headnya

Saturday, January 03, 2009

LASTRI DAN BENDERA MERAH PUTIH

”Dalam kesadaran, ada perasaan spontanitas. Ada aktivitas yang suka bermain yang sadar akan dirinya, begitu saja.”
(Jean-Paul Sartre dalam The Psychology of Imagination, 1972).

Kalimat di atas memantik adanya paham baru yang bernama eksistensialisme. Eksistensialisme mulai marak di seputaran tahun 1960-an sebagai perlawanan terhadap Marxisme. Eksistensialisme ini pulalah yang menentang ideologi represif seperti ultra-nasionalisme, sosialisme atau fasisme, karena eksistensialismelah yang menjunjung tinggi kebebasan. Setiap individu diberi ruang untuk kebebasannya, artinya kebebasan yang membuatnya eksis – diakui keberadaannya sebagai pribadi. Jika kebebasan itu disangkut-pautkan dengan kejahatan, maka hal tersebut dimaknai bukan sebagai kebebasan melainkan kriminal. Bukan pula sebagai kebebasan yang kebablasan.

Karena itulah tidak perlu kiranya ada idiom yang sempat dihembuskan oleh penguasa orde baru dan diyakini hingga sekarang, yaitu kebebasan yang bertanggungjawab. Karena jika menilik pernyataan Sartre di atas, jelaslah kebebasan itu bertanggungjawab akan dirinya sendiri. Idiom kebebasan bertanggungjawab hanyalah untuk memberikan stigma negatif terhadap kebebasan itu sendiri.

Seni dan Persepsi Imajinasi
Dalam berbagai kasus di Indonesia, kesenian erat dikaitkan dengan ekspresi kebebasan. Beberapa kali ekspresi seni dihadapkan pada permasalahan pelik yang berurusan dengan aparat negara maupun kelompok sipil. Mulai dari pertunjukan teater Marsinah yang dicekal oleh pemerintahan orde baru hingga yang terbaru penghentian kegiatan syuting film Lastri di Solo. Tren yang kini menghadang ekspresi seni itu justru datang dari masyarakat sipil. Inilah hal yang dikhawatirkan dari gerakan-gerakan pasca reformasi yang ditandai dengan berpindah tangannya kekerasan dari negara ke masyarakat sipil. Negara bahkan tidak berdaya lagi mengkontrol kekerasan masyarakat sipil.
Masih hangat dalam ingatan kita, pameran seni rupa Biennale di Jakarta yang diramaikan oleh demonstrasi aktivis FPI karena ada karya seni (karya Agus Suwage dan Davy Linggar) yang dikaitkan dengan pornografi. Begitu pula syuting film Lastri (diproduseri Marcella Zalyanti dan disutradarai oleh Eros Djarot) yang justru dihadang oleh kelompok sipil yang merasa trauma dengan kejadian di tahun 1965. Roy Suryo pun merasa perlu menggugat video klip lagu Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia milik Dewa 19 yang katanya menghina bendera merah putih.
Persepsi sering dikaitkan dengan percampuran sensasi-sensasi dan imaji dari citraan-citraan yang lahir dari sesuatu yang dilihat. Namun seperti halnya yang diucapkan Sartre, kita lebih bisa merasakan daripada melihat. Nah, dugaan saya ketakutan-ketakutan yang lahir untuk menghadang karya seni ini lebih memainkan perasaan daripada pengalaman melihat yang bersumber pada kecerdasan melihat (visual literacy).

Citraan dan Objek Seni
Para pekerja seni pastilah memiliki kesadaran konsep ketika karyanya akan dinikmati oleh khalayak luas. Kesadaran itu sendiri bahkan menjadi sesuatu yang tidak penting ketika karyanya mulai dilempar ke pasar dan dinikmati secara bebas. Termasuk juga tidak akan ada lagi klaim kebenaran mengenai pemaknaan atas citraan-citraan, karena khalayak memiliki kebebasan juga dalam memaknai. Seniman bahkan tidak memiliki klaim kebenaran itu.
Karena itulah menjadi hal yang wajar ketika masyarakat yang telah menikmati karya seni secara bebas mulai melakukan pemaknaan dan disinilah letak akar permasalahan itu, yaitu persepsi yang berbeda-beda. Sekencang-kencangnya seniman mengatakan konsepnya, tetap saja klaim itu menjadi kabur, karena karyanya menjadi milik umum. Pertanyaan kemudian adalah kapan sebuah karya bisa dikatakan lepas dari pengarangnya? Dalam era industri sekarang, jelaslah ketika karya tersebut telah didistribusikan luas ke pasar. Artinya, tentu saja ketika karya telah selesai, lengkap dengan pengemasannya yang baik.
Satu benda tentu tidak bisa dikatakan besar atau kecil jika tidak ada benda pembandingnya. Hal inilah yang kerap kali menjadi ilustrasi sebuah persepsi. Objek pembanding lengkap dengan kecerdasan visual yang didapatkan tentu dari literatur dan pengalaman visual menjadikan kita tidak mudah untuk mengatakan beda persepsi.
Dalam kasus film Lastri, bagaimana kita bisa menghakimi jika film itu bahkan masih dalam tataran konsep? Filmnya pun belum jadi, penghakiman sudah dimulai. Dalam bahasa film, konstruksi karyanya harusnya lengkap. Tidak bisa menghakimi hanya setelah membaca skenario. Setting, sinematografi hingga filosofisnya adalah kemasan yang menyatu dalam film. Dalam kasus ini, jelaslah tidak ada perbedaan persepsi namun adanya pengekangan kebebasan untuk mewujudkan sesuatu yang hanya didasarkan pada perasaan belaka (trauma – paranoid).
Bagaimana dengan video klip Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia? Dalam kasus ini, Roy Suryo rupanya tidak memiliki visual literacy. Amat disayangkan memang, seorang Roy Suryo yang dekat dengan dunia seni visual tidak mampu menghakimi sebuah karya seni dengan lengkap. Ketika peraturan pemerintah dijadikan pembanding, maka itu bukan ukuran pembanding yang pas. Yang tepat adalah, jika yang dijadikan pembanding adalah sesama karya seni. Ketika dilempar ke pasar, bendera berwarna merah dan putih dan ada logo Laskar Cinta dalam video klip itu tetaplah dimaknai sebagai bendera merah putih, meskipun Dhani Dewa kencang menyatakan bahwa itu adalah backdrop. Siapapun tahu, ”backdrop” dalam video klip itu dekat dengan bendera merah putih.
Namun yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimana dengan iklan media cetak salah satu partai yang belakangan ini kerap muncul lengkap dengan figur dewan penasihat yang adalah seorang presiden dan bahkan dalam iklan yang lain pula ada beberapa orang di atas kibaran bendera merah putih? Iklan pun adalah karya seni yang ketika ia menjadi still life (iklan media cetak), maka kita pun juga memaknai hal yang sama dengan objek citraan itu sendiri. Jelaslah, bendera merah putih itu tetaplah bendera negara Indonesia. Dan, bendera itu pun juga ditempeli diatasnya (montage) dengan gambar orang dan bendera itu bukanlah hanya sekedar dimaknai sebagai background gambar. Artinya, dalam kasus video klip Dewa 19 dengan iklan Partai Demokrat dan bahkan sering juga dilakukan oleh partai-partai yang lain adalah sama-sama menghembuskan nafas ”penghinaan” pada bendera negara, seperti pernyataan Roy Suryo. Tentu saja pernyataan tersebut lahir jika kita mengamati karya visual dengan tidak cerdas.**

Thursday, December 18, 2008

MENGANDAIKAN KOTA MERDEKA DARI PAPAN REKLAME

Tulisan ini diperuntukkan bagi masyarakat Surabaya yang mencintai keindahan kota. Masyarakat yang mulai jengah melihat kotanya diselimuti ratusan billboard dan iklan bando jalan. Masyarakat yang ingin melihat langit biru dan pepohonan bebas menjulur tanpa diselipi papan reklame. Jika ada yang tidak mencintai keindahan kota dan membaca tulisan ini, marilah kita bersama-sama membayangkan seandainya kota ini terbebas dari penjajahan papan reklame. Implikasi yang tentunya positif dibandingkan membayangkan kota ini menjadi hutan yang penuh billboard, baliho, dan bando. Dalam tulisan ini, penulis berharap agar Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Jawa Timur terbangun dari tidur dan lebih bermain kode estetis ketimbang kode etis dalam tiap aturan mainnya.
Sebetulnya, perdebatan tentang tata pemasangan billboard di Surabaya mulai diperdebatkan beberapa bulan lalu. Bahkan, kondisi tahun-tahun sebelumnya pun memancing polemik. Tragisnya, makin hari makin banyak papan reklame mengepung kota. Kondisi itu diperparah dengan maraknya billboard dan baliho para calon anggota legislatif yang seperti tidak sabar ingin segera duduk di parlemen. Di pengujung November, tensi sekitar kepungan iklan tersebut kian meningkat. Puncaknya, terjadi peristiwa ambruknya papan reklame di Jalan Kertajaya (Jawa Pos, 26/11). Berturut-turut setelah itu, Jawa Pos menurunkan berita tentang semerawutnya kota karena pemasangan papan reklame.

Di satu sisi, kian maraknya papan reklame bisa dipandang sebagai indeksikal pertumbuhan ekonomi daerah atau tingkat daya beli masyarakat. Modal ekonomi telah dimiliki oleh perorangan maupun institusi. Dari sisi politik ekonomi, menjamurnya papan reklame di suatu kota menunjukkan adanya peningkatan cara dan gaya hidup masyarakat kota. Namun, bila dilihat dari kacamata ekonomi politik, papan reklame yang bertebaran di sudut-sudut kota menunjukkan gejala penumpukan keuntungan ekonomi di satu kepentingan saja. Yakni, industri terkait yang mempromosikan produknya serta biro jasa advertising. Kondisi itu kian parah karena tidak diperhitungkannya masyarakat sebagai sebuah keseimbangan lingkungan. Artinya, masyarakat hanya ditempatkan sebagai objek penderita yang secara sadar "dipaksa" melihat pemasaran produk, tanpa ada pilihan untuk menolak. Asumsinya, jika 80 persen pengetahuan diperoleh melalui mata, media luar ruang seperti papan reklame harus efektif terlihat selama tujuh detik. Dengan demikian, tidak ada pilihan bagi pengguna jalan raya untuk "menutup mata" sejenak agar organ penglihatan ini bisa beristirahat dari hilir mudik informasi jenis itu. Padahal, informasi serupa sudah 24 jam penuh muncul di beragam media lain (radio, televisi, koran).
Overcommunicated melalui papan reklame tersebut turut menyumbang tingginya tingkat stres masyarakat Surabaya. Tampilan visual yang sebelumnya telah diperoleh di rumah melalui televisi, misalnya, harus juga mereka dinikmati melalui billboard. Itu masih ditambah keruwetan transportasi di Surabaya. Bagi pengguna jalan, satu-satunya pilihan untuk tidak kian stres di jalan adalah tidak melihat papan reklame. Namun, itu mustahil. Billboard menjadikan masyarakat "puas ditindas". Artinya, masyarakat sadar bahwa billboard di Kota Surabaya kacau balau dan saling tumpang tindih. Namun, tidak ada pilihan selain menerimanya. Itulah hegemoni para pemilik modal plus dosa visual para kreator di biro iklan.
Di sisi lain, papan reklame memang mendatangkan keuntungan bagi pemerintah daerah melalui pajak. Hanya, jika papan reklame lebih banyak merugikan daripada menguntungkan masyarakat, kenapa perizinannya tidak diperketat? Masyarakat punya hak individu dalam menentukan pilihan visual pada pemandangan kota. Tentu, tidak ada salahnya meminimalkan penggunaan media papan reklame sebagai media periklanan. Dengan hanya mengizinkan papan reklame ditempatkan di pertigaan, perempatan, atau di jembatan penyeberangan, misalnya, akan melegakan pemandangan kota.

Selebihnya, menjadi tugas kalangan akademisi untuk memikirkan media alternatif selain papan reklame. Pusat-pusat kajian dan penelitian seharusnya mampu menemukan media alternatif selain media konvensional macam billboard atau baliho. Selama ini, papan reklame masuk dalam buku-buku teori pemasaran, khususnya media periklanan. Namun, seiring perkembangan zaman, seharusnya revisi dilakukan terkait ruang publik di kota. Orang-orang kreatif yang berkecimpung di media periklanan mestinya mempertimbangkan bentuk-bentuk media luar ruang baru. Media baru yang bukan saja tidak memperkeruh wajah kota malah makin bersahabat dengan masyarakat.
Kreativitas kalangan advertising di Surabaya ditunggu dalam hal pemilihan media yang lebih humanis dan berperspektif lingkungan. Respons PPPI Jawa Timur atas kasus itu juga sangat ditunggu. Masing-masing diharapkan tidak hanya memikirkan keuntungan, tapi juga memikirkan cara menciptakan lingkungan kota yang lebih manusiawi dan layak huni.***
dimuat di Jawa Pos, 5 Desember 2008

Sunday, November 16, 2008

VISUALITAS DI JALAN RAYA DAN KORUPSI


Polda Jatim merilis hasil evaluasi program Responsible Riding (RR) dalam kerjasamanya dengan Jawa Pos sebagai tingkat keberhasilan yang signifikan (Jawa Pos, 16 Oktober 2008). Perbandingan kecelakaan pun menurun pada September – Oktober selama program ini dijalankan. Jika pada bulan Agustus (masa pra RR) terjadi kejadian 832 kasus, maka pada program RR kejadian hanya 739 kasus (minus 93), korban meninggal dunia dari 284 jiwa, hanya menjadi 280 jiwa (minus 4), kemudian korban luka berat 229 orang menjadi 204 orang (minus 25) dan korban luka ringan dari 889 orang menjadi 784 orang (minus 105). Begitu pula tren penurunan tingkat kejadian kecelakaan di jalan raya pada masa Operasi Ketupat jika dibandingkan dengan tahun 2007 menunjukkan tingkat penurunan yang bisa dikatakan signifikan (di bawah 50%).

Bagaimana dengan di Surabaya sendiri? Menurut catatan situs Berita Indonesia.com, tercatat setiap tahun tingkat kecelakaan lalulintas di Surabaya semakin meningkat. Ini terjadi sejak 5 Januari hingga 5 Juni 2008 yang mengalami kenaikan signifikan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Pada Januari hingga 5 Juni 2007 lalu dalam catatan Satlantas Polwiltabes Surabaya, jumlah kejadian mencapai 534 kasus dan pada periode yang sama tahun ini meningkat sekitar 12% menjadi 599 kasus.

Kenaikan angka juga terjadi pada korban meninggal dunia, luka berat, serta luka ringan. Jika pada periode yang sama tahun 2007 lalu ada 283 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, maka tahun ini jumlah meninggal dunia naik 33% menjadi 283 korban. Untuk luka berat tahun lalu ada 103 korban dan tahun ini naik tipis menjadi 106 orang. Begitupula dengan korban luka rungan yang tahun lalu mencapai 419 orang, tahun ini naik menjadi 485 orang. Artinya, angka-angka tersebut terjadi pada masa periode sebelum RR berlangsung.

Tanpa berpolemik mengenai signifikan atau tidaknya tren penurunan tingkat pelanggaran di jalan raya, maka menjadi hal yang menarik jika perilaku dalam berkendara dan memanfaatkan jalan raya menjadi perhatian kecil yang harus dibenahi di tengah-tengah wacana besar mengenai pemberantasan korupsi. Apa relevansi keduanya?

Visualitas di Jalan Raya
Telah diketahui oleh umum bahkan oleh tamu dari luar negeri perihal perilaku masyarakat Indonesia dalam berkendara maupun dalam menggunakan jalan raya adalah karakter masyarakat kita yang ”berani mati”. Pada kalangan anak muda, karakter yang menyerempet bahaya ini acap dipakai pada jenis olah raga yang dikenal sebagai extreme sport. Tentu saja, idiom ini bukan hal yang positif jika melihat perilaku masyarakat kita atau justru kita sendiri yang mengalaminya. Apa saja visualitas ekstrim tersebut?

Pertama, ketika ada mobil yang akan mengambil jalan mundur, maka bisa dipastikan pengguna jalan yang lain seperti sepeda atau sepeda motor akan mengambil jalan nekad, yaitu tetap jalan di belakang mobil yang berusaha mundur tersebut atau mengambil jalan di depan mobil itu. Tidak sabar menunggu mobil itu berada dalam posisi yang pas. Kedua, jika ada pejalan kaki yang akan menyeberang tepat di area zebra cross maka sepeda motor atau mobil akan tetap melaju kencang tidak memberikan jalan bagi pejalan kaki. Ketiga, rambu lalu lintas yang mengisyaratkan kecepatan dalam kota tidak boleh lebih dari 50 km/jam, maka di jalanan akan mudah terlihat sepeda motor yang melaju kencang bagai di sirkuit balapan.

Keempat, begitu lampu masih merah atau bahkan kuning, para pengguna jalan sudah berebutan membunyikan klakson tanda bahwa mereka menguasai jalanan itu sehingga hafal di luar kepala kapan lampu perempatan menjadi hijau. Kelima, di beberapa tempat di Surabaya, pejalan kaki dengan asyiknya melenggang menyeberang jalan di tengah jalan yang ramai tanpa menggunakan zebra cross atau jembatan penyeberangan. Keenam, tanpa menyalakan lampu sein ketika akan mengubah posisi jalur, mobil atau sepeda motor seenaknya saja pindah jalur. Ketujuh, kedelapan bahkan hingga kedua puluh Anda pasti dengan cepat akan menambahkan daftar saya tersebut, karena memang visualitas di jalan raya itu sangat nyata dan bahkan tanpa skenario.

Apa yang menyebabkan visualitas itu masih tetap ada hingga sekarang? Jelaslah, tingkat kesadaran dalam memperlakukan kendaraan maupun perilaku di jalan raya yang masih minus. Program RR dan mungkin program lainnya menjadi tidak bermanfaat jika tidak didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat sendiri. Seorang pemikir post-semiotik, Michel Foucault pernah berujar bahwa kekuasaan bisa terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Tidak hanya pemerintah dan aparatusnya yang sering kita anggap mereka sebagai penguasa. Artinya, sebagai manusia dengan sifatnya yang bio-politics kita dapat dengan mudah memperlakukan rambu-rambu lalu lintas, termasuk tidak menggunakan etika di jalan raya. Alih-alih kita berkuasa atas kendaraan kita sendiri, aturan di jalan raya pun tidak diperlakukan dengan etika yang benar.

Korupsi
Apa relevansi antara etika berkendara dengan pemberantasan korupsi? Dalam berbagai pertemuan ilmiah atau bahkan jurnal-jurnal ilmu pemerintahan yang berbicara tentang pemberantasan korupsi, maka logika berpikir dan konsep mereka adalah bagaimana beretika profesi. Tidak hanya mampu menahan diri dalam menyalahgunakan wewenang, namun juga bagaimana di berbagai tempat etika dijunjung tinggi. Telah banyak referensi bahkan perbicangan di media massa mengenai hal ini, namun saya lebih tertarik berangkat dari fenomena keseharian di jalan raya yang bisa menjawab, apakah korupsi bisa diberantas di negeri ini?

Hal kecil mengenai sikap di jalan raya adalah visualitas. Visualitas itu akan menjadi simbol mengenai peradaban dan produk budaya. Artinya, berbagai konsep mengenai pemberantasan korupsi tidak akan berjalan jika hal kecil yang negatif dalam keseharian kita telah menjadi produk budaya yang fenomenatik. Selama kita masih melaju kencang ketika lampu telah berubah menjadi merah, atau kita tidak memberi jalan bagi pejalan kaki yang akan menyeberang di zebra cross atau juga kita melaju kencang dan memperlakukan jalan raya bagai sirkuit Formula One, maka kita jangan berharap korupsi dapat diberantas di negeri ini.

Semoga saja sebelum kita berkoar-koar mengenai wacana besar tentang pemberantasan korupsi, kita sadar tentang bagaimana membenahi hal-hal kecil terlebih dahulu di sekitar kita. Semua berpulang pada kesadaran diri sendiri.***

MEREKA MENUNGGANGI AKTIFITAS ANAK MUDA


Anak muda itu hanya ingin berkreasi...
Jadi jangan ditunggangi apalagi dengan motif politik,
bahkan dengan ambisi kepentingan pribadi.

Jadi biarkan mereka berkreasi sebebas mungkin,
bahkan sebebas caci maki mereka pada situasi.

Kalau boleh memilih, mereka akan memilih sistem anarki
untuk memulai semua dari nol.

(potret dari penunggangan aksi mural komunitas P Art, Tiadaruang dan komunitas mural lain di Surabaya oleh partai politik tertentu di depan kampus UWM Dinoyo, Surabaya)

TENTANG "SPONTANITAS" (dari catatan yang tercerai berai...)

Kata tersebut begitu akrab di telinga kita pada beberapa hari terakhir ini berkaitan dengan meninggalnya mantan Presiden Soeharto. Kata spontanitas digunakan untuk menandai antusias masyarakat dalam proses pemakaman mantan presiden tersebut. Ribuan orang – seperti yang ditulis di headline surat kabar maupun televisi – turut menyertai perjalanan rombongan duka dari Cendana hingga ke Halim Perdanakusuma. Tidak cukup di Jakarta saja, ribuan orang – lagi-lagi disebutkan – juga telah menunggu di jalanan kota Solo menuju Astana Giribangun, tempat terakhir jenazah dikebumikan. Visualitas tentang pelayat dan kata ‘spontanitas’ yang menyertainya, menarik diperhatikan di sisi yang lain kejadian besar awal tahun 2008 ini.

Pierre Boudieu (1990) menyebut spontanitas adalah salah satu ciri ketika perilaku melakukan kebiasaan sosial atau habitus berlangsung berulang-ulang bahkan tidak disadari. Di saat kebanyakan orang melakukan hal yang sama, maka hal demikian dikatakan sebagai suatu ciri sosial. Di sisi lain, habitus tidak serta merta muncul dari suatu kondisi yang tiada. Jika kebiasaan dilakukan dengan kesadaran dan tidak ada iming-iming hadiah atau bahkan paksaan, maka hal itu lebih menunjukkan seberapa dalam tingkat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Kebiasaan sosial yang demikian bukanlah kebiasaan sosial yang direkayasa untuk menumbuhkan spontanitas. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang dilakukan oleh masyarakat dalam menyambut rombongan pelayat dan jenazah Soeharto dapat dikatakan sebagai aksi spontanitas seperti yang sering diperdengarkan oleh berita di media massa itu?

Mengkuantitatifkan Duka
Tanpa bermaksud memperbandingkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain apalagi hal tersebut menyangkut masa lalu, namun rupanya saya tidak kuasa menolak untuk sekedar menolehkan muka sejenak ke belakang. Visualitas tentang masyarakat yang berduka dan iring-iringan mobil keluarga, pejabat dan jenazah adalah satu kesatuan. Begitu pula ketika Indonesia dikejutkan oleh berita meninggalnya Bung Karno, Bung Hatta, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan kemudian Soeharto, pelayat yang datang seakan-akan diposisikan sebagai aparatus untuk ’menguji’ spontanitas mereka kepada sang tokoh.

Headline di koran saat Soeharto akan dikebumikan adalah ”ribuan orang mengantar Soeharto”, ”ribuan orang berdiri di tepi jalan”, ”puluhan ribu masyarakat Jakarta tampak mengiringi Soeharto di tepi jalanan ibu kota” dan beberapa kalimat lain yang mengagungkan angka sebagai tolok ukur cinta. Kalimat itu pulalah yang sering dikatakan oleh presenter televisi dalam meliput peristiwa tersebut seakan-akan meneguhkan kecintaan masyarakat kepada seorang tokoh melalui angka.

Variabel lain dalam peristiwa meninggalnya Soeharto tampaknya diabaikan dalam hal ini. Media massa lupa angka selalu akan berkorelasi dengan variabel lain yang mengakibatkannya. Jika demikian, masihkah bisa dikatakan sebagai ’spontanitas’ jika ada variabel lain yang membuatnya demikian?

Sebagai contoh, kebiasaan mengantri di bank. Kebiasaan umum yang selanjutnya mengarah kepada tindakan spontanitas dalam mengantri di bank ternyata masih diimbangi juga dengan peralatan yang mendukung untuk mengantri, misalnya tali pembatas. Tali pembatas telah menjadi variabel yang lain untuk membuat orang spontan mengantri tanpa disuruh-suruh. Namun apakah ketika tali pembatas, nomor urut antrian dan peralatan lain suatu ketika tidak ada, maka akan ada spontanitas? Saya meragukan hal itu, karena kebiasaan umum masyarakat Indonesia belum mencapai pada tingkat tersebut. Secara substansial, habitus untuk mengantri belum ada.

Variabel sebab-akibat
Jika demikian, maka saya menyangsikan angka besaran masyarakat sebagai sebuah sikap spontanitas. Ada sebab yang mengakibatkan demikian dan itu telah keluar dari substansi makna ‘spontanitas’. Berita di televisi, kemudian juga koran, majalah, bahkan tabloid hiburan dan masih ditambah lagi berita infotainment yang biasanya mengulas kehidupan glamour selebriti berganti muka menjadi berita keharuan ketika Soeharto masuk Rumah Sakit. Itu pun belum berakhir. Secara berturut-turut, berita di televisi masih juga mengulas tentang acara tahlil yang juga masih mengagungkan angka sebagai perkara yang substansial disebutkan. Betapa dahsyat pengaruh media massa menyihir masyarakat sehingga nampak seolah-olah itu adalah sikap yang spontan!

Di jaman ketika semuanya menjadi demikian terbuka, pers menjadi bebas dan rakyat berada dalam kondisi tanpa tekanan, maka visualitas masyarakat yang ‘seolah-olah spontan’ tersebut menjadi hal yang wajar.

Kondisi yang berbeda ketika meninggalnya Bung Karno, rakyat berada dalam bayang-bayang ketakutan dalam melayat karena takut di-cap PKI, namun tetap saja ‘ribuan’ orang mengiringi dengan ratap tangis di sepanjang jalan. Dan peristiwa duka ini tetap ditetapkan sebagai peristiwa paling akbar di Indonesia. Bila bicara kuantitatif, maka telah banyak lembaga data yang mencatat jumlah pelayat yang sangat besar bahkan melebihi pelayat Soeharto.

Begitu pula ketika Bung Hatta meninggal, tanpa ada dukungan yang besar dari aparatus duka, seperti media massa, rakyat masih melepasnya dengan keharuan meski bisa jadi saat itu telah ada pengkultusan individu sosok Soeharto di rejim ketika Bung Hatta tiada. Toh, bagaimanapun Iwan Fals secara khusus membuat lagu untuk kepergian Bung Hatta, meski di jaman itu Iwan Fals menjadi momok bagi pemerintahan Soeharto.

Meninggalnya HB IX juga mendapat perhatian tersendiri berkaitan dengan angka. Tanpa ada pemberitaan menyangkut sebelum HB IX meninggal, namun rakyat meluber mengiringi jenazah HB IX dikebumikan. Visualitas yang sama dengan ketika Bung Karno dan Bung Hatta meninggal dunia.

Contoh-contoh di atas (kepergian Soekarno, Bung Hatta dan HB IX) adalah substansi dari makna ‘spontanitas’ sesungguhnya. Sikap yang menjadi kebiasaan umum ketika orang yang dikenalnya meninggal dunia. Sikap tanpa paksaan, sikap tanpa ada pengaruh dan tentu saja sikap yang didasari pada keinginan hati yang mendalam. Sikap tersebut sama juga dengan meninggalnya salah seorang di lingkungan masyarakat umum yang meninggal dunia. Begitu berita menyebar dari mulut ke mulut, spontanitas ikut mengiringi kebiasaan umum untuk melayat atau menaburkan bunga dan uang logam ke iring-iringan jenazah. Inilah gambaran kebiasaan umum tersebut dan telah menjadi habitus dalam masyarakat kita.

Sekali lagi, tanpa bermaksud mengunggul-unggulkan satu dengan yang lain, namun kata ‘spontanitas’ hanya dengan menunjuk kisaran angka sebagai bukti tanpa melihat faktor lain yang mendukung penggunaan kata ‘spontanitas’ tersebut, adalah pembiasan dalam melihat fenomena visual. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan muatan politik. Sungguh tidak pada tempatnya.***

MEWUJUDKAN SURABAYA KOTA KREATIF


Pada Juni 2008, Departemen Perdagangan RI merilis cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia 2009-2025 serta pengembangan subsektor-subsektor ekonomi kreatif yang kemudian dikenal sebagai industri kreatif itu. Berdasarkan cetak birunya, ada 14 subsektor industri kreatif, yaitu periklanan; penerbitan dan percetakan; TV dan radio; film, video dan fotografi; musik; seni pertunjukan; arsitektur; desain; fesyen; kerajinan; pasar barang seni; permainan interaktif; layanan komputer dan piranti lunak; penelitian dan pengembangan.

Ekonomi kreatif sendiri berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreatifitas individu sebagai sebuah kekayaan intelektual. Sektor ini dipercaya pemerintah sebagai harapan bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit, bersaing da meraih keunggulan dalam ekonomi global.

Kontribusi sektor ini juga sangat berdampak bagi Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu rata-rata sebesar 104,638 triliun rupiah pada tahun 2002-2006 atau menyumbang 6,3 persen dari PDB nasional. Sektor industri kreatif pun mampu menyerap tenaga kerja rata-rata sebesar 5,4 juta pekerja di Indonesia dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8 persen serta produktivitas tenaga kerja bahkan mencapai 19,5 juta rupiah per pekerja setiap tahun melebihi produktivitas nasional yang “hanya” mencapai kurang dari 18 juta rupiah per pekerja per tahun.

Bandingkan dengan industri kreatif di negara lain, seperti Singapura. Singapura sendiri sedang berambisi menggenjot pendapatan Negara dari sektor ini untuk menaikkan kontribusi dari kurang lebih 3 persen (2000) menjadi 6 persen (2001). Simak juga ambisi Singapura untuk menjadikan Negara itu sebagai creative hub utama di Asia, sehingga mereka meluncurkan tiga inisiatif, yaitu kota Renaissance, Design Singapore dan Media 21.

Dengan menyingkirkan sekilas pandangan yang melihat upaya pemerintah yang sangat terlambat sementara sektor-sektor tersebut di Indonesia telah melaju kencang di pasar pasca ambruknya ekonomi Indonesia tahun 1997, indikasi positif pemerintah ini patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Bagaimana dengan Surabaya? Apa yang harus diperbuat agar mampu berdiri sejajar dengan kekuatan ekonomi global lainnya minimal sejajar dengan kota-kota dan wilayah kreatif lainnya, seperti Bandung, Jakarta, Bali dan Jogjakarta?

Sinergi Tiga Pihak
Banyak yang berpendapat, bahwa Surabaya ini bukanlah kota yang tepat dan mampu mengapresiasi kreatifitas orang dengan baik. Dengan kata lain, Surabaya bukan kota kreatif. Benarkah?

Apa yang tidak dipunyai oleh kota ini? Ada Budi Darma maupun Lan Fang serta sederet nama lain di bidang sastra. Siapa yang tidak kenal Padi maupun Boomerang serta puluhan grup band indie di sektor industri pertunjukan? Di periklanan mulai tumbuh rumah-rumah iklan, bahkan sumber daya manusianya (mahasiswa) bahkan mampu meruntuhkan dominasi mahasiswa periklanan dari kota lain yang selama ini dekat dengan periklanan, yaitu Jakarta dan Bandung. Di bidang desain, banyak fashion designer maupun desainer grafis yang malang melintang di dunia internasional. Bahkan distro pun banyak bertebaran di lingkungan kampus. Jangan tanyakan juga komik yang lahir dari Surabaya. Banyak komunitas komik dan komikus yang sangat getol berindustri di sektor ini. Seiring dengan boomingnya seni rupa Indonesia, kota ini juga punya deretan perupa-perupa yang mampu berbicara di tingkat nasional maupun internasional. Masih banyak potensi lain dari kota ini jika pihak pemerintah kota mau menginventarisasinya sebagai kekayaan kota. Namun tragisnya, mapping mengenai hal ini, pemerintah kota pun tidak mempunyainya.

Ada tiga hal yang harus bersinergi dalam memajukan ekonomi kreatif di Surabaya, yaitu intelektual, kalangan bisnis dan pemerintah. Kekuatan utama industri kreatif selama ini adalah mampu survive meski tanpa perhatian ketiga hal tersebut. Namun tidak ada salahnya, mulai tumbuh perhatian kepada mereka yang akan merangkak naik dalam industri kreatif di Surabaya.

Mengapa pihak intelektual bertanggungjawab pada pengembangan ekonomi kreatif? Yang jelas, faktor pendidikan inilah yang penting untuk ikut aktif melahirkan manusia-manusia kreatif. Banyaknya kampus di kota ini seharusnya mampu menjadi basis melahirkan generasi kreatif seperti halnya Bandung atau Jogjakarta. Namun apakah secara jujur mereka beritikad baik untuk melahirkan generasi-generasi kreatif ataukah hanya mengejar jumlah mahasiswa? Bagaimana peran serta mereka untuk secara aktif berkiprah di luar kampus? Adakah peran aktif dalam memberikan pelatihan-pelatihan di bidang kreatifitas ke kantong-kantong masyarakat? Bagaimana pula dengan penanaman pentingnya berpikir kreatif di tingkat pendidikan dasar dari SD hingga SMA? Apakah kurikulumnya masih berpihak dan terlalu menonjolkan kekuatan otak kiri dibanding otak kanan? Tentunya hal ini membutuhkan pula tenaga-tenaga pendidik yang tidak hanya pintar mengajar tetapi juga kreatif.

Di pihak bisnis, adakah kesempatan buat komunitas-komunitas masyarakat untuk mengembangkan kreatifitasnya? Program-program tanggung jawab sosial (CSR) yang dikembangkan oleh industri-industri besar akhir-akhir ini seharusnya mampu merangkul komunitas-komunitas yang secara proaktif mengembangkan bidangnya. Tengok saja, berapa banyak komunitas komik di Surabaya yang kadang-kadang gagal berangkat berpameran di kota lain di Indonesia hanya gara-gara kekurangan dana. Ada juga cerita dari seorang perupa Surabaya, yang gagal berangkat ke Biennale di Korea Selatan hanya karena juga masalah klasik tersebut. Komunitas-komunitas masyarakat yang secara aktif ingin menekuni kerajinan rakyat, misalnya, juga sangat membutuhkan rangkulan tangan dari pihak industri untuk menaikkan citra mereka. Jika di Surabaya banyak bertebaran mall seharusnya ini juga jadi sesuatu yang positif jika mereka menyediakan tempatnya untuk dijadikan ajang bisnis usaha kecil menengah (UKM) tanpa prosedur yang berbelit-belit bahkan mahal.

Bagaimana untuk pemerintah kotanya? sarana-sarana pendidikan kreatif juga harus diciptakan. Di Thailand, konsep taman edukasi telah diaplikasikan dalam Thai Knowledge Park yang dibangun dalam sebuah pusat perbelanjaan. Anak-anak dan kaum remaja dapat datang berkunjung ke sana untuk belajar sambil bermain, dan bahkan berbelanja. Tujuan dikembangkannya taman edukasi seperti ini adalah untuk mendorong siswa berpikir lebih kreatif. Pemerintah kota Surabaya sendiri telah membangun taman-taman kota yang memungkinkan berkumpulnya orang-orang kreatif. Namun, sekedar membangun infrastruktur tidaklah cukup. Langkah awal untuk menginventarisasi kekayaan intelektual di Surabaya dengan masuk ke industri kreatif yang telah mapan maupun komunitas-komunitas anak muda yang kreatif sangat dinantikan. Komunitas anak muda ini biasanya terpinggirkan padahal mereka berpotensi besar jika diperhatikan. Meskipun mereka banyak ’berindustri’ di kamar kos pun, pihak pemerintah tidak seyogyanya menampik keberadaan mereka. Dengan banyak upaya seperti itu, maka pemerintah kota diharapkan memasukkan program pengembangan industri kreatif ini ke anggaran kota sehingga dapat memacu insan-insan kreatif Surabaya untuk maju.

Jika tiga serangkai tersebut mampu berbuat banyak; pihak intelektual menyiapkan sumber daya manusia yang kreatif dan mumpuni, kemudian pihak bisnis membuka ruang selebar-lebarnya dalam bentuk kemudahan finansial maupun material buat pengembangan industri kreatif serta pihak pemerintah yang tidak lagi terlalu sibuk perihal ijin yang berpotensi iklim kreatif menjadi lesu, maka dalam waktu ke depan, Surabaya pun mampu menjadi kota yang kreatif! Siapapun harus saling percaya untuk mewujudkan cita-cita ini.***

(telah dimuat di Jawa Pos, 24 September 2008)

MURAL PERLAWANAN PILKADA JATIM 2008


Ini adalah catatan yang tercecer dari persitiwa selama Pilkada Jawa Timur 2008. Peristiwa yang mendatangkan beragam opini, termasuk komunitas Tiadaruang yang merespon isu tersebut.

Ketika yang didengung-dengungkan oleh pemerintah dan tokoh agama, bahwa golput itu haram, maka yang diambil oleh komunitas Tiadaruang tersebut adalah perlawanan. Mengambil sikap berbeda. Sekalian basah dengan anggapan tersebut, maka kegiatan bergerilya dengan agenda utama yaitu mengambil jalan golput pada pilkada Jatim ditempuh. Mulai dari Sidoarjo hingga Surabaya, mulai ditebarkan kegiatan yang mirip kampanye golput. Dilakukan pada tgl 20 Juli 2008, mereka pun beraksi…dan lagi-lagi memakai cara seperti yang dilakukan Affandi dkk ketika membuat mural di jaman revolusi melawan Belanda dulu.***

Thursday, September 04, 2008

CATATAN IKLAN POLITIK PILKADA JATIM

Ada mitos dalam Yunani Kuno tentang seorang dewa yang bernama Narcius. Dewa Narcius dikenal karena dalam mitosnya tersebut ia terpesona oleh kerupawanannya sendiri. Sampai-sampai ketika ia berkaca di kolam, ada versi yang menyebutkan Dewa Narcius akhirnya mati tercebur di kolam karena terbuai oleh sikapnya yang seolah tidak percaya mempunyai rupa yang elok. Sekian lama ia bercermin hingga ia terbuai kemudian jatuh di kolam dan akhirnya mati.

Dari mitos ini pula yang kemudian memunculkan istilah yang merujuk pada sikap memuja pada diri sendiri atau dikenal dengan narsis.
Rakyat Jawa Timur telah melakukan pemilihan kepala daerahnya secara langsung. Pada saat-saat ini pula, di berbagai kota di Jawa Timur marak iklan politik para calon gubernur yang bertebaran dari jalan hingga media massa lokal. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sudah sejauh mana iklan tersebut sangat efektif sebagai media pengenalan visi dan misinya kepada rakyat di Jawa Timur atau malahan iklan tersebut hanyalah alat untuk melakukan pemujaan pada diri sendiri alias tidak bisa berkata apa-apa kepada masyarakat?

Politik Iklan
Seyogyanya iklan memang dibuat untuk diantaranya sebagai alat penyampai pesan tentang manfaat maupun keuntungan orang menggunakan sebuah produk apalagi dalam konteks produk yang baru. Tahapan selanjutnya iklan dibuat pada level citra, artinya orang menggunakan produk tersebut sudah tidak lagi pada tataran guna (manfaat) tetapi pada tataran nilai (citra), tentu saja level citra ini didapat jika produk tersebut sudah diakui oleh khalayak umum atau telah teruji manfaat dan nilainya. Tahap inilah yang menentukan konsumen juga ikut merasakan kebanggaannya sebagai bagian dari produk tersebut. Sehingga tidak heran orang akan bangga mengonsumsi produk yang bersifat ’jaminan mutu’ meski dengan harga tinggi, bahkan meskipun tidak ikut membeli produknya asalkan membeli merchandise dengan logo brand saja sudah bangganya bukan main. Inilah politik iklan!

Bagaimana dengan iklan politik para calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur? Tidak disangsikan lagi, masyarakat pada akhirnya jadi tahu wajah para kontestan Pilkada mendatang. Politik iklan dengan cara menyingkat-singkat nama kontestan menjadi hal yang sangat jamak ditemui seperti halnya Pilkada di daerah lain di Indonesia. Salam, SR, Kaji, Achsan dan Karsa adalah contoh cara mereka mengenalkan diri pada masyarakat. Cukup disini saja? Tidak! Dengan perencanaan pula, iklan yang mereka sebar juga menaruh foto diri yang dikombinasikan dengan atribut, warna, komposisi dan juga slogan.

Sampai di situ iklan politik yang mereka lakukan sudah sesuai dengan perkiraan. Masyarakat luas jadi tahu siapa yang akan mereka pilih nantinya. Kapasitasnya pun sedikit banyak telah diketahui oleh publik, mereka lebih banyak bermain di level apa, apakah level agamawan, birokrat, pengusaha, politisi ataukah politisi-selebritis? Sudah pada tingkatan apa, apakah lokal, regional ataukah nasional?

Pada level masyarakat jadi tahu nama ”produk”nya, iklan politik itu sudah memainkan tahapan awal dari politik iklan. Sudah cukup sampai disini? Ya. Iklan politik para kontestan tersebut sudah bermain di level perkenalan dan selesai. Dalam artian, iklan politiknya hanya berhasil pada kemasan saja. Tidak ada yang baru pada iklan-iklan politik di Jawa Timur. Semuanya sama dan cenderung paritas. Secara transparan, masyarakat tidak mengetahui urgensi dan manfaat apa sehingga masyarakat memilihnya. Pada level ini saja iklan politik tersebut telah gagal apalagi pada level citra, iklan politik itu tidak berkata apa-apa.

Narsisnya Kontestan
Dalam kajian sosial budaya, ada pendekatan yang bernama semiotika untuk membaca fenomena sosial termasuk iklan-iklan yang saling beradu dalam rangka Pilkada tersebut. Secara sederhana, kajian semiotik dipahami untuk membaca data lingual dan data visual berdasarkan tanda-tanda yang saling berhubungan. Dugaan (guess) dalam membaca data yang terkandung dalam iklan tersebut diperlukan sepanjang minimnya pesan kunci (anchorage) yang membantu pemahaman masyarakat luas.

Kopiah, baju koko dan jilbab adalah atribut yang khas dilakukan oleh hampir semua kontestan. Iklan tersebut seolah ingin menegaskan bahwa mayoritas pemilih di Jawa Timur adalah muslim (indexical). Sehingga berbagai tindakan yang dilakukan oleh mereka adalah rajinnya blusukan di pondok pesantren, masjid maupun aktif mengadakan pengajian. Jas dan dasi adalah atribut lain yang menegaskan keberadaannya pada level menengah ke atas. Pada tataran ini sebenarnya sudah cukup memberi gambaran adanya oposisi biner, kelas atas dan kelas bawah, birokrat maupun tidak, kaya ataupun miskin. Sehingga sebenarnya tidak masuk akal jika ada pendukung yang emosional hingga melakukan kekerasan ketika calonnya kalah, karena sebenarnya yang mereka bela mati-matian itu berada pada posisi ekonomi dan sosial yang berlainan juga.

Belum lagi penampilan fisik, seperti kumis, mata dan hanya menonjolkan senyuman memberikan makna yang tidak hanya berkaitan dengan keindahan foto tetapi jika diperhatikan juga dapat menimbulkan dugaan bias gender. Seolah-olah yang bisa memberikan kemajuan bagi masyarakat Jawa Timur hanyalah laki-laki. Hal ini pun juga masih diperkuat dengan iklan-iklan yang menonjolkan juga gelar di depan maupun di belakang namanya. Apa urgensi dari pencantuman gelar akademik di ranah publik seperti ini? Dugaan-dugaan semiotik itulah yang akhirnya muncul dikarenakan minimnya atau bahkan tidak adanya pesan penting dalam iklan tersebut.

Tidak ada pesan apapun yang mau dikatakan tetapi tampilan diri yang diutamakan. Tanpa bermaksud hati merendahkan iklan politik yang sudah dibuat, tetapi Pilkada adalah keputusan yang menuntut kebenaran dalam memilih, sehingga diharapkan iklan tidak hanya berbicara pada wilayah kemasan saja yang indah-indah tetapi juga memproyeksikan tujuannya ikut berkontestasi. Menjadi hal yang bagus lagi, jika iklan yang dibuat membuat masyarakat cerdas berpikir mengenai pilihannya. Jangan berikan masyarakat janji-janji, tetapi berikan masyarakat pencerahan dalam hal motivasi bagaimana memilih pemimpin yang benar bukan pemimpin yang narsis. Matinya Narcius karena terbuai dengan keindahan wajahnya sendiri. Jangan sampai calon pemimpin terpesona karena keberhasilannya di masa lalu, tetapi biarkan masyarakat terpesona pada apa yag akan dilakukan di masa mendatang.

Meski akhirnya dua kontestan akan bertarung kembali dalam putaran kedua, yaitu Kaji dan Karsa, saya masih melihat bahwa yang menjadi pemenang nantinya tetaplah Golputers, setelah pada putaran pertama berhasil memukul telak pasangan-pasangan yang ada.***

DJAKABAIA: Historiografis Kuliner Klasik Surabaya


Judul : DJAKABAIA; Djalan-djalan dan makan-makan
di Soerabaia

Penulis : Vina Tania
Pengantar : Bondan Winarno
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun terbit : 2008
Tebal : iv + 63 halaman

Ini adalah buku panduan bagi pengidap penyakit untuk selalu merasakan petualangan rasa atas kuliner Indonesia, khususnya kuliner Surabaya. Ingin tahu kenapa Soto Gubeng PJKA Surabaya memasang sebuah papan bertuliskan ”Soto Masih Ada”? Konon ide memasang papan ini muncul karena seringnya pengunjung bertanya, ”Sotone jek onok ta?” (apakah sotonya masih ada/tersedia?). Karena sang penjual bosan ditanya dengan pertanyaan yang sama berulang kali, maka untuk lebih memudahkan dipasanglah papan tersebut. Lama kelamaan pengunjung akan tahu jika soto yang akan dibelinya ternyata sudah habis, maka ia tinggal melihat papannya sudah dilepas atau tidak. Kalau sudah dilepas, maka sotonya telah habis (hal. 38).

Itu adalah penggalan isi buku tentang tempat-tempat makan tradisional Surabaya yang masih eksis sejak puluhan tahun lalu. Ditengah gempuran tempat makan franchise kemudian tempat makan yang mengandalkan interior mewah maupun kemasan yang telah modern, buku berjudul Djakabaia ini hadir untuk ”menyelematkan” tempat makan yang bisa dikatakan ”kuno”.

Buku ini menjadi istimewa karena tiga hal. Pertama, gaya tulisan enak diikuti. Untuk ukuran jenis buku ringan yang berisi tentang informasi tempat makan di Surabaya yang relatif tua dan tak tergeserkan oleh perubahan tempat kuliner yang lebih modern, pemilihan kata bisa dikatakan bebas nilai. Ia tidak terlalu demonstratif namun juga tidak terlalu ribet. Yang jelas, pemilihan gaya tulisan khas anak muda, mengalir begitu saja.

Kedua, tidak banyak buku kuliner yang menyingkap asal-usul atau yang bersifat historiografi. Sub judul buku ini yang memakai ejaan lama menunjukkan bahwa Djakabaia menyoroti tempat makan di Surabaya dengan angle yang lain. Buku tentang kuliner di Surabaya perlahan mulai ramai dibuat, namun tidak banyak yang menyingkap asal-usul sebuah tempat makan atau justru asal-usul nama makanan itu sendiri. Djakabaia mampu muncul dengan memberi alternatif panduan tempat makanan ”kuno” di Surabaya. Tentu saja dengan mengambil alternatif angle yang demikian, maka buku ini membangkitkan romantisme bagi yang pernah tinggal di Surabaya maupun membangkitkan rasa penasaran sejarah bagi yang belum ke Surabaya.

Ketiga, kelebihan buku kuliner Surabaya ini terletak pada grafisnya. Karena itu, saya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa buku ini adalah perpaduan antara informasi sejarah dan grafis (historiografis). Dilengkapi dengan peta, foto dan grafis yang memikat, Djakabaia segar di mata dan layak juga dinamai sebagai buku panduan, karena informasinya yang lengkap tersebut. Lay out yang tidak ”normal” seperti halnya buku-buku serupa ditunjang dengan permainan warna yang atraktif untuk menandai setiap bahasan semakin mengukuhkan bahwa inilah karya anak muda yang besar dan tinggal di Surabaya yang mencoba memotret khasanah kuliner Surabaya dengan ”caranya sendiri”.

Namun begitu, di tengah-tengah kekurangan buku ini hal yang paling mencolok adalah kurangnya bobot pada pilihan dan sejarah (seperti juga yang dikritik oleh Bondan Winarno dalam halaman pengantar). Komunikasi visual pada buku ini cukup menutupi kelemahan tersebut, karena sekali lagi rupanya Vina Tania dalam buku ini tidak sekedar menulis namun juga mendesain sendiri lay outnya sekaligus pemilihan tipografinya.

Ekonomi Rakyat
Perdebatan mengenai pilihan tempat yang direkomendasikan oleh Vania pasti akan menyeruak di permukaan. Jangan menggugat penulis jika Anda tidak mendapati tempat makan di Surabaya yang menurut Anda lebih layak ada di buku ini. Perkara kuliner adalah perkara relatifitas. Perkara ketidakpastian. Bondan Winarno dalam pengantarnya mengatakan, ”beberapa tempat jika tidak bisa dikatakan sebagai top-markotop, pilihan itu masih tergolong second best”. Karena itu buku ini memang akan terus menimbulkan perdebatan jika tidak segera menyadarkan diri untuk kembali kepada misi awal mengapa buku ini diciptakan, yaitu mengangkat pusaka kuliner Surabaya.

The best 20 seperti yang diaku oleh Vania menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu apalagi jika diperhadapkan pada ekonomi politik. Buku yang ditulisnya ini tak ayal lagi akan menimbulkan perbincangan tentang siapa dibalik Vina maupun apa bedanya buku ini dengan buku yang sifatnya komersial (plus promosi)? Jangan-jangan Vina berada dalam kepentingan kapital maupun sosial tertentu, sehingga buku ini begitu dominan mengangkat tempat-tempat kaki lima. Mungkin terasa naif menduga seperti itu, karena anak muda seperti Vina sama halnya anak muda lainnya selalu berpandangan di mana saja oke-oke saja.

Makanan dalam perkembangan budaya diproduksi berdasarkan konsep dan makna serta kategori-kategori yang dikonstruksi dalam sebuah sistem sosial. Karena hal itulah dalam fenomena makanan terdapat semacam mistifikasi sebagaimana dikatakan Marx, yaitu bagaimana relasi di antara makanan diandaikan sebagai relasi di antara orang-orang dalam sebuah sistem sosial. Di dalam masyarakat, makanan dijadikan penanda untuk memberi kategori kelas sosial berdasarkan jenis makanannya, penataan makanan bahkan tata cara makan.

Klasifikasi, diskriminasi dan hierarki sosial yang terjadi dalam fenomena makanan memang tidak bersifat tetap, namun akan berubah sesuai dinamisasi masyarakat serta kebudayaan. Dominannya tempat-tempat yang khas kaki lima masuk dalam rekomendasi buku ini rupanya juga berseberangan dengan buku-buku sejenis lainnya yang banyak didominasi resto maupun kafe dengan tempat yang tentu saja memainkan kelas-kelas sosial tertentu. Bukan bermaksud memperlebar kelas sosial tersebut jika Vina lebih memilih kaki lima, tetapi lebih berhasrat pada ”penyelamatan” pada ekonomi mereka sekaligus memberikan citra yang positif dalam lintas kelas sosial bahwa pusaka kuliner Surabaya ternyata masih diselamatkan justru oleh pelaku-pelaku usaha kaki lima.

Di beberapa tempat, kuliner yang dijajakan oleh pedagang kaki lima ternyata merontokkan teori Marx tentang mistifikasi makanan. Karena ternyata ketika hari semakin malam, maka tempat-tempat itulah yang semakin ramai dikunjungi orang bahkan dalam lintas kelas sosial. Mulai dari yang hanya bersepeda hingga yang bermobil mewah semua menyatu dalam perburuan makanan. Tidak percaya? Tengoklah Rawon Setan Bu Sup di depan Hotel JW Marriot Surabaya!....***

(dimuat di Jawa Pos, 14 September 2008)

KENAPA MASYARAKAT CINTA TELEVISI?

Ada pertanyaan yang meluas di masyarakat tentang televisi di Indonesia. Mengapa setiap kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan teguran kepada beberapa stasiun televisi yang melanggar etika pertelevisian terkesan tidak ada perubahan yang berarti dari tayangan televisi di rumah kita? Masih saja ditemui adegan kekerasan baik fisik maupun mental dan bahkan menyerang martabat orang lain. Yang terbaru tentu saja pertanyaan, mengapa hari tanpa televisi tanggal 20 Juli yang lalu terkesan “gagal” bahkan ada kelompok masyarakat yang menentang kampanye tersebut?

Hegemoni Televisi
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) di tahun 2002 anak-anak menonton televisi selama 30-35 jam, maka pada tahun 2006 angka itu meningkat menjadi 35-40 jam seminggu dengan pilihan acara yang dinilai tidak aman dan tidak sehat (Reny Triwardhani, 2007). Bisa jadi jika penelitian dilakukan lagi di tahun 2008 ini, dalam sehari anak menonton televisi lebih banyak dari waktu mereka untuk tidur apalagi waktu mereka untuk beraktifitas selain menonton televisi.
Alasan pertama mengapa usaha KPI gagal begitu pula kampanye hari tanpa televisi gagal adalah anak telah menjadi audiens potensial. Acara televisi yang sekarang didominasi acara audisi-audisian tak pelak menjadi acara kesukaan anak-anak sehingga perlu dibuatkan format acara audisi untuk anak. Artinya pula, dengan kemasan yang sama seperti orang dewasa bahkan dengan lelucon yang sama serta penggunaan bahasa yang sama, maka anak telah menjadi audiens potensial. KPI gagal dan kampanye gagal, karena anak menjadi alasan pembenar atau tameng bagi industri televisi, karena faktanya acara yang ditentang KPI maupun LSM Anak justru itu yang disukai oleh masyarakat yang direpresentasikan oleh audiens anak-anak.


Alasan kedua adalah masyarakat Indonesia dewasa ini telah menjelma menjadi masyarakat yang super sibuk. Orang tua sudah disibukkan oleh pekerjaan rutinitas mereka, sehingga tidak ada waktu untuk sekedar menemani anaknya menonton televisi sekaligus memilih program acara yang sesuai dengan anaknya. Untuk menemani anaknya saja tidak mampu apalagi untuk berpikir kreatif tentang alternatif kegiatan selain menonton televisi. Televisi pun berubah menjadi benda hidup yang menemani anak mereka. Kemudian dimana dan bagaimana peran orang tua bagi anaknya? secara jujur harus dijawab, mereka sudah tidak ada lagi.
Alasan ketiga adalah keluarga telah terhegemoni televisi. Seburuk apapun acara televisi bagi anaknya, tetap baik bagi orang tua. Bagi mereka, kegiatan menonton televisi adalah kegiatan yang paling murah seperti yang sering didengung-dengungkan oleh pihak industri pertelevisian. Mengapa hal ini bisa terjadi? lagi-lagi faktor orang tua yang tidak mau direpotkan berpikir alternatif rekreasi visual selain menonton televisi. Hegemoni televisi dengan keywordnya yang jelas, yaitu rekreasi paling murah bagi keluarga lagi-lagi menjadi alasan sangat besar untuk menunjukkan sebenarnya keluarga Indonesia yang sangat tidak berdaya.
Negosiasi Menonton Televisi
Proses negosiasi sebagai counter atas mazhab Frankfurt yang sering berteori, bahwa media sangat kuat dalam mengkooptasi dan mengkonstruksi budaya sebenarnya menjadi ”senjata” atas kegiatan menonton televisi. Negosiasi muncul diantaranya melalui remote control. Ia dapat mengganti channel jika acara televisi dirasa tidak bagus untuk perkembangan anak. Namun remote control juga lambat laun berubah menjadi simbol atas ketidakberdayaan penontonnya untuk memencet tombol off. Ketidakberdayaan itulah yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat kita.
Di negara maju, negara tidak membentuk komisi-komisi yang bertugas mengontrol urusan domestik seperti televisi. Di sana, justru kelompok-kelompok sipil seperti guru TK, tokoh masyarakat bahkan masyarakat-masyarakat yang hanya sekedar peduli terhadap tayangan televisi itulah yang membentuk semacam KPI. Mereka terbukti menjadi palu godam yang sangat kuat dalam menekan pihak industri televisi untuk memperhatikan hak-hak anak bahkan masyarakat umum tentang kualitas acara televisi.

Bagaimana dengan masyarakat kita? tidak bermaksud skeptis, namun selama masyarakat kita terhegemoni dengan acara audisi-audisian seperti yang dipertontonkan oleh televisi, maka jangan berharap ada kekuatan kualitas dari tayangan televisi. Karena bukankah citra kualitas masyarakat kita dapat dilihat dari kualitas acara televisi yang mereka tonton? Jika masyarakat sipil kita kuat dalam mengkritisi televisi mungkin tidak diperlukan lagi KPI atau bahkan tidak diperlukan lagi kampanye hari tanpa televisi, karena masyarakat sudah sadar bahwa tanpa televisi pun mereka tetap bisa hidup.***

Thursday, August 21, 2008

IDE ITU BERNAMA M. ARIEF BUDIMAN, S.Sn


Saya bukanlah siapa-siapa di depannya, kecuali saya adik kelas di ISI Jogja yang saat itu selalu kagum pada siapa saja yang menginspirasi orang lain. Arief, begitu populernya dia sekarang ini jauh sebelum ia melaunching buku Jualan Ide Segar. Sekali lagi, saya harus mengakui bahwa saya harus kagum pada siapa saja yang mampu menginspirasi orang lain untuk berbuat dan bertindak nyata untuk mewujudkan mimpinya, termasuk mengagumi buku ini. Buku yang lahir juga dari ide segar Arief. Berat untuk tidak mengatakan bahwa kita mungkin manusia yang malas untuk mewujudkan mimpi, minimal untuk membaca buku ini.
Dan, sungguh saya juga harus mengakui kebanggaan saya tidak saja mengenalnya di kala mahasiswa atau dalam kaitan ritual bisnis mengerjakan company profile untuk DKV UK Petra, namun juga bagaimana tangan dinginnya mampu meracik klien sebesar Gudang Garam beriklan menyambut HUT RI ke-63. Iklan yang keluar dari kebiasaan Gudang Garam yang biasanya gegap gempita melibatkan sebanyak mungkin orang dalam penggarapan yang kolosal, namun di tangan Petakumpet, Gudang Garam menjadi indutri yang sangat 'berbudaya'. Tentu saja untuk melahirkan iklan seperti ini dibutuhkan ide segar untuk meyakinkan bahwa keluar dari kelaziman bukanlah sebuah dosa.
Begitu minimnya kritik yang saya dapatkan dari buku ini menjadikannya ia layak dikonsumsi tidak saja bagi penggila buku, namun juga bagi penggila dunia yang semakin segar oleh ide-ide segar.***

Friday, August 15, 2008

SSF 2008; AKU BELANJA, MAKA AKU ADA


Berbelanja adalah kegiatan berbudaya. Jangan lagi membayangkan budaya sebagai material yang secara periodik dikategorikan sebagai ‘ketinggalan jaman’. Budaya itu apa yang kita lakukan dulu, kini bahkan esok. Ia bergerak dinamis masuk ke segala lini kehidupan manusia, termasuk membicarakan tentang belanja.
Jika dulu berbelanja dimaknai sebagai pertukaran nilai secara barter, kemudian pergeseran itu berkembang hingga kini ke pusat-pusat perbelanjaan. Pasar tradisional yang sempat menjadi penanda budaya kini mulai tergantikan dengan hadirnya supermarket-supermarket. Jika dulu pasar barter dan pasar tradisional mengandalkan pada kehadiran muka dengan muka, kini pasar modern yang direpresentasikan melalui supermarket menghadirkan muka dengan barang. Jika dulu ada negosiasi secara komunikasi verbal, maka kini negosiasi terepresentasikan melalui papan kertas yang digantung di atap maupun ditempel di tempat-tempat point of purchase (POP) dengan tulisan ”discount” atau ”off”.

Surabaya Shopping Festival (SSF) dalam rangka HUT Surabaya ke-715 adalah kegiatan budaya masyarakat urban. Antrian panjang di depan kasir seperti diperlihatkan oleh Jawa Pos pada awal bulan Mei menjadi visualitas. Tak ayal lagi, ramainya orang berbelanja dan antrian orang membayar di kasir menjadi sebuah budaya visual.

Merayakan Konsumsi
Seringkali aktifitas orang berbelanja dijadikan tolok ukur tentang daya beli masyarakat, apakah meningkat atau menurun. Jika meningkat berarti perekonomian masyarakat bagus, namun sebaliknya jika menurun maka perekonomian buruk. Ini juga yang dijadikan dasar oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla ketika menjawab kritik tokoh-tokoh masyarakat mengenai semakin meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Atau dengan kata lain, kalau orang masih suka berkeliaran di mall, maka itu berarti ekonomi Indonesia membaik. Selintas pernyataan tersebut menyederhanakan permasalahan. Namun kembali kepada berbelanja tadi, aktifitas tersebut menjadi sangat penting tidak saja bagi pengusaha, namun juga bagi penguasa daerah untuk menunjukkan tingkatan daya beli masyarakatnya yang tetap tinggi.

Perayaan konsumsi ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi konsumerisme yang didorong secara simultan oleh iklan. Pengiklan mendorong sesuatu ”untuk menjadi”. Iklan juga yang mendorong ”kebutuhan” kepada ”keinginan”.

Thorsten Veblen (1953) dan Pierre Bourdieu (1984) menggeser argumen tersebut dengan menyatakan, bahwa kegiatan berbelanja adalah budaya hidup yang merupakan area penting bagi pertarungan dalam berbagai kelompok dan kelas sosial. Mereka mendefinisikan diri dan status mereka dengan belanja. Apa yang dibeli menjadi nilai sosial. Tidak percaya? cobalah sesekali memperhatikan antrian di kasir supermarket. Jika diperhatikan, sambil menunggu antrian iseng-iseng para pembelanja pasti akan memperhatikan trolley milik orang lain, apa lagi jika bukan untuk mendata barang apa yang ada di kita tapi tidak ada di orang lain, atau apa yang ada di orang lain tetapi kita belum membelinya.

Program festival belanja di Surabaya telah berhasil meningkatkan daya beli masyarakatnya, namun kini yang harus menjadi perhatian selanjutnya bagi Pemerintah Kota Surabaya adalah ada pihak lain yang dinihilkan keberadaannya saat festival ini dilakukan, yaitu kaum buruh.

Ekonomi Politik Belanja
Karl Marx dan Frederick Engels mengungkapkan transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Dalam masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki barang-barang itu, karena barang itu dijual di pasar dengan perolehan keuntungan. Oleh karena itu untuk mendapatkan barang-barang, para buruh harus membelinya dengan uang, sheingga para buruh menjadi konsumen untuk selanjutnya muncul yang namanya masyarakat konsumen (John Storey, 1996).

Barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam festival belanja tidak memperhitungkan buliran keringat para buruh, yang belum tentu ikut membeli barang yang dibuatnya. Bisa jadi keberadaannya di pusat-pusat perbelanjaan adalah sekedar melepas rasa panas untuk sekedar merasakan dinginnya AC atau melakukan aktifitas menonton sekedar melewatkan waktu luang.
Apakah dengan hal tersebut berarti daya beli masyarakat tetap meninggi? Tidak. Ada tolok ukur lain yang patut diperhatikan, yaitu jumlah barang yang dikonsumsi. Ketika golongan menengah ke atas membeli barang dengan memenuhi troli, mereka hanya akan membeli dua atau tiga barang asalkan bisa ikut merasakan langsung euforia festival belanja yang hanya berlangsung sebulan dalam setahun.

Kaum buruh dengan pendapatan yang kecil atau juga para pramuniaga, SPG maupun golongan buruh level bawah yang bersentuhan langsung dengan barang nyaris dinihilkan keberadaannya dalam festival ini. Keberadaannya hanya menjadi objek untuk menilai keberhasilan program festival ini namun tidak dilibatkan secara langsung secara ekonomi jika festival ini dipahami sebagai perayaan. Ia hanya bisa melihat aktifitas orang membeli barang, namun ia berpikir panjang untuk ikut membeli.

Maka, jadilah berkerumunnya orang di mall selain memang ada yang berbelanja, mereka hanya sekedar menonton orang berbelanja. Aktifitas inilah yang dipahami sebagai budaya penggemar. Penggemar melihat aktifitas belanja sebagai yang terobsesi (laki-laki) atau yang larut dalam histeria (perempuan) tetapi tidak ikut menjadi pelaku aktifitas berbelanja. Jargon ”aku berpikir, maka aku ada” miliknya Rene Descartes berubah menjadi ”aku belanja, maka aku ada”, karena memang aktifitas belanjalah yang membuat terbentuknya identitas diri.
Yang terpenting untuk dilakukan di masa mendatang adalah, bagaimana dengan festival tersebut tidak hanya ”keinginan” yang ditawarkan, namun juga ”kebutuhan”.

GREY CHICKEN; CERMIN GAGALNYA PENDIDIKAN?



Media massa lokal di Surabaya beberapa bulan yang lalu sedang diramaikan oleh pemberitaan investigasi mengenai fenomena ’”ayam abu-abu” atau menurut istilah salah satu koran lokal Surabaya dinamakan sebagai grey chicken, istilah yang dapat memunculkan sikap tidak manusiawi. Grey Chicken adalah kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anak SMA selepas sekolah. Pemberitaan menjadi heboh dan diikuti oleh berbagai opini yang jika semakin dikritisi semakin menyudutkan pada satu pihak dan menihilkan pihak lain. Sang pelaku dan pendidikan menjadi sasaran tembak, bahkan ada yang menyebutnya sebagai kegagalan pendidikan di Indonesia. Surabaya hanyalah salah satu kota yang (kebetulan) diekspos, namun saya yakin di banyak kota di Indonesia fenomena grey chicken adalah visualitas yang kerap ditemui keberadaannya meski kerap ’malu-malu’ muncul di permukaan.

Menjadi sesuatu yang naif jika fenomena grey chicken di Surabaya kemudian hanya mempersalahkan sistem pendidikan sebagai satu-satunya biang ambruknya moral. Namun saya sepakat bahwa fenomena ini sebenarnya juga menjadi pekerjaan rumah bagi sistem pendidikan kita yang kini hanya mengejar class world education tetapi melupakan hakekat pendidikan itu sendiri dalam hal salah satunya yaitu pembangunan watak menjadi kaum terdidik. Sekolah (dan juga universitas) kini berlomba-lomba menyejajarkan dirinya sebagai institusi pendidikan yang bertaraf dunia agar mencapai nilai akreditasi yang bagus dan dapat bertanding dengan negara maju. Hal demikian tidaklah salah, namun apakah kemudian tugas terpenting insititusi pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan bangsa dalam hal intelektualitas namun juga cerdas secara kepribadian untuk menumbuhkan harga diri terhempaskan seiring tuntutan menjadi world class schoo/?

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan situasi sistem pendidikan kita seperti ini kemudian hal itu hanyalah satu-satunya faktor ambruknya moral pelajar kita? atau jangan-jangan hal seperti ini hanya sekedar melemparkan tanggung jawab keluarga ke sekolah? Masyarakat sipil kelihatan sekali menjadi tidak berdaya. Bagaimana dengan pemakai jasa grey chicken (laki-laki)? Media massa dan bahkan kita tidak pernah memperbincangkannya, apakah karena mereka laki-laki sehingga kita menjadikannya sangat permisif? Saya teringat ucapan Arswendo Atmowiloto yang mengatakan:”Kalau cowok banyak pacarnya, dibilang hebat, kalau cewek banyak pacarnya, dibilang murah. Kalau cowok nakal, dibilang lumrah, kalau cewek nakal, dibilang dunia mau kiamat” (Arswendo Atmowiloto, Majalah HAI , 10/1/1989).

Kuasa atas Tubuh
Perempuan lebih mudah dijelaskan pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Sama dengan pandangan kita ketika menilai para pelaku grey chicken adalah perempuan yang lemah dan tak berdaya di tengah gempuran keinginan populer seperti memiliki rumah, HP multifungsi maupun benda-benda lain yang didapatkan dengan mudah disaat usia masih belasan tahun. ”Kelemahan” perempuan ditunjang dengan status yang masih pelajar menjadikannya sebagai sasaran tembak laki-laki yang berdompet tebal untuk memanfaatkan. Inilah stereotip tentang perempuan. Masyarakat manapun, termasuk di Indonesia stereotip negatif pada perempuan selalu berlangsung. Makhluk Tuhan yang lemah, sering dipakai sebagai bahasa untuk menyudutkan perempuan dan perempuan sendiri semakin mengamininya.

Keperawanan dihargai mahal karena daya fantasi laki-laki dalam menciptakan model-model perempuan untuk memenuhi hasratnya. Mereka menganggap keperawanan itu identik dengan kebodohan, tidak berdaya, bau kencur, ketidak-tahuan dan sempit pikiran. Sehingga dengan demikian menjadi sebuah kenikmatan untuk mempermainkannya meskipun sadar bahwa usia anaknya juga sama dengan usia grey chicken. Karena itu tidak mengherankan jika pelaku dunia prostitusi yang kerap laris adalah mereka yang masih pelajar. Label status sosial sebagai pelajar identik dengan keperawanan. Laki-laki kemudian berhasrat untuk melakukan kuasa atas tubuh perempuan itu sebagai representasi keberkuasaan atas ketidakberdayaan (Foucault, 1978).

Grey chicken jika diamati tidak hanya berbicara pada tataran ada pelajar perempuan menawarkan jasa seksual pada laki-laki, namun grey chicken berbicara pada tataran dominasi laki-laki dalam menciptakan tren industri seksual. Pergeseran pelaku seksual komersial yang kini melanda pelajar adalah gambaran bahwa hasrat dan fantasi laki-laki kini mengarah pada gambaran anak-anak di bawah umur setelah beberapa waktu sebelumnya marak dengan ”ayam kampus”. Sadar bahwa laki-laki menyukai pada keperawanan, hal ini kemudian dikomodifikasi oleh agen-agen grey chicken untuk menciptakan obat atau jamu yang menimbulkan efek perawan.

Dari sinilah kemudian kita berpikir, apakah sampai di sini pendidikan formal di sekolah bahkan agama pun turut dipersalahkan pada kasus grey chicken ini? Keluarga terlampau mudah untuk melempar tanggung jawab, sementara mereka sebagai kekuatan sipil justru gagal. Kontrol sosial menjadi longgar karena jangan-jangan mereka juga memanfaatkan keberadaan grey chicken dan justru mendapatkan informasi lebih banyak dalam laporan mengenai fenomena ini dalam media massa di Surabaya. Laporan investigasi semacam ini pun menjadi buah pertanyaan. Apakah kita geram dengan keadaan sosial ini ataukah laporan investigasi itu semakin memudahkan mendapatkan informasi bagaimana mendapatkan sekaligus harganya? Pertanyaan yang harus diperhatikan oleh media massa jika berkomitmen untuk menghapuskan pelacuran anak.

Bagaimana pula dengan para orang tua? Apakah kita juga cukup puas dengan cara memenuhi semua keinginan dan kebutuhan material anak sebagai imbalan atas kesibukan kita sebagai orang tua? Sekarang segalanya menjadi gampang dengan mencurahkan kesalahan kepada negara, sekolah dan bahkan mungkin juga agama ketika masalah domestik yang semestinya menjadi urusan keluarga tidak lagi diperhatikan. Globalisasi dalam segala hal tidak bisa terelakkan dalam dunia yang semakin terbuka dan tipis ini. Grey chicken yang ingin memenuhi kebutuhannya dengan materialisme itu sebenarnya terjebak pada pemenuhan globalisasi palsu. Yang kini diperlukan adalah sikap dan kontrol sebagai sosial maupun sebagai keluarga. Rasa peduli dan saling keterkaitan satu dengan yang lainnya akan membentuk sikap politik yang melahirkan kontrol sosial yang kuat.

Diperlukan semua pihak untuk terlibat aktif dalam kontrol sosial, termasuk industri-industri pariwisata yang menjadi lahan basah bagi industri seks ini. Kontrol sosial yang semakin ketat, menjadikan ruang gerak semakin dipersempit bagi pemenuhan fantasi liar dan hasrat bodoh laki-laki dalam menciptakan industri pelacuran anak. Kehadiran grey chicken bisa tidak kita sadari atau juga kita sadari namun pura-pura kita tidak menyadarinya. Atau juga kita menyadarinya, untuk kemudian suatu saat kita memanfaatkannya?...Gawat!!!***

Tuesday, June 03, 2008

GILIRAN MUNIR YANG MENANGIS

Saat Munir, pahlawan HAM dan pejuang demokrasi itu meninggal 2004 silam, banyak orang terkesiap tak percaya dan menangis. Namun kini seiring dengan kekerasan massa yang dilakukan oleh Laskar Pembela Islam, yang mengaku sebagai paramiliter dari Front Pembela Islam terhadap Aliansi kebangsaan yang menyuarakan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, maka giliran Munir yang sekarang menangis.


Bagaimana tidak, penggantinya di Kontras, sekarang berubah haluan menjadi sosok yang sangat dekat dengan kekerasan, Munarman. Ia telah mengubah dirinya menjadi monster yang mengancam kehidupan demokrasi, kebebasan beragama dan keadilan yang dulu disuarakannya dan bahkan menjadi janjinya di samping pusara pendahulunya, Munir.


Tuntutan untuk membubarkan FPI? ah...tuntutan itu sudah lama diserukan sejak 2006. Kita tunggu saja, paling-paling pemerintah memanfaatkan kebiasaan rakyatnya yang mudah lupa. Foto di atas adalah hasil pencarian foto dari sebuah website di tahun 2006. Dua tahun yang lalu.


"Benarlah anggapan itu. Munir menjadi sosok seperti
rajawali yang terbang tinggi dengan kegagahan, keberanian dan mampu
menghadapi badai, namun juga yang mengalami kesepian."