tinggi seni terkenal di Yogyakarta.

Adapun komunitas yang populer adalah Apotik Komik, kelompok seniman yang menggambari dinding-dinding kayu di pinggir jalan. Didirikan pertama kali oleh Samuel Indratama pada 1997, Apotik Komik berkembang menjadi perkumpulan penting yang menghasilkan karya-karya humor yang mengomentari kondisi sosial-politik Indonesia.
Salah seorang anggota kelompok ini, Arie Dyanto (31 tahun), juga bergabung dengan para seniman komik underground. Ini jenis komik yang tak diterbitkan secara resmi oleh penerbit tertentu, biasanya dititipkan untuk dijual di kampus, dan tempat-tempat lain. Tapi, perupa urban yang pernah berpameran tunggal di Jerman (2001) ini juga bekerja dengan berbagai media, seperti lukisan, grafiti, cukilan kayu, mural, dan neon box.

“Kembalikan (kepada publik) istilah ‘ruang publik’ yang telah diselewengkan pemerintah, kelompok-kelompok radikal, dan partai-partai politik, ” Arie sempat melontarkan hal ini. Ia bicara soal dinding-dinding di jalan (ruang-ruang publik) yang selama ini hanya dipenuhi plakat-plakat milik ketiga kelompok yang dimaksud. Penulis Diana Yeh dari Inggris menyebut karya-karya Arie menjelajah masalah-masalah kontemporer masyarakat Indonesia. Karya-karya finalis Indonesia Art Awards 2001 ini juga cenderung mengeksplorasi pencarian identitas diri dalam dunia global.
Pengkajian terhadap komik juga dilakukan secara serius di Bandung. Dipelopori institusi paling top di sini, Institut Teknologi Bandung (ITB), pengkajian mencoba menemukan identitas visual komik Indonesia dan strategi pengembangan industrinya di tengah maraknya gaya visual komik Jepang. Harap maklum, masyarakat telah menerima dominasi komik Jepang, terutama jenis manga, dalam keseharian mereka, lebih dari komik-komik kreasi lokal.

Tak heran jika penulis Seno Gumira Ajidarma, dalam sebuah artikel di KCM (2004), mengemukakan, “Bisakah Anda bayangkan misalnya, bahwa telah terbit, buku How to Draw & Create Manga (sic!) misalnya, yang isinya sangat berguna untuk mempelajari teknik menggambar manga, yang dengan mudah akan kita sangka sebagai buku terjemahan dari Jepang, karena nama penulisnya ‘sangat Jepang’, tapi biodatanya menunjukkan bahwa Tatsu Maki lahir 6 Maret 1975 jam sepuluh pagi ketika hujan sedang lebat-lebatnya, bukan di Tokyo melainkan di Bandung tea?”
Akan halnya ITB, lembaga ini memang dikenal amat membuka diri terhadap teknologi asing, termasuk gaya-gaya seni Barat maupun Timur. Salah seorang alumnusnya, Irwan Darmawan alias Iweng, memanfaatkan surealisme dan ekspresionisme yang jelas-jelas gaya Barat untuk melukisi dinding-dinding di sebuah jalan di Bandung. Ia melakukannya dengan medium cat minyak.

Bagaimana dengan Jakarta? Tak seperti di Yogyakarta, ketika para senimannya tampak bebas menggelar karya-karya mereka di jalan-jalan, di ibu kota karya-karya urban macam grafiti atau mural sepertinya tak mendapat dukungan pemerintah setempat.
Salah satunya, mural di kaki jembatan di Jl Rasuna Said. Lukisan dinding bermuatan pesan antikekerasan oleh media massa itu dihapus dan diganti cat putih oleh aparat Pemda Daerah Khusus Ibukota (DKI). Menurut pejabat Pemda yang bersangkutan, lukisan itu mengandung pornografi dan Pemda tidak menerima adanya lukisan “yang tidak senonoh” (Kompas, 14/8/01).
Mural di jalan-jalan utama itu bagian dari perhelatan seni urban tahunan yang dipelopori IKJ, Jak@rt. Tampaknya, karakter seni rupa Jak@rt mencerminkan watak seniman urban Jakarta pada umumnya.

Kita melihat karya-karya mural atau grafiti mereka di dinding-dinding, biasanya tanpa nama senimannya. Lalu, dalam semalam, karya mereka dihapus aparat. Seni urban perlu berjuang agar dapat diterima salah satu komponen masyarakat urban.
Tri Aru sendiri mengakui institusi IKJ mewakili seni urban Jakarta, tapi tanpa eksponen atau nama-nama tokoh perupanya. “Yang berlaku adalah sistem, bukan personel, ” ujar Aru, menambahkan bahwa tokoh-tokoh IKJ tak terpublikasikan, tapi mereka ada.
Yang ia maksud dengan sistem adalah mekanisme perkembangan kota. Sistem kesenian urban di Jakarta bisa berjalan, dengan syarat, apabila mekanisme yang terkait dengan berbagai pihak mulai berperan. “Mekanisme ini berkaitan dengan sistem lain, misalnya, swasta, pemerintah, maupun masyarakat, ” ungkap Aru. “Di sini ada galeri, investasi asing, akumulasi kapitalistik, bisnis, kolektor, Pemda, departemen kebudayaan, ada khalayak. ”
Sambil membenarkan bahwa Pemda tak punya peranan yang mendukung seni urban, Aru menyebutkan bahwa yang banyak menentukan justru masyarakat. Peran masyarakat, sebut Aru, “lebih kepada cinta akan keindahan. ”

Masalahnya, memang, seluruh warga masyarakat perlu belajar serba sedikit pengetahuan tentang seni jika mereka mau bicara soal salah satu unsur budaya manusia ini. Tujuannya, agar tak ada penafsiran sepihak soal seni.
Tampaknya, pemerintah lokal masih mau belajar soal itu. Berawal dari “perang” poster-poster iklan maupun partai politik di fondasi jembatan-jembatan layang yang bikin gerah Pemda. Akhirnya, pemerintah DKI sendiri angkat bicara. Gubernur Sutiyoso menegaskan, dinding fondasi sebaiknya dihiasi dengan mural. Pemprov DKI mengizinkan pembuatan mural asalkan lukisan itu tak menimbulkan kesan jorok.
“Saya memberikan kesempatan kepada seniman-seniman untuk memperindah kota ini dengan aneka lukisan. Tetapi, gambarnya harus bersifat mendidik, " ujar Sutiyoso seperti dikutipkan KCM (8/4/04). Yang ia maksud adalah, “gambarnya bernuansa flora dan fauna”.

Nasib grafiti kurang lebih sama. Kreasi seni di jalan-jalan ini kerap direpresi sehingga ia tak ubahnya kegiatan gelap atau underground. Para senimannya musti main kucing-kucingan dengan aparat Pemda jika ingin membuat grafiti --mereka sebut ngebom-- di suatu lokasi pada malam hari.
Sesungguhnya, Amerika Serikat --diketahui sebagai negeri asal kebudayaan grafiti, semula juga menganggap grafiti aksi kriminal penjahat jalanan maupun aktivis politik. Tapi, pada awal 1970-an koran New York Times mulai memperkenalkan kehadiran seniman grafiti bernama TAKI 183. Ini adalah julukan bagi seorang anak bernama Demetrius asal Washington Heights yang beralamat di nomer 183. Menurut penulis Andrea Ruttan, Demetrius dianggap sebagai seniman pertama di bidang seni penulisan dinding yang mencerminkan faktor-faktor kedaerahan dan gaya individual tersebut.

Bagaimana menemukan karya-karya seni urban di Jakarta? Adalah Hary Purnomo alias Ponk Q (35 tahun), perupa urban yang juga pernah mengenyam pendidikan di IKJ, memberi tahu bagaimana menemukan karya yang dimaksud --disebut “piece”. “Tempat-tempat di mana terdapat piece di Jakarta tidak kelihatan, kecuali jika kita menelusuri jalan-jalan di pelosok ibu kota, ” kata Finalis Indonesia Art Awards 2001 ini.

Ponk Q sendiri mengerjakan billboard, salah satu bentuk aplikasi dari seni urban. Karya-karyanya antara lain, reklame Coca-cola di Cibitung, Bekasi, yang dibuat dengan media air brush. Seperti hampir semua karya Ponk-Q, iklan minuman ini adalah hasil kerja tim yang melibatkan tiga-empat orang --kebanyakan teman-temannya sesama warga IKJ.
Tinggal di Jakarta Selatan, ilustrator yang putera seorang perwira TNI Angkatan Darat ini juga pernah mengerjakan mural bagi Rumah Sakit Kesdam khusus anak-anak di Aceh. Semula, para relawan asing pasca-musibah tsunami mencoba membuat gambar-gambar yang cocok buat anak-anak. Tapi, dokter-dokter bule itu bukan pelukis, hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya, Ponk Q pun dihubungi untuk melukisi interior rumah sakit tersebut, yang ia selesaikan pada awal 2005 ini.

Selain membuat billboard, perupa berdarah Jawa Tengah-Madura ini pun sering menangani perumahan, misalnya, memenuhi pesanan rumah tinggal pribadi. “Yang paling sering buat anak-anak, ” katanya, sambil menambahkan ia juga pernah mengerjakan poster pertunjukan teater.
Ponk Q mengaku gemar menggambar sejak kecil. Ia menggambar di mana saja, di dinding, kamar, dan di benda apa saja. Seolah menunjukkan jati dirinya sebagai seniman uban, jejaka berpenampilan dandy ini juga memenuhi sepeda motornya dengan beragam hiasan mengunakan medium akrilik.
Pada akhirnya, seniman urban tak musti berkarya menggunakan medium minim. Pelukis Dede Eri Supria (49) justru menggunakan cat minyak dengan teknik amat realis untuk mencipta karyanya berjudul Too Late (2002). Pelukis kelahiran Jakarta ini mengangkat tema global dengan menggambarkan tokoh komik asal AS, Superman, tertunduk lesu tak berdaya menyaksikan meledaknya menara kembar WTC di New York.

Dede seperti hendak menunjukkan arogansi negara adidaya yang selalu mau jadi “polisi dunia” dengan memelototi sambl mengangkangi negara-negara lain. Nyatanya, justru di jantung peradaban negara itu keamanan seperti tak berfungsi dengan lolosnya sebuah pesawat nekad; meski akibat kejadian itu pemerintah AS semakin ngawur dengan merusak infrastruktur negara-negara di Asia --termasuk sebuah waduk yang amat vital bagi rakyat di Afganistan.

Reputasi Dede sebagai perupa urban tak diragukan lagi. Selama ini ia nyaris melulu melukis kehidupan rakyat kecil di ibukota, bahkan melukis potret dirinya dengan latar perumahan kumuh di bantaran kali. Ia seperti mengingatkan warga urban bahwa masalah kota tak bisa ditangani hanya oleh segelintir orang saja, betapa pun berkuasanya yang segelintir itu.


diambil dari website-nya yasri.com

Labels:

DEMI MASA...

Sengaja hari ini saya putar lagu Demi Masa-nya Cokelat berulang kali. Pusing?....memang pusing. Tak bisa mengelak lagi, ketika pemerintah akan menaikkan harga BBM. Bukan hanya pusing harga BBM-nya yang akan naik, tetapi juga mikir harga lainnya yang pasti juga ikut terbang melintasi langit, terbang....dan terus terbang.

Hoeekkk!!!...seakan tidak diberi waktu lagi untuk melonggarkan ikat pinggang eh...malah disuruh lagi mengencangkan ikat pinggang. Ada permainan apa lagi ini?...apakah semuanya harus diatasnamakan cinta tanah air?...cinta kok begini?...cinta macam apa lagi?...

Harga naik, pendapatan nggak naik tetapi pajak terus naik. Esok ada apa lagi?...demi sebuah masa, akankah seperti ini terus?

Labels:

Saturday, September 24, 2005

YANG LEBIH BERBAHAYA DARI NUKLIR

”Sekolah itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah,” begitu kata Ivan Illich. Kecaman sinis itu hingga saat ini bukanlah sekadar ungkapan apriori terhadap sekolah. Ia menjadi mantra yang hidup dan menantang bagi para pemikir pendidikan.
Kata-kata itu menjadi berbobot bukanlah sekadar ungkapannya yang bertendensi pada sikap asal nyleneh, melainkan didasarkan fakta yang melatarbelakanginya. Ilich saat itu melihat semua bentuk sekolah di berbagai negara telah terjebak pada semangat berpikir yang didasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasi dari dominasi keduanya ini kemudian melahirkan suatu corak pendidikan yang hanya sekadar menjadi agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sistem relasi kekuasaan.


Relasi itulah yang kemudian memunculkan sikap ketidakpercayaan pada netralitas pendidikan oleh para pemikir kritis radikal seperti Frantz Fanon, Paulo Freire, Antonio Gramsci, dan Ivan Ilich. Mereka menganggap bahwa segala macam bentuk pemikiran tidaklah berdiri sendiri seperti yang diasumsikan para pemikir liberal. Ia hadir dari sebuah prosesi sejarah dan selalu terkait dengan situasi zaman saat pemikiran itu ada.

Memang, dalam tataran kognitif objektivitas menjadi sebuah keabsahan bagaimana netralitas ilmu pengetahuan tetap harus diposisikan. Pemikiran itu juga menegaskan bahwa masalah yang terjadi di masyarakat bukanlah terkait dengan persoalan politik ekonomi yang ada. Oleh sebab itu, orientasi pendidikan tidak bisa dihubungkan dengan keadaaan ekonomi politik di luar pendidikan.

Objektivikasi mengacu pada asumsi independensi sesuatu yang berdiri sendiri. Dalam bidang pemikiran, ia menjadi keharusan untuk lepas dari asumsi yang lahir dari segala macam bentuk pemikiran sebelumnya. Ia juga menjadi antitesis daripada asumsi-asumsi teologis zaman pertengahan yang selalu didominasi mistisisme gereja (agama). Menjadi keharusan di sini adalah fakta dan data (empirisme) sebagai sebuah argumen untuk menyimpulkan segala sesuatu.(obw)***

Labels:



Bila engkau berarti tanah...maka berilah mereka kesuburan!
Bila engkau menemukan kebenaran...katakan pada mereka!
Apapun dirimu, matahari akan tetap menyinarimu
dan bulan akan menerangi.

Berjalanlah dalam terangNya, agar tak salah engkau melangkah.

Labels:

Friday, September 23, 2005

KETIKA BULAN MENYAPA BINTANG



Malam datanglah kau kini
Aku telah habis mantera datangkan engkau.

Mmmh...kau munculkan bulan, bukan?
Semoga bukan kekelaman melandaku atau juga
Kegetiran dalam setiap sepi.

Estetislah malam...agar kulihat bulan.
Tak hanya hitam tapibiar ada putih dan kilauannya itu
Menyempurnakan keindahannya.
Kemarin dia menyapaku, tapi ketika itu
Kau sembunyikan aku dalam awan hitammu.
Ahhh...malam, kau tidak estetis sih!

Aku tunggu dia lagi ah!...meski kau sembunyikan aku lagi (mungkin)!...
Tapi aku akan maksa...kamu sih nggak estetis!
Tapi nggak apa-apalah, kamu pasti punya maksud kan?
Malam ini ketika dia muncul, aku tidak akan
Menunggu malam keberapa lagi untuk mengatakan
Keterpesonaanku pada kehadirannya.

Malam...ternyata engkau estetis kok!


(22 Mei 2004)

Labels:

TERUNTUK ALAIA-KU


Alaia...bila tiba waktumu sekolah,
aku nggak akan menuntutmu menjadi langit,
tetapi jadilah kamu udara.

Alaia...memboloslah bila menurutmu begitu.
Bila kamu bosan dengan sistem...
aku akan mengijinkanmu.

Karena ternyata cerdas tidak harus
mengisi lembar absen, tetapi
mengisi lembar hidup untuk menunjukkan
bahwa kecerdasanmu dibutuhkan banyak orang.

Beranilah berdiri!


(dari ayah dan ibu...ternyata kamu sudah 6 bulan!)

Labels:

MAAF HANYA UNTUK RAJIN!


Mendidik bukan hanya berurusan dengan nilai akhir yang dididik. Lebih daripada itu mendidik menyoal pada penanaman nilai dan proses mencapai target dengan maksimal. Aku masih ingat ketika di SD dan SMP untuk mencapai nilai akhir yang bagus, selalu ada instruksi mengikuti kegiatan agar ada tambahan nilai. Berlanjut sewaktu SMA hanya untuk mendapatkan nilai bagus pada mata pelajaran tertentu bisa didapatkan dengan tambahan kegiatan. Penghargaan yang kadang kala tidak ada korelasinya bila tidak bisa dikatakan sebagai ‘alat pengatrol nilai’. Parahnya, praktek ini masih ada yang berlanjut di tingkat perguruan tinggi.

Dari awal memasuki sebuah pendidikan bukankah di lingkungan keluarga sendiri tertancap nilai, bahwa penanaman nilai kehidupan tidak hanya diukur dari seberapa besar penghargaan yang diterima. Proses yang baik meski tidak ada penghargaan pun bila dikatakan adil, maka masih bisa dikatakan bahwa telah terjadi proses pendidikan yang benar.

Kritik yang aku maksud dalam tulisan ini adalah masih adanya iming-iming tambahan nilai bila pelajar atau mahasiswa (anak didik) aktif mengikuti kegiatan kampus. Begitu pula praktek mendidik yang salah kaprah adalah menganggap anak didik lulus atau sebagai persyaratan lulus dihitung dari seberapa besar poin yang didapat dari kegiatan yang ia lakukan.

Memang untuk menumbuhkan sikap aktif mengikuti kegiatan atau pengalaman berorganisasi anak didik susahnya minta ampun, namun tidak dengan cara pemberian iming-iming seperti itu. Sekedar pembedaan dalam mencari format yang baik dalam sistem penilaian terhadap anak didik adalah apakah poin yang dikumpulkan anak didik selaras dengan kualitas yang dimilikinya.

Di suatu perguruan tinggi yang tidak menerapkan sistem ini, aku mendapati kualitas integritas akademik anak didik justru patut diacungi jempol. Kemampuan menguasai masalah dan memecahkan masalah dengan segala kemampuan mempertahankan argumentasinya lebih bisa diandalkan. Keseriusan mereka juga bisa dilihat dari seberapa sungguh-sungguh ia mengikuti kegiatan tersebut.

Suatu ketika ada undangan untuk menjadi moderator dalam sarasehan pers mahasiswa di suatu kampus di Jogja, aku merasakan suasana saat itu benar-benar ilmiah dan jauh dari kesan ‘hanya asal ikut dan dapat kredit poin’. Hal yang berbeda adalah ketika ada kampus yang menerapkan sistem poin ini situasi yang tercipta adalah mengembangkan kuantitas anak didik dalam membuktikan bahwa ia cukup aktif berkegiatan. Kualitas?hmm...tunggu dulu!

Ketika menghadiri sebuah seminar di kampus yang menerapkan sistem ini yang terjadi adalah berbondong-bondongnya anak didik mengikuti kegiatan ini. Tetapi apakah dijamin mereka serius mengikuti? ahhh...tampak di semua baris kursi yang berjajar, peserta seminar sibuk ngobrol sehingga menimbulkan kegaduhan dan teguran ‘pssstttt....!!!’ hilir mudik mengingatkan mereka yang ngobrol sendiri. Ketika keluar dari acara tersebut pun belum tentu mereka menguasai atau mengerti betul masalah yang diangkat dalam seminar tersebut.

Sistem ini pun terasa menyiksa bagi mereka yang memang bersungguh-sungguh menggabungkan diri mengikuti lembaga kemahasiswaan namun terganjal oleh aturan yang dibuat sendiri oleh lembaga tersebut. Dengan demikian tentunya sistem ini sangat diskriminasi sekali, mengingat poin diperoleh mereka yang hanya aktif berorganisasi karena keberadaannya dilegal-formalkan.

Sementara komunitas dari dalam mahasiswa sendiri di beberapa kampus yang menerapkan sistem ini tidak diakui, karena komunitas tersebut tidak legal. Bila demikian adanya, apa parameter yang dipakai untuk menilai anak didik aktif berorganisasi?

Apa yang aku kritik dalam sistem pendidikan tersebut sebenarnya berawal dari kegundahan, bahwa anak didik diberi ‘kemudahan’ untuk mengenalkan dunia nyata hanya dari ‘paksaan semu’ untuk mengikuti kegiatan. Sementara di luar sana, tidak ada penghargaan yang mengharuskan mereka aktif karena mau tidak mau demikian adanya. Bila tidak, maka bisa dipastikan ia akan tersingkir dalam persaingan dunia nyata yang ‘kejam’.

Seleksi alamlah yang sebenarnya akan menilai cukup ‘mumpuni’ kah mereka dalam mengembangkan kepribadiannya lewat segala kegiatan. Bila seleksi alam sudah diperkenalkan sejak dini dalam dunia pendidikan, maka aku yakin bahwa hanya mereka yang mengejar kualitas dirinya lah yang mampu berkembang.(obw)***

Labels:

DARI BUKU BEBASKAN MASYARAKAT DARI BELENGGU SEKOLAH

Karya Ivan Illich


Dalam buku yang tajam ini, Illich menggedor kesadaran kita untuk segera membuat Revolusi Budaya, yakni: sekali lagi menguji secara mendasar mitos-mitos sosial dan lembaga-lembaga yang ada di era industri-teknologi yang semakin mekanistik, anonim, massal, namun memperkurus kemanusiaan.

Telaah atas realitas 'kemajuan' yang amat komplek tersebut dimulai Illich dengan membedahnya dari sudut sekolah. Menurut dia, sekolah tidak otomatis sama dan sebangun dengan pendidikan; justru memfrustrasikan anak didik; mensponsori 'kemajuan pembangunan' yang mengagung-agungkan produksi. Universitas pun terancam menjadi sekedar pencetak dan pemasok tukang-tukang yang melayani masyarakat kapitalis-konsumeristik; memberi ijazah tanda legitimasi, dan mendesak ke pinggir orang-orang yang tidak cocok dengannya.

Apakah anggapan ‘makin pintar, makin kaya, makin berkuasa’ adalah juga paradigma nilai moral dan etika ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah ? Jika ya, lalu apa kaitannya dengan tujuan pembentukan watak kemanusiaan luhur yang digembar-gemborkan dalam setiap wejangan para guru di sekolah ? Celakanya, sekolah bukan lagi menjadi milik kaum rakyat jelata karena sekolah-sekolah di zaman modern ini sudah dikelola sebagai suatu perusahaan.

Sekolah-sekolah itu bahkan telah menjadi majikan terbesar dan paling anonim dari semua majikan. Bahkan selama 30 tahun lembaga sekolah telah digunakan sebagai alat politik rezim orde baru untuk memasung kebebasan berpikir para siswanya.

Jadi, gagasan Ivan Illich (1926 - 2002) mengenai masyarakat yang bebas dari (institusi) sekolah atau deschooling society perlu dicermati disini.
Sungguh, sebuah buku yang amat berbahaya bagi mereka yang menangkap masalahnya secara setengah-setengah.(obw)***

Labels:

PARADOKS PENDIDIKAN


Lenin bilang,”Berhematlah ekonomi dalam apapun juga, kecuali untuk keperluan pendidikan.” Itu baru ungkapan seorang pemimpin komunis yang selanjutnya menjadi pionir dalam memajukan negaranya di tengah himpitan negara-negara kapitalis. Bagaimana selanjutnya para pemikir pendidikan mengomentari dunia pendidikan sekarang? Dengarlah ucapan Ivan Illich, seorang pemerhati pendidikan. Ia berkata, “Sekolah itu candu!”. Nah!!! kalau seorang pendidik saja sudah mengatakan hal seperti itu berarti ada sesuatu yang harus diungkap dari budaya yang namanya sekolah ini.


Menyoroti pendidikan dalam kacamata komersialisasi dan kapitalisasi tentu sudah bukan lagi barang baru. Munafik bagi pendidikan sekarang yang hanya mempunyai visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Toh mereka akan cuci tangan bila bangsa ini tidak cerdas-cerdas. Karena itu bila biaya sekolah selalu naik dan mempunyai kecenderungan meninggalkan kepentingan rakyat kecil, isu komersialisasi tidak akan pernah berhenti sampai pemerintah peduli dan mengalihkan biaya perang ke biaya pendidikan. Dengan catatan juga, biaya pendidikan ini disalurkan dengan cara yang benar.

Apa yang ingin disorot di sini seperti katanya Ivan Illich adalah mengapa sekolah sampai harus divonis dengan candu. Barang yang memabukkan, membuat tak sadar hingga mati. Tak perlu kita teriak-teriak biaya pendidikan murah bagi rakyat, bila kenyataannya mereka yang sekolah pun mencekik rakyat dengan biaya yang begitu mahalnya.

Pandangan Benjamin Bloom dalam sebuah buku yang berjudul Sekolah Itu Candu mengungkapkan, bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia, yakni membentuk watak dan sikap, mengembangkan pengetahuan, serta melatih ketrampilan. Intinya sekolah bertugas mendidik manusia agar berwatak, berpengetahuan, dan berketrampilan.

Melihat ketiga hal di atas korelasi antara yang teridentifikasi dengan yang sebenarnya menjadi bias. Kapan seorang dari anak sekolahan bisa dikatakan telah trampil bila ia hanya keluar dari sekolah dengan menyandang ijasah. Atau bagaimana pula watak dan sikap bisa diukur dari seorang yang terpelajar hanya karena ia sudah lulus mengenyam mata kuliah Etika.

Apakah nilai akhir menjadi kunci seseorang bisa dikatakan terpelajar? okeylah kalau memang begitu keadaannya. Namun bisakah kepekaan sosial diri orang tersebut hanya mengandalkan nilai akhirnya?

Habibie dengan ilmu selangit pun tidak mampu menjawab persoalan sosial, karena ia sendiri tersandung kasus oleh lingkungan sosialnya sendiri. Seorang pelajar atau mahasiswa yang duduk diam, tenang dan mendengar pun tidak akan bisa cepat bertindak ketika dosen perempuannya dilecehkan oleh temannya sendiri.

Mata kuliah, mata pelajaran atau bidang studi hanyalah menjawab permukaan bukan kedalaman.(obw)***

Labels:

KATA-KATA PENGHISAP

“Jika dunia sperti pasar besar, maka pegawai akan bersaing dengan semua orang di dunia yang mampu melakukan pekerjaannya. Kita tahu ada banyak orang seperti itu dan umumnya mereka itu lapar.” (Andrew Grove, Presiden Intel Corp. dalam bukunya High Out Management).

“Ini di antara kita saja. Apa tidak lebih baik jika Bank Dunia menganjurkan pembuangan limbah industri yang kotor lebih banyak ke Negara berkembang? Dalam logika ekonomi membuang limbah beracun ke negeri berpenghasilan rendah bukan tindakan tercela dan kita harus berani menghadapinya. Saya selalu berpikir, bahwa Afrika yang jarang penduduknya tentu juga sedikir polusinya; pencemaran udara di sana masih sangat rendah dibandingkan Los Angeles atau Mexico City. Dan itu tidak efisien.” (Lawrence Summers, Wakil Sekretaris Bank Dunia dalam sebuah memo internal, 1991).

(obw)***

sumber: Majalah Kerja Budaya

Labels:

INILAH PRODUK GLOBALISASI


Kekayaan perusahaan multinasional dewasa ini sudah jauh melampaui pendapatan negara-negara di dunia. Pada 1997 total penjualan General Motors sebesar US$ 164 milyar, sementara GDP Indonesia hanya US$ 52,2 milyar.

Tiga orang terkaya di dunia saat ini menguasai asset yang nilainya sama dengan milik 600 juta orang di 48 negara termiskin. Seperlima penduduk di negeri-negeri paling kaya menguasai 86% produk domestik bruto dunia, 82 persen pasar ekspor dunia, 68% penanaman modal langsung.

Dana yang diperlukan untuk memberantas tuntas kemiskinan di 20 negeri termiskin untuk selama-lamanya hanya sekitar US$ 5,5 milyar, sementara penduduk dunia menghabiskan US$7,2 milyar per bulan untuk membeli fastfood.

Gaji CEO Walt Disney Michael Eisner sama dengan upah 100.000 buruh Haiti yang memproduksi boneka dan pakaian Disney. Atau pendapatnya sehari setara dengan upah seorang buruh selama 166 tahun.

Separuh penduduk dunia hidup dengan US$ 2 per hari, sementara pemilik Microsoft, Bill Gates berpendapatan US$95 per detik sejak Maret 1986.

Saat ini diperkirakan masih ada 840 juta orang menderita kekurangan gizi. Satu dari delapan orang di planet ini adalah pengangguran. Satu dari empat anak di dunia kini menderita kekurangan gizi, dan setiap menit ada empat anak yang meninggal dunia karena penyakit diare dan gangguan pencernaan.
(obw)***

(sumber: Majalah Kerja Budaya)

Labels:

BILA SEKOLAH ADALAH...

Berangkat pagi-pagi mendengarkan guru memberikan ilmu tapi dia gak peduli aku menangkap teorinya apa tidak, maka jangan salahkan aku bila aku mampu membuat bom hanya karena ketidaktahuanku harus aku apakan bahan-bahan kimia ini.

Mencatat teori probabilitas kemanusiaan dalam lingkaran ketidakmengertian atas tulisan per tulisan, maka jangan salahkan aku bila aku tidak mengerti kemungkinan terburuk apa bila aku tidak menolong orang yang tertabrak mobil Mercy hanya gara-gara sang guru menolak menjawab pertanyaanku pada setiap teori kemanusiaan yang didiktekannya. Padahal aku tidak setuju, karena terlalu kuno.

Tidak boleh tidur di sekolah. Tidak boleh membawa binatang kesayangan. Tidak boleh ini. Tidak boleh itu. Aku tidak pernah setuju, namun selalu tidak dijawab alasannya. Padahal kalau dijawab mungkin saja aku bisa mengerti.

Melakukan perintah namun tidak dijelaskan apa tujuan melakukan hal itu. Apa misinya dan target apa yang akan diperoleh bila melakukannya. Tidak pernah diberitahu. Aku pun seperti kerbau.

Membayar uang sekolah. Rutin iuran gedung kuliah. Rutin bayar laboratorium. Bayar ini bayar itu. Namun setiap aku melakukan kegiatan di sekolah selalu dimintai bayaran lagi. Akupun jadi mikir dan jangan pernah salahkan jalan pikiranku..untuk apa uang yang selalu aku bayarkan itu?

Tempat untuk selalu melamun, bagaimana ya caranya tetap bayar sekolah tapi bebas menggunakan alat dan fasilitasnya dan yang penting bebas berkreatifitas?-(obw)***

Labels:

UNIVERSALISME CINTA DAN GLOBALISASI PALSU

Teilhard de Chardin, ilmuwan evolusi dari Prancis yang tersohor ternyata telah memberi banyak inspirasi bagi ahli-ahli globalisasi. Karya-karyanya memberi inspirasi, misalnya pada Marshall Mc Luhan, yang bergulat dengan masalah komunikasi global, yang nantinya memberi inspirasi bagi terciptanya istilah ‘global villages’. Juga pada Kenneth Boulding, ekonom dari Universitas Colorado, yang pertama kali mencoba membuat analisis tentang struktur ekonomi global. Dan ahli yang terang-terangan mengakui pengaruh Teilhard adalah Michel Camdessus, mantan direktur IMF.

Karena inspirasi Teilhard, Camdessus yakin, bahwa dengan globalisasi manusia akan mencapai kesatuan yang mengatasi perbedaan. Namun sekaligus ia juga mengakui, bahwa globalisasi mempunyai sisi gelap yang dapat menekan kita. Kepercayaan dasar Teilhard kendati Perang Dunia Pertama terjadi adalah dunia akan berjalan menuju pada kesatuannya. Menurutnya evolusi akan mencapai fase terakhir, dimana individu-individu bersama-sama membentuk suatu unifikasi global.

Quo universalius, eo divinus: dimana pribadi menjadi makin universal, disanalah ia menjadi makin ilahi. Itulah kepercayaan dasar Teilhard tentang evolusi yang menuju kesatuan universal. Dari sana jelas, universalisme harus mengantar manusia menjadi makin spiritual dan ilahi. Universalisme demikian membebaskan manusia dari apa saja yang membatasi dirinya, terutama kebendaan. Dalam universalisme itu, manusia menemukan kebebasannya dan dengan kebebasannya itu ia bertindak, mencipta dan berpikir.

Bagi Teilhard, Perang Dunia Pertama adalah awal dari globalisasi: manusia terjerumus ke dalam perang, tapi justru karena itulah mereka sama-sama mencita-citakan kesatuan, perdamaian dan persaudaraan yang global. Tampak dalam pandangan Teilhard, evolusi menuju unifikasi global itu bukan meniadakan dunia, melainkan menyempurnakan dunia dan menyatukannya dengan pleroma (kesatuan dan kesegalaan). Dunia yang menghancurkan dirinya dengan perang bukan harus makin dibenci melainkan harus dicintai.

Dari pendapat Teilhard di atas, cita-cita globalisasi rasanya sulit dibandingkan dengan cita-cita universalisme evolutif. Kesemestaan sejati yang dicita-citakan universalisme bukanlah tujuan dari globalisasi. Globalisasi ingin menyejahterakan manusia hanya pada bidang ekonomi saja. Globalisasi juga membuka peluang yang dapat mengantar manusia ke dalam persaingan yang sengit, merobek-robeknya dengan kebendaan dan konsumerisme. Sementara tujuan kesemestaan sejati bukanlah pertama-tama kebendaan dan kemajuan ekonomi, melainkan kesempurnaan manusia dalam satu persaudaraan global di mana manusia sanggup menghilangkan diri bagi sesamanya. Jadi kesempurnaan itulah semacam kesatuan cinta. Sifat kesatuan bukanlah material melainkan spiritual.

Meskipun globalisasi tidak bias dihindari, namun kita mesti curiga dan waspada. Bisa terjadi, globalisasi bukanlah menyatukan melainkan memecahkan. Globalisasi berjanji hendak mengangkat derajat yang particular dan local ke dalam yang umum dan global. Maka keluarlah slogan: makin global makin local dan globalisasi tak lain adalah lokalisasi. Aku meragukan hal itu. Globalisasi yang diidentikkan dengan lokalisasi justru harus dilihat sebagai sebentuk ungkapan baru yang mempopularisasikan penduduk dunia ini ke dalam kelompok kaya yang global dan kelompok miskin yang local.

Jadi justru dengan glokalisasi (global yang melokal) globalisasi mengandung potensi untuk mengeksklusifkan kelompok satu dari lainnya, individu satu dari lainnya. Segala ketegangan dan problem dunia tidak lagi terjadi ‘di luar’ tapi ‘di dalam’, di pusat hidup seorang individu sendiri.

Benarkah globalisasi akan membebaskan manusia dari keterikatannya? Inilah problem universalisme yang dihadapi globalisasi. Contohnya adalah masyarakat Barat sendiri. Universalisme adalah retorika yang digunakan masyarakat Barat untuk membenarkan globalisasi yang mereka pelopori. Seharusnya masyarakat Barat menerapkan universalisme itu tanpa kompromi. Ternyata tidak! Ambillah contoh, di bidang hak asasi manusia. Di negaranya, di teritorialnya, masyarakat Barat memperlakukan nilai dan norma secara total dan tanpa kompromi. Tetapi di luar negaranya, di luar teritorialnya mereka bias mengkompromikan nilai dan norma itu dengan pelbagai cara. Apalagi jika mereka mempunyai kepentingan bisnis, mereka dengan penuh ‘toleransi’ membiarkan nilai dan norma itu dilanggar. Inilah standar ganda masyarakat Barat dalam hak asasi manusia. Ini membuktikan, bahwa masyarakat Barat masih memberlakukan prinsip moral dan kaitan dengan ‘kedekatan’ dan ‘kejauhan’ jarak. Padahal katanya, dengan prinsip universalismenya, globalisasi sudah tidak memberlakukannya lagi. Itulah universalisme yang munafik dari globalisasi yang dipelopori oleh masyarakat Barat.

Apakah globalisasi telah gagal? Lihat saja nanti! Aku yang telah menolak globalisasi sejak awal akan melihat, bahwa globalisasi justru akan menjauhkan orang dari sesamanya. Nggak ada lagi uluran tangan. Tidak ada lagi kepedulian. Kaum miskin yang paling membutuhkan uluran solidaritas akan makin terisih. Karena itu jika tidak bias menyelamatkan kaum miskin yang terlokalisasi, globalisasi di abad ke-21 ini sebenarnya hanyalah ulangan dan lanjutan dari apa yang dikhawatirkan: Jangan-jangan globalisasi hanyalah garapan baru dari lagu lama tentang penjajahan dari mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah, yang sudah dimulai lima ratus tahun lalu oleh ekspedisi Vasco da Gama dan Christopher Colombus.(obw)***

(disadur seperlunya dengan pengeditan ulang dari Majalah BASIS 2003)

Labels:

IKLAN DAN KOMODITI ‘LU-GUE’


Pemaknaan atas berbagai macam citraan terutama disebabkan oleh adanya televisi berdampak pada pembelian beberapa ruang di acara televisi berbentuk iklan adalah sebuah pendeskripsian secara nyata atas sekeliling kita. Tak ditemui lagi merek tahun ‘70-an atas nama gaya hidup. Namun pembalikan fakta ini terjadi juga pada mereka yang mengaku kolektor atas merek-merek jaman dulu kala, inipun atas nama gaya hidup. Mereka pun menjadi sebuah komoditi iklan.


Apa yang sedang berlangsung dalam jalinan kompleks proses-proses sosial, psikologis dan material di mana kolektivitas membantu mengembangkan asosiasi konotatif antara feminitas, maskulinitas, modernitas dan komoditi adalah sebuah ekonomi hasrat yang beroperasi pada tingkat visual, sekaligus merupakan tumpuan utama budaya komoditi dan secara khusus merupakan tujuan budaya komoditi. Dalam sistem ekonomi hasrat semacam ini, apapun yang secara positif dan konsisten menarik pandangan mata adalah apa yang dinilai. Mereka yang berada di belakang kemudi BMW adalah citraan yang dihasilkan oleh kemewahan sebuah mobil. Iklan yang bisa mencapai tahap pencitraan ini adalah iklan yang berhasil. Tak ada yang menggugat hal ini. Begitu pula mereka yang merasa nyaman di belakang Mercy, maka iklan yang membahasa citrakan hal ini juga dianggap iklan yang berhasil.

Komoditi pada akhirnya menjadi tujuan iklan diciptakan. Budaya konsumerisme -mau tidak mau-adalah hasil komoditi yang terorganisir.

Beberapa produk melalui iklannya menembak pasar wanita, bukan tanpa alasan. Merekalah yang masih dipercaya sebagai ‘agen’ gaya hidup. Melalui merekalah ikon konsumerisme tercipta. Berapa produk saja tercipta untuk meraih simpati ikonik konsumerisme. Femininitas adalah tujuan. Ketika ikon feminitas tercipta maka sebenarnya akan selalu ada sisi kelam ikon tersebut, sama seperti mereka yang menyuarakan budaya anti konsumerisme. Nilai ketergantungan pada diri wanita terhadap produk akan senantiasa menjadi pilihan komoditi.

Tak heran ketika sinetron remaja yang dibarengi dengan iklan buat remaja bermunculan, maka yang terjadi adalah proses psikologis pencapaian pesan penggunaan produk dari makanan kecil sampai pengunaan perangkat gaya hidup. Benarlah kata Maslow tentang kebutuhan manusia, bukan saja produk di atas yang dikecap, dialek lu - gue gaya Jakarta-an pun dimakan oleh yang namanya gaya hidup.(obw)***

Labels:

IKLAN YANG AJAIB!

oleh Daniel 'Genjik' Iskandar

Bayangkan jika anda memiliki pacar yang cantik (tentu aku ndak mau punya pacar ganteng soalnya aku cowok) terus bodinya oke, terus juga lucu. Nah tapi sayangnya ada kekurangannya yaitu mboseni dan gak membuat kamu senang ... terus apa dong gunanya kalo ternyata itu nggak membahagiakan kita... nah inilah pengandaian yang saya gunakan untuk menggambarkan iklan yang banyak beredar sekarang ini. Iklan – iklan yang lucu juga menghibur banyak penontonnya (kalau iklan tv), pendengarnya (kalo radio), yang ngeliat (kalo iklan cetak atau billboard), dan banyak lagi macamnya.


Tapi sekali lagi iklan – iklan itu dinikmati sebagai hiburan dan orang-orang nggak niat untuk mengkonsumsi produk dari iklan yang bersangkutan. Sadar nggak kalo sekarang banyak iklan yang sedemikian rupa ? Memang sih kalo dilihat dari beberapa sisi ada bagusnya...setidaknya dia punya stopping power yang kuat yang membuat pemirsanya memperhatikan bahkan mengingat... tapi itu kan teorinya...toh masih banyak kejadian seperti ini (misalnya) :
X : eh udah liat iklan baru ndak di tv?
Y : yang mana?
X : itu yang ada dian sastronya ....yang terus cowoknya jatuh ke got...
Y : ooo yang itu ... iya lucu ya...
X : iya aku ketawa kenceng banget sampe diomelin tetangga...
Lalu STOP Cuma sampai di situ bahkan ketika mereka berdua bertanya – tanya apa produk yang diiklankan mereka lupa, saking lucunya iklan itu...Atau bisa juga ingetnya ke si bintang iklan bukan di produknya.


Tragis memang ketika iklan sudah kehilangan fungsinya, nggak mampu untuk menjual...terus buat apa iklan itu dibuat ? buat apa perusahaan mbuang budget gede buat mendanai biro advertising buat bikin iklan itu... jangan tanya saya lah kita sama ndak taunya hehehe. (itu kan suka – sukanya yang punya perusahaan).

Ada sebuah pendapat yang saya setujui semua hal yang sudah hilang fungsinya bakal bermetamoforsis menjadi seni...contohnya senjata. Sekarang sudah ndak ada negara yang mau perang pake alat tombak dan naik kuda...buat apa kan sekarang udah ada senapan dan kendaraan bermotor...akhirnya si tombak ini yang dulunya alat perang malah jadi barang antik (wong ndak tau dipake) jadi barang seni, terus dibeli orang tapi bukan buat ditusukin ke orang atau hewan buruan, tapi buat dipajang di ruang tamu...
Kenapa saya cerita ini? Soalnya hal yang sama hampir, mungkin bahkan sudah terjadi pada iklan. Sudah jadi seni, toh sekarang ada yang namanya seni periklanan bukannya teknik periklanan. Kadang kreativitas si creative team sebuah biro advertising memang hebat dia pinter banget bikin iklan yang kretif disukai orang banyak, kata orang desain hebat, “kenapa ya kita ndak kepikiran?” tapi kadang kreatif itu over sampe iklan itu ndak ada motivasi yang bikin orang mau beli produk itu.

Ada contoh pernah sebuah perusahaan mobil terkenal (saya ndak mau bilang wong aku ndak dibayar perusahaan itu kok) yang mengiklankan produk terbarunya dengan visuali sasi kura – kura....hebat benar mobil itu teknologinya lengkap, canggih, dan dengan kecepatan 2 mil per hari. Lho kok? Lha iya visualisasi kok kura – kura? Hewan yang faktanya jalannya lamban banget, tapi alesan si biro advertising “kan udah banyak iklan mobil pake kuda kenapa kita gak bikin pake kura – kura? Kan kontras kita bakal jadi yang pertama deh...Ya mereka memang jadi yang pertama, tapi produknya nggak kejual.
Ya sama aja bo’ong.

Saya sinis ya ...? Memang! Kadang kalo kita ke tempat biro iklan yang terkenal, di ruang depan mereka dengan bangga memajang penghargaan – penghargaan yang mereka terima ... menandakan bahwa mereka unggul, mereka memiliki kretivitas yang lebih dari yang lain, mereka ...merasa hebat. Padahal sudah fakta kalo iklan yang menang penghargaan karena uniknya atau bagus finishingnya, atau indahnya, atau apalah pemikiran juri saat itu nggak bisa menjual produknya.
Yah mereka memang sedikit menipu sih dengan memajang penghargaan itu...kenapa? Soalnya kalo saya bilang itu arogan, mereka Cuma mau nyombongin kehebatan mereka...yang belum tentu kita butuh. Yang dibutuhkan kan iklan yang menjual produk...bukan yang bisa menangin penghargaan. Mbok ya yang dipajang itu grafik penjualan produk apa kek yang pernah mereka bikinin iklannya sebagai bukti kalo produknya itu laku setelah mereka bikinin iklannya. Ndak tapi itu ndak pernah.

Terus gimana cara bikin iklan yang bagus? Yang penting selain bagus harus ada motivasi...ya supaya orang mau beli produknya habis liat iklannya. Itu yang penting, bukan lucunya, bukan indahnya, tapi motivasinya!

Kok saya bisa sih ngoceh panjang lebar begini? Soalnya saya habis baca buku dan kebetulan saya sependapat makanya bisa. Kalo mau tau lebih banyak beli dong bukunya baca, bukunya itu “the fall of advertising and the rise of PR” yang nulis Al Ries sama Laura Ries. Jangan takut bukunya udah diterjemahin kok udah bukan bahasa bule. Harganya juga ndak sampe jual diri. Pokoknya OK deh. Kok saya kayak ngiklanin gratis sih? Bukan itu tapi karena saya baik makanya ngasih tau ... baik kan? Tapi baik begini saya belum punya pacar, jadi yang berminat bisa cari saya sapa tau saya juga minat sama anda...pokoke cewek soale saya cowok.***



Labels:

KISAH TENTANG BONEKA CANTIK

(dari buku Barbie Culture – Ikon Budaya Konsumerisme)


Siang itu saya tertegun oleh pemandangan dua anak kecil yang asyik bermain figur wanita dari kertas. Permainan tersebut dikenal dengan permainan bongkar pasang, karena sifatnya yang memang mudah dibongkar dan dipasang. Bila bajunya tidak cocok atau disesuaikan dengan kondisi ‘cerita’nya, maka figur itu bisa dibongkar pakaiannya dan dipasang dengan pakaian yang sesuai ‘skenario’. Yang menjadi ketertegunan saya adalah betapa mereka mampu memainkan permainan itu tanpa script yang jelas layaknya sebuah teater. Imajinasi yang berkembang dan keluar dari mulut mereka sarat dengan kebiasaan yang mereka serap sehari-hari, entah itu dari TV maupun dari orang di sekeliling mereka.


Cerita di atas terjadi pada akhir tahun ‘80-an. Pada saat itu pun sebenarnya di Indonesia banyak beredar permainan tanpa bahan dasar kertas. Plastik, misalnya. Maka berkembang boneka dari bahan tersebut. Boneka saat itu hanyalah sekedar ‘boneka-bonekaan’ yang disukai anak-anak seusia SD. Harganya pun mudah dijangkau. Berbeda dengan keberadaan Barbie yang bertolak belakang dengan hal tersebut, maka Barbie lebih disukai oleh semua kalangan. Tidak hanya anak SD, mungkin anak SMP, SMU hingga ibu-ibu muda pun gemar mengoleksi benda ini.

Barbie, menurut catatan Mary dalam buku ini memasuki pasar pada tahun 1959. Tahun tersebut bersamaan pula dengan karya sosiologi karya Erving Goffman berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Goffman menulis prinsip tentang kedirian dalam era penampilan dan citra diri. Kunci pemikirannya adalah mengenai manajemen impresi (impression management). Manajemen impresi meliputi hal-hal seperti perilaku yang baik, sanjungan dan berbagai ucapan kekaguman, penyingkapan motivasi dan tindakan seseorang dan hal lain yang mencerminkan klaim positif yang dibuat orang secara diam-diam. Intinya, manajemen impresi ini lahir dari cara bersikap yang berpusat pada pakaian dan bahasa tubuh seseorang. Dibutuhkan pula bagaimana berpenampilan berupa pakaian yang tepat pada kesempatan yang tepat pula. Di sinilah rupanya Barbie banyak berperan. Ia seakan figur yang tidak pernah salah dalam mengungkapkan impresi dirinya.

Segala macam ilusi atau mungkin lebih tepat disebut imajinasi mengarah kepada keberadaan Barbie yang ‘sempurna’. Lihat saja postur tubuhnya. Rambut pirang, mata bundar berwarna biru, kaki jenjang dan perawakannya yang tinggi semampai. Sebuah gambaran ideal dan sarat dengan nilai femininitas. Bila diperhatikan dengan seksama, wajahnya pun adalah wajah yang teduh, bersahabat dan seakan-akan selalu menyapa pada siapa saja. Meski ada yang bilang, wajahnya adalah wajah yang bodoh, namun siapa saja mengamini, bahwa ada aroma kecantikan yang terpancar.
Ada nilai kepercayaan di sini. Wanita cantik dan mengumbar senyum menawan pada setiap orang tentunya memberi kepercayaan kepada orang yang belum mengenalnya untuk mendekati. Barbie yang feminin dan berambut panjang itu memberi pengaruh betapa dahsyatnya sebuah benda mati mampu memberi impian pada setiap wanita untuk mengidolakannya.

Mencari sebuah ikon budaya yang popular dewasa ini tidak sulit seiring dengan berkembangnya wacana berpikir yang disertai dengan semakin mengglobalnya acara TV dan media massa secara cepat. Bila Elvis maupun James Bond bisa dikatakan sebagai ikon budaya yang membutuhkan peng-ideal-an seorang laki-laki, maka Barbie masuk dalam wilayah ini sejajar dengan Madonna, Cher yang memiliki kaki indah maupun Mandy Moore yang mempunyai (maaf) pantat yang bagus.
Tanpa bermaksud melecehkan pihak perempuan, namun Barbie sendiri sangat bias gender. Dalam buku ini sangat jelas dipaparkan mengenai sikap feminin yang ‘seyogyanya’ dimiliki oleh perempuan. Ikon rambut panjang terurai atau dikepang mencitrakan paparan perempuan yang ‘sebenarnya’. Keanggunan, kelembutan, pancaran mata yang tertutupi oleh rambut panjang adalah citra yang berusaha dibangun oleh Barbie. Buku ini juga menyiratkan, bahwa ikon budaya konsumerisme adalah citra.

Membangun citra memang tidak hanya diraih dengan cara kepemilikan Barbie, namun bisa juga diraih oleh produk-produk maupun personal yang lebih mengedepankan citra dan gaya. Susan Pearce (1995), seorang sosiolog menekankan bahwa secara sadar atau tidak, aktifitas mengoleksi suatu produk yang sarat dengan nilai citra adalah aktifitas mengonsumsi juga. Bila demikian halnya, maka kegiatan mengoleksi bisa berarti pula tuntunan untuk mengonsumsi sebanyak mungkin. Hal demikianlah yang menggaris bawahi ungkapan, bahwa tindakan mengoleksi barangkali malah bisa jadi merepresentasikan hakikat orientasi hidup konsumtif yang penuh gaya dan citra.

Di samping hal tersebut, Pearce juga menganggap bahwa kegiatan mengoleksi ini adalah juga menyentuh persoalan pribadi. Disadari atau tidak, tindakan mengoleksi ini seringkali menggambarkan atau malah mengembangkan jati diri mereka. Sehingga Barbie dianggap juga tidak hanya merepresentasikan ikon konsumerisme melainkan juga ikon materialisme, yakin penggunaan barang-barang hak milik untuk menandakan dan membentuk jati diri seseorang. Hal inilah yang disebut sebagai narratives of experience (narasi pengalaman). Dalam narasi ini, seseorang menceritakan pengalamannya dan menceritakan latar belakang setiap bonekanya. Narasi juga bisa mencakup lebih dari itu. Narasi pengalaman mencakup cerita pengalaman sang kolektor sebagai pemimpi dan perencana, sebagai pencatat masa lalu dan pencipta masa depan, sebagai penggemar dan pemuja, sebagai orang tua dan kakek-nenek, sebagai investor dan juga sebagai konsumen.

***

Barbie yang rasis dan seksis mungkin tidak merasakan bahwa kehadirannya mampu menciptakan budaya massa yang begitu massif. Namun produsennya senang bukan main ketika produknya mampu menguasai pasar global dan menjadi acuan permainan yang ideal untuk dikoleksi. Budaya massa demikian tentunya berangkat dari pemahaman ideologi budaya massa yang menempatkan pola kesenangan konsumsi dan konsumsi kesenangan.
Pola tersebut (seperti halnya dalam budaya pop) ditangkap secara cepat oleh produsen, ketika masyarakat sekarang adalah masyarakat konsumer, masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya object-real, namun juga objek tanda. Tanda sebagaimana citra menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer.

Masyarakat konsumer sebagaimana Baudrillard (1983) menyebutnya sebagai masyarakat massa, maka media menciptakan ledakan yang luar biasa hingga mengalahkan realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau nilai tukarnya, melainkan makna dan nilai simbolnya. Baudrillard juga lebih setuju pada kejayaan era nilai tanda dan nilai simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media serta iklan.

Buku ini sangat mendalam kajian budayanya. Meski Barbie ditaruh sebagai ikon, namun buku ini menjelaskan panjang lebar mengenai kecenderungan sosial budaya masyarakat konsumer (bila tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat kapitalis) yang tidak jauh berbeda dengan perilaku Barbie saat sudah masuk tas belanja di mall. Saat memutuskan membayar boneka itulah, maka kita sudah mulai masuk dalam babak peng-adegan-an Barbie yang cantik, ramping dan bermata bundar berwarna biru. Cantik…dan memang cantik! (obw)***




Labels:

KREATIF VS NORMATIF: Sebuah Peperangan Imajinasi!

Berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan
sesuatu yang baru –dalam konsep, pengertian, penemuan maupun karya seni.
(J.C. Coleman dan C.L. Hammen – 1974)


Seorang kawan bingung ketika karyanya dikritik sebagai karya desain yang normatif. Ia berargumentasi, bahwa dalam proses berkarya tersebut ia tidak berpikir apakah karyanya akan mengarah pada eksekusi secara normatif atau tidak. Namun yang terpikirkan adalah karyanya merupakan karya yang kreatif seiring dengan proses berkarya dan berpikir dalam mengolah suatu ide. Sebaliknya kawan saya yang lain justru karyanya dikritik sebagai karya yang gila, tidak bernorma dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah estetika yang ada. Padahal argumentasinya pun tidak berbeda dengan argumentasi kawan saya yang tadi yang lebih mengedepankan proses berpikir kreatif tanpa mempertimbangkan orang lain akan menerima karyanya sebagai karya yang berestetika atau tidak.


Di luar itu ada pula anggapan, bahwa sepanjang konsumen menerima suatu produk atau pesan tersampaikan secara efektif terlepas eksekusinya tidak ada nilai estetikanya maupun nilai kreatifitasnya, maka anggapan tersebut meng-’amin’-kan suatu pendekatan kreatif. Sedangkan ada pula yang mendikotomikan tanpa dasar pemikiran yang jelas, bahwa berpikir normatif bisa menghambat proses berpikir kreatif.

Sebuah tanda tanya besar bila semua mengatasnamakan kreatif atau kreatifitas dan sebaliknya orang kreatif menolak bila dikatakan karyanya adalah karya yang normatif. Benarkah kreatif itu berlawanan dengan normatif?…uhhh….pertanyaan yang lagi-lagi butuh teori.

Pada Mulanya adalah Kreatif
Potensi untuk berkreatifitas sejak awal sudah diberikan kepada manusia. Banyak faktor yang membuat manusia harus kreatif, diantaranya adalah faktor berjuang untuk hidup. Kembali kepada pernyataan Coleman dan Hammen, berpikir kreatif tidak mengenal ruang batas maupun waktu dalam mencapai suatu pemikiran terbaru. Kang Jalaluddin Rahmat bahkan tidak bisa membedakan pemikiran orang kreatif dengan orang gila hanya karena mereka mampu berpikir di luar batas akal manusia secara kebanyakan atau dalam bahasa yang lain cara berpikirnya tidak konvensional. Bedanya, orang kreatif mampu melakukan loncatan pemikiran yang menimbulkan pencerahan atau pemecahan masalah. Sementara, orang gila tidak mampu melakukannya.

Dalam perspektif yang lain, misalnya dalam proses mengatasi suatu masalah, kita sering berpikir dengan cara berbeda-beda. Para psikolog dan ahli logika mengenal beberapa cara berpikir. Namun, tidak semua efektif bagi proses pemecahan masalah. Berpikir kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan. Dengan cara itu, seseorang akan mampu melihat persoalan dari banyak perspektif. Pasalnya, seorang pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak alternatif untuk memecahkan suatu masalah. Orang yang kreatif, pada umumnya pula mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin, biasanya dapat melakukan sesuatu yang menyimpang dari cara-cara tradisional. Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru, berguna, dan tidak terduga tetapi dapat diimplementasikan. Sampai paragraf ini mungkin mereka yang mengaku sebagai orang kreatif akan bangga karenanya.

Namun bagaimana dengan yang berpikiran normatif?

Pada Mulanya (juga) Normatif
Berpikir normatif sering dipandang sebelah mata sebagai bentuk aturan baku atau implementasi dari suatu desain grafis seperti yang dikatakan Tony Buzan dalam The Power of Creative Intelligence (2002), bahwa uniformity atau penyeragaman dipersepsikan oleh otak sebagai monotonitas (monotonity). Bila sudah pada tahap monoton, maka aspek ketertarikan menjadi tipis. Biasanya pula mereka yang berpikiran normatif sering kali dipandang sebagai ‘tameng’ atau penghambat terhadap munculnya kreatifitas yang gila.

Dalam ilmu sosiologi, normatif dipandang sebagai proses mematuhi atas aturan suatu daerah tertentu. Dalam lingkup luas, maka normatif merupakan wujud bagi sebuah kepatuhan atas batasan-batasan maupun peraturan yang dibuat.

Bila dirunut sebegitu rupa, maka antara berpikir normatif dan berpikir kreatif ada jembatan yang menghubungkan keduanya. Jadi merupakan sebuah kebohongan publik bila ada yang tidak ingin dikatakan berpikir secara normatif. Bila manusia diciptakan sedemikian rupa dengan kreatifitas sebagai modal bawaan, maka ada yang lebih dulu tercipta yaitu sebuah otak kosong (baca: kertas kosong) sebagai media mencurahkan apa saja yang ingin digali.

Disinilah letak atau posisi jembatan itu sebenarnya. Jembatan yang menghubungkan antara berpikir normatif (media, aturan, batasan dan disiplin) dan berpikir kreatif (brainstorming, pemecahan masalah dan eksekusi) tercipta. Ibarat kertas gambar, maka normatif tetap ada batas gambar yang akan dipakai atau bahan apa yang sesuai dengan kertas gambar itu. Selanjutnya pikiran kreatif muncul sebagai pemecahan masalah atas segala yang ingin dituangkan dalam kertas gambar tersebut.

Paradoksal kreatifitas
Ketika kita beramai-ramai mengerjakan sebuah karya desain grafis, maka pikiran yang tercetak utama adalah bagaimana menghasilkan karya yang kreatif atau bagaimana menghasilkan suatu karya yang harus belum pernah dibuat. Kasus menarik dalam desain sebuah iklan, misalnya adalah iklan rokok yang nyata-nyata tidak boleh menampilkan bentuk rokok atau orang yang sedang ngerokok. Jelas ini adalah lahan subur bagi kreator untuk menampilkan karyanya sebegitu rupa, bebas dan mungkin juga jauh dari kesan iklan rokok.

Namun biasanya ketika kreator ramai-ramai menghasilkan karyanya dengan batasan yang justru membuka pintu lebar bagi ide berjalan, maka sebenarnya tanpa disadari ia sedang meniti suatu ide paritas. Hal tersebut terjadi jika tidak ada antisipasi dalam strategi komunikasinya. Bila hal ini sudah tampak, maka jangan tersinggung bila Anda sudah memasuki karya yang normatif. Itulah yang terjadi bila keterbukaan terhadap karya desain grafis sebegitu rupa hingga kebebasan dalam berimajinasi dikalahkan oleh yang namanya suasana paradoksal. Sebuah situasi imajinasi yang terbentuk oleh pertentangan antara ide dan kenyataan yang telah terjadi. Yang terlibat dalam suasana paradoksal ini adalah pemikiran alam bawah sadar yang mempersilakan imajinasi berkeliaran meski kenyataannya ada ide lain yang juga sama-sama berkeliaran.

Bagaimana mengantisipasinya? Beberapa ahli psikologi imajinasi seperti Jean Paul Sartre menyebutkan untuk memiliki suatu strategi. Peperangan strategi imajinasi menjadi sebegitu rupanya hingga Baudrillard menamakannya sebagai proses simulakrum. Tidak ada patokan awal, karena semua ide serasa sama meski pada kenyataannya terjadi penyaringan ide yang diasumsikan akan dipakai oleh pihak lain.

Peperangan imajinasi pun tercipta karena adanya referensi desain untuk dianalisis sebegitu rupa dari hal teknis hingga filosofis, dari naratif hingga statistik. Menganalisa sedemikian rupa tentang timbal balik penikmat terhadap karya desain tidak hanya dilihat dari faktor-faktor pendukung, seperti penyampaian pesan secara verbal maupun visual, namun juga apa yang didapatkan lebih dari sebuah karya desain (value). Bila ditarik garis lurus terhadap apresiasi suatu karya desain ini, maka tetap tidak bisa ditampik suatu pendapat yang mengatakan, bahwa rasa, intuisi maupun kepekaan dalam membaca gambar dalam hal ini desain tetap menjadi faktor penunjang lain.

‘Rasa’ terlahir dari suatu pengalaman seluruh panca indera dalam melatih kepekaannya dalam mengapresiasi suatu karya desain. Peperangan imajinasi akan memunculkan pemenangnya bila masing-masing kreator mampu memunculkan ‘rasa’ dalam setiap karyanya. Meski desain grafis bukan seni murni, namun disinilah letak ke-ibu-annya seni rupa yang melahirkan desain grafis dengan segala ‘kodrat’ yang dimilikinya.

Maksud dari tulisan ini sebenarnya mengerucut menuju suatu titik temu yang mempertemukan antara pemahaman keliru tentang kreatif maupun normatif. Apalah artinya karya yang dianggap kreatif, bombastis atau (mungkin) juga yang monumental bila tidak ada nilai lebih yang mampu dimunculkan dari karya desain grafis tersebut. Apalagi pemikiran normatif yang cenderung statis serba berhati-hati dalam mengungkapkan ide tidak akan ada kedalamannya bila ‘rasa’ yang dimunculkan olehnya menjadi mati.

Akhirnya siapkan ide yang sudah tercampur dengan ‘rasa’ untuk membuktikan bahwa karya desain grafis Anda layak diapresiasi terlepas dari pemahaman antara kreatif maupun normatif. Karya yang normatif pun akan menjadi sesuatu yang luar biasa karena mampu menghadirkan ‘rasa’ yang tidak ditawarkan oleh ide lain.(obw)***

(pernah dimuat di Blank! Magazine 2003)















Labels:

KOMODIFIKASI KOMIK DAN KEMUNGKINANNYA

Komik dalam perkembangan kekinian menjadi suatu ikon adanya indikasi menggeliatnya kegiatan komik khususnya di Indonesia. Beberapa hal yang mendasari asumsi ini adalah menguatnya beberapa produk budaya massa yang meng-cover komik menjadi bagian dari kehidupan berkesenian sekaligus menjadi simbol budaya pop. Proses manipulasi ideologi yang tidak menempatkan ide sebagai suatu perangkat utuh dalam proses berpikir melainkan sebagai kekuatan aktif dalam perilaku sosial untuk membuat sesuatu menjadi bermakna, mulai masuk dalam kehidupan komik. Dengan kata lain, kapitalisasi komik dilihat sebagai upaya untuk menumbuhkan sikap konsumtif terhadap komik yang sudah dimodifikasi sebegitu rupa. Adakah hal ini menjadi semakin bagus dalam kehidupan dunia perkomikan ataukah malah hanya ingin mendapatkan keuntungan dari komik yang sedang tumbuh kembali?

Karena hidup dalam dunia yang serba realistis dengan segala teori probabilitasnya, maka saya mencoba berasumsi dengan segala kemungkinan-kemungkinan berikut.

Kemungkinan Kesatu
Ketika komik berkembang maka berbanding terbalik dengan hal itu adalah komik menjadi populer sebagai media komunikasi visual yang mengkomunikasikan ide sebagai bagian cerita yang berlatar belakang secara objektif maupun subjektif. Di Jepang, sebagaimana dengan karakter budaya di wilayah lain dikenal adanya pop culture yang memfasilitasi high art. Di negara tersebut, komik sudah bisa dimasukkan ke wilayah high art ini, terlepas dari apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap komik sebagai bagian dari seni, maka komik dipandang sebagai media kerja yang dihargai sejajar dengan pekerjaan lain. Pola kapitalisasi demikian tentunya menguntungkan, mengingat di Indonesia sendiri komik belum bisa menembus hal seperti itu. Dari beberapa penerbitan komik, hanya beberapa saja yang tumbuh dan berkembang. Sisanya komik dikerjakan secara studio dan pendistribusian yang indie label.


Bertolak dari hal tersebut, maka tidakkah sesungguhnya komik di Indonesia ini yang seharusnya masuk menjadi ‘seni tinggi’? Asumsi saya, masyarakat sudah terpatron untuk mengenali komik sebagai media yang tidak lumrah. Ia ‘mungkin’ dikalahkan oleh media komunikasi visual lain, selain masyarakat yang tidak mau belajar komik sama dengan ketika mereka belajar desain grafis, misalnya. Karena hal yang demikian, maka komodifikasi komik menjadi sah ketika melihat masyarakat yang pasif dalam mengapresiasi komik.

Kemungkinan Kedua
Komodifikasi komik dalam segala atribut fesyen, video klip serta merchandising sebagai upaya untuk mengangkat komik sebagai media rupa yang sama dengan media rupa lain. Studio-studio komik sering memakai komodifikasi ini tidak hanya sebagai sarana mempublikasikan komiknya agar laku, namun jauh dari hal itu sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat, bahwa komik ‘masih hidup’. Ada beberapa karya komik yang absurd (biasanya disebut komik underground) yang jauh dari pakem komik, sehingga segala bentuk komodifikasinyapun mengarah pada absurditas. Entah itu teknik cetak cover komik pada kaus hingga bahan kaus itu sendiri yang absurd dan terkesan ‘tidak bakal laku di pasaran’.

Di sinilah terletak nuansa paradoks antara kebutuhan pasar dengan kebutuhan penyaluran ideologi. Sistem kapitalisasi yang menguat pada pasar seakan memandang sebelah mata, hanya komunitas dengan ‘seni yang tinggi’ tadilah yang mampu menyerap maksud dari komikus maupun penerbit komik indie yang sangat absurd itu. Sehingga peranan komodifikasi komik di sini hanya sebatas pencerahan wacana dan bukan pada sistem tata nilai global.

Yang saya sebut komunitas dengan seni yang tinggi tadi kemungkinannya akan merasa bangga bila memakai produk hasil komodifikasi komik indie ketimbang memakai komodifikasi komik yang sudah populer di masyarakat, misalnya Spiderman, Spawn maupun Superman. Dalam kata lain, saya berasumsi bahwa komodifikasi menjadi semacam gaya hidup yang diadu dengan selera pasar. Hukumnya sama dengan pemakaian produk hasil distro yang tidak mudah ditemui dipakai oleh ‘anak-anak mall’. Hanya yang mengerti tentang peperangan idelah yang bakal mengkonsumsi produk seperti itu.

Kemungkinan Ketiga
Kapitalisasi komik berlanjut hingga komodifikasi untuk meraup keuntungan. Entah berapa banyak kaus Spiderman yang beredar di pasaran atau miniatur Spawn yang dijual di mall-mall dengan harga yang melambung tinggi dengan tujuan tidak untuk mempopulerkan komik-komik tersebut, namun lebih ke produktifitas yang mampu dibeli dari produsen-produsen produk komodifikasi. Asumsi saya, komodifikasi menjadi semacam strategi mutualisme antara komikus dan pabrik pembuat produk yang diambil dari tokoh komik.

Dalam sehari, saya bisa menjumpai banyaknya kaus bergambar Tintin berkeliaran di mall-mall dan dipakai oleh remaja penggila fesyen. Seingat saya, Tintin sendiri sudah saya baca habis waktu saya duduk di bangku SLTP (dulu SMP), namun justru sekarang Tintin ‘hidup’. Jangan-jangan remaja sekarang hanya tahu fenomenalnya Tintin, namun tidak membaca tuntas komik itu. Kemungkinannya adalah tidak ada korelasi antara komodifikasi dengan semakin menyadarnya masyarakat terhadap komik.

Komodifikasi tumbuh tidak berdasarkan diterimanya ide, namun seberapa besar pasar melihat keuntungan di balik komik yang sempat jadi bulan-bulanan stigma negatif masyarakat Indonesia. Hal ini sama dengan menjamurnya kaus bergambar Che Guevara. Bila masyarakat tahu, bahwa Che adalah tokoh komunis Kuba belum tentu remaja yang diuntungkan dan dibesarkan oleh sistem kapitalisme sempit mau memakainya. Mereka memakai karena idola mereka, misalnya Piyu Padi memakai kaus itu, maka dipakailah kaus bergambar Che Guevara meski gambar kaus yang kita lihat dipakai Piyu waktu penganugerahan Anugerah Musik Indonesia 2003 kemarin, bintang pada baretnya Che terlihat besar (?). Hukum sederhana ini mungkin kelewat sederhana, namun saya beranggapan bahwa komodifikasi dalam komik bisa membuat komik itu sendiri akan runtuh diterpa oleh keinginan-keinginan pihak peraup keuntungan.

Hal tersebut tidaklah salah mengingat ada simbiosis mutualisme di dalamnya. Hanya pengawasan dan ideologi yang teridealisasilah yang mampu menghadang keinginan ‘menyesatkan’ itu.

Kemungkinan di Satu Sisi
Yang saya ungkapkan tentang kemungkinan-kemungkinan bila komodifikasi dalam komik sangat menggila di atas sebenarnya lebih kepada menyelamatkan ideologi yang susah dikembangkan namun terrampas begitu saja oleh kepentingan pasar yang tidak tahu arah dan tujuannya. Mengembangkan komik tidak melulu hanya melalui komodifikasi, meskipun hal itu penting sebagai bagian strategi penjualan dan distribusi atau hanya ‘memotret gaya komik’ dan diaplikasikan ke media lain. Namun yang lebih penting adalah memperkaya komik di Indonesia melalui jumlah karya yang diterbitkan oleh ‘orang Indonesia’ maupun penyelenggaraan pameran buku komik serta mengenalkan studio-studio komik dirasa lebih kena impactnya ketimbang mengkomodifikasi namun membutakan masyarakat dari komik.

Di tingkat Nasional ada Pekan Komik dan Animasi Nasional sedangkan untuk tingkat institusi seperti Universitas Negeri Malang ada Pekan Komik Indonesia dan di Universitas Kristen Petra ada Pekan Komik Nasional sudah menunjukkan gejala positif. Agenda tetap dan komodifikasi yang mengikut penyelenggaraan itulah yang diharapkan bukan komodifikasi untuk selanjutnya baru penyadaran.(obw)***

(ditulis dalam rangka akan diselenggarakannya Pekan Komik Nasional 2 di Universitas Kristen Petra, Surabaya bulan November 2005)

Labels: