MAAF HANYA UNTUK RAJIN!
Mendidik bukan hanya berurusan dengan nilai akhir yang dididik. Lebih daripada itu mendidik menyoal pada penanaman nilai dan proses mencapai target dengan maksimal. Aku masih ingat ketika di SD dan SMP untuk mencapai nilai akhir yang bagus, selalu ada instruksi mengikuti kegiatan agar ada tambahan nilai. Berlanjut sewaktu SMA hanya untuk mendapatkan nilai bagus pada mata pelajaran tertentu bisa didapatkan dengan tambahan kegiatan. Penghargaan yang kadang kala tidak ada korelasinya bila tidak bisa dikatakan sebagai ‘alat pengatrol nilai’. Parahnya, praktek ini masih ada yang berlanjut di tingkat perguruan tinggi.
Dari awal memasuki sebuah pendidikan bukankah di lingkungan keluarga sendiri tertancap nilai, bahwa penanaman nilai kehidupan tidak hanya diukur dari seberapa besar penghargaan yang diterima. Proses yang baik meski tidak ada penghargaan pun bila dikatakan adil, maka masih bisa dikatakan bahwa telah terjadi proses pendidikan yang benar.
Kritik yang aku maksud dalam tulisan ini adalah masih adanya iming-iming tambahan nilai bila pelajar atau mahasiswa (anak didik) aktif mengikuti kegiatan kampus. Begitu pula praktek mendidik yang salah kaprah adalah menganggap anak didik lulus atau sebagai persyaratan lulus dihitung dari seberapa besar poin yang didapat dari kegiatan yang ia lakukan.
Memang untuk menumbuhkan sikap aktif mengikuti kegiatan atau pengalaman berorganisasi anak didik susahnya minta ampun, namun tidak dengan cara pemberian iming-iming seperti itu. Sekedar pembedaan dalam mencari format yang baik dalam sistem penilaian terhadap anak didik adalah apakah poin yang dikumpulkan anak didik selaras dengan kualitas yang dimilikinya.
Di suatu perguruan tinggi yang tidak menerapkan sistem ini, aku mendapati kualitas integritas akademik anak didik justru patut diacungi jempol. Kemampuan menguasai masalah dan memecahkan masalah dengan segala kemampuan mempertahankan argumentasinya lebih bisa diandalkan. Keseriusan mereka juga bisa dilihat dari seberapa sungguh-sungguh ia mengikuti kegiatan tersebut.
Suatu ketika ada undangan untuk menjadi moderator dalam sarasehan pers mahasiswa di suatu kampus di Jogja, aku merasakan suasana saat itu benar-benar ilmiah dan jauh dari kesan ‘hanya asal ikut dan dapat kredit poin’. Hal yang berbeda adalah ketika ada kampus yang menerapkan sistem poin ini situasi yang tercipta adalah mengembangkan kuantitas anak didik dalam membuktikan bahwa ia cukup aktif berkegiatan. Kualitas?hmm...tunggu dulu!
Ketika menghadiri sebuah seminar di kampus yang menerapkan sistem ini yang terjadi adalah berbondong-bondongnya anak didik mengikuti kegiatan ini. Tetapi apakah dijamin mereka serius mengikuti? ahhh...tampak di semua baris kursi yang berjajar, peserta seminar sibuk ngobrol sehingga menimbulkan kegaduhan dan teguran ‘pssstttt....!!!’ hilir mudik mengingatkan mereka yang ngobrol sendiri. Ketika keluar dari acara tersebut pun belum tentu mereka menguasai atau mengerti betul masalah yang diangkat dalam seminar tersebut.
Sistem ini pun terasa menyiksa bagi mereka yang memang bersungguh-sungguh menggabungkan diri mengikuti lembaga kemahasiswaan namun terganjal oleh aturan yang dibuat sendiri oleh lembaga tersebut. Dengan demikian tentunya sistem ini sangat diskriminasi sekali, mengingat poin diperoleh mereka yang hanya aktif berorganisasi karena keberadaannya dilegal-formalkan.
Sementara komunitas dari dalam mahasiswa sendiri di beberapa kampus yang menerapkan sistem ini tidak diakui, karena komunitas tersebut tidak legal. Bila demikian adanya, apa parameter yang dipakai untuk menilai anak didik aktif berorganisasi?
Apa yang aku kritik dalam sistem pendidikan tersebut sebenarnya berawal dari kegundahan, bahwa anak didik diberi ‘kemudahan’ untuk mengenalkan dunia nyata hanya dari ‘paksaan semu’ untuk mengikuti kegiatan. Sementara di luar sana, tidak ada penghargaan yang mengharuskan mereka aktif karena mau tidak mau demikian adanya. Bila tidak, maka bisa dipastikan ia akan tersingkir dalam persaingan dunia nyata yang ‘kejam’.
Seleksi alamlah yang sebenarnya akan menilai cukup ‘mumpuni’ kah mereka dalam mengembangkan kepribadiannya lewat segala kegiatan. Bila seleksi alam sudah diperkenalkan sejak dini dalam dunia pendidikan, maka aku yakin bahwa hanya mereka yang mengejar kualitas dirinya lah yang mampu berkembang.(obw)***
Labels: Social Justice
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home