KISAH TENTANG BONEKA CANTIK
(dari buku Barbie Culture – Ikon Budaya Konsumerisme)
Siang itu saya tertegun oleh pemandangan dua anak kecil yang asyik bermain figur wanita dari kertas. Permainan tersebut dikenal dengan permainan bongkar pasang, karena sifatnya yang memang mudah dibongkar dan dipasang. Bila bajunya tidak cocok atau disesuaikan dengan kondisi ‘cerita’nya, maka figur itu bisa dibongkar pakaiannya dan dipasang dengan pakaian yang sesuai ‘skenario’. Yang menjadi ketertegunan saya adalah betapa mereka mampu memainkan permainan itu tanpa script yang jelas layaknya sebuah teater. Imajinasi yang berkembang dan keluar dari mulut mereka sarat dengan kebiasaan yang mereka serap sehari-hari, entah itu dari TV maupun dari orang di sekeliling mereka.
Cerita di atas terjadi pada akhir tahun ‘80-an. Pada saat itu pun sebenarnya di Indonesia banyak beredar permainan tanpa bahan dasar kertas. Plastik, misalnya. Maka berkembang boneka dari bahan tersebut. Boneka saat itu hanyalah sekedar ‘boneka-bonekaan’ yang disukai anak-anak seusia SD. Harganya pun mudah dijangkau. Berbeda dengan keberadaan Barbie yang bertolak belakang dengan hal tersebut, maka Barbie lebih disukai oleh semua kalangan. Tidak hanya anak SD, mungkin anak SMP, SMU hingga ibu-ibu muda pun gemar mengoleksi benda ini.
Barbie, menurut catatan Mary dalam buku ini memasuki pasar pada tahun 1959. Tahun tersebut bersamaan pula dengan karya sosiologi karya Erving Goffman berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Goffman menulis prinsip tentang kedirian dalam era penampilan dan citra diri. Kunci pemikirannya adalah mengenai manajemen impresi (impression management). Manajemen impresi meliputi hal-hal seperti perilaku yang baik, sanjungan dan berbagai ucapan kekaguman, penyingkapan motivasi dan tindakan seseorang dan hal lain yang mencerminkan klaim positif yang dibuat orang secara diam-diam. Intinya, manajemen impresi ini lahir dari cara bersikap yang berpusat pada pakaian dan bahasa tubuh seseorang. Dibutuhkan pula bagaimana berpenampilan berupa pakaian yang tepat pada kesempatan yang tepat pula. Di sinilah rupanya Barbie banyak berperan. Ia seakan figur yang tidak pernah salah dalam mengungkapkan impresi dirinya.
Segala macam ilusi atau mungkin lebih tepat disebut imajinasi mengarah kepada keberadaan Barbie yang ‘sempurna’. Lihat saja postur tubuhnya. Rambut pirang, mata bundar berwarna biru, kaki jenjang dan perawakannya yang tinggi semampai. Sebuah gambaran ideal dan sarat dengan nilai femininitas. Bila diperhatikan dengan seksama, wajahnya pun adalah wajah yang teduh, bersahabat dan seakan-akan selalu menyapa pada siapa saja. Meski ada yang bilang, wajahnya adalah wajah yang bodoh, namun siapa saja mengamini, bahwa ada aroma kecantikan yang terpancar.
Ada nilai kepercayaan di sini. Wanita cantik dan mengumbar senyum menawan pada setiap orang tentunya memberi kepercayaan kepada orang yang belum mengenalnya untuk mendekati. Barbie yang feminin dan berambut panjang itu memberi pengaruh betapa dahsyatnya sebuah benda mati mampu memberi impian pada setiap wanita untuk mengidolakannya.
Mencari sebuah ikon budaya yang popular dewasa ini tidak sulit seiring dengan berkembangnya wacana berpikir yang disertai dengan semakin mengglobalnya acara TV dan media massa secara cepat. Bila Elvis maupun James Bond bisa dikatakan sebagai ikon budaya yang membutuhkan peng-ideal-an seorang laki-laki, maka Barbie masuk dalam wilayah ini sejajar dengan Madonna, Cher yang memiliki kaki indah maupun Mandy Moore yang mempunyai (maaf) pantat yang bagus.
Tanpa bermaksud melecehkan pihak perempuan, namun Barbie sendiri sangat bias gender. Dalam buku ini sangat jelas dipaparkan mengenai sikap feminin yang ‘seyogyanya’ dimiliki oleh perempuan. Ikon rambut panjang terurai atau dikepang mencitrakan paparan perempuan yang ‘sebenarnya’. Keanggunan, kelembutan, pancaran mata yang tertutupi oleh rambut panjang adalah citra yang berusaha dibangun oleh Barbie. Buku ini juga menyiratkan, bahwa ikon budaya konsumerisme adalah citra.
Membangun citra memang tidak hanya diraih dengan cara kepemilikan Barbie, namun bisa juga diraih oleh produk-produk maupun personal yang lebih mengedepankan citra dan gaya. Susan Pearce (1995), seorang sosiolog menekankan bahwa secara sadar atau tidak, aktifitas mengoleksi suatu produk yang sarat dengan nilai citra adalah aktifitas mengonsumsi juga. Bila demikian halnya, maka kegiatan mengoleksi bisa berarti pula tuntunan untuk mengonsumsi sebanyak mungkin. Hal demikianlah yang menggaris bawahi ungkapan, bahwa tindakan mengoleksi barangkali malah bisa jadi merepresentasikan hakikat orientasi hidup konsumtif yang penuh gaya dan citra.
Di samping hal tersebut, Pearce juga menganggap bahwa kegiatan mengoleksi ini adalah juga menyentuh persoalan pribadi. Disadari atau tidak, tindakan mengoleksi ini seringkali menggambarkan atau malah mengembangkan jati diri mereka. Sehingga Barbie dianggap juga tidak hanya merepresentasikan ikon konsumerisme melainkan juga ikon materialisme, yakin penggunaan barang-barang hak milik untuk menandakan dan membentuk jati diri seseorang. Hal inilah yang disebut sebagai narratives of experience (narasi pengalaman). Dalam narasi ini, seseorang menceritakan pengalamannya dan menceritakan latar belakang setiap bonekanya. Narasi juga bisa mencakup lebih dari itu. Narasi pengalaman mencakup cerita pengalaman sang kolektor sebagai pemimpi dan perencana, sebagai pencatat masa lalu dan pencipta masa depan, sebagai penggemar dan pemuja, sebagai orang tua dan kakek-nenek, sebagai investor dan juga sebagai konsumen.
***
Barbie yang rasis dan seksis mungkin tidak merasakan bahwa kehadirannya mampu menciptakan budaya massa yang begitu massif. Namun produsennya senang bukan main ketika produknya mampu menguasai pasar global dan menjadi acuan permainan yang ideal untuk dikoleksi. Budaya massa demikian tentunya berangkat dari pemahaman ideologi budaya massa yang menempatkan pola kesenangan konsumsi dan konsumsi kesenangan.
Pola tersebut (seperti halnya dalam budaya pop) ditangkap secara cepat oleh produsen, ketika masyarakat sekarang adalah masyarakat konsumer, masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya object-real, namun juga objek tanda. Tanda sebagaimana citra menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer.
Masyarakat konsumer sebagaimana Baudrillard (1983) menyebutnya sebagai masyarakat massa, maka media menciptakan ledakan yang luar biasa hingga mengalahkan realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau nilai tukarnya, melainkan makna dan nilai simbolnya. Baudrillard juga lebih setuju pada kejayaan era nilai tanda dan nilai simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media serta iklan.
Buku ini sangat mendalam kajian budayanya. Meski Barbie ditaruh sebagai ikon, namun buku ini menjelaskan panjang lebar mengenai kecenderungan sosial budaya masyarakat konsumer (bila tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat kapitalis) yang tidak jauh berbeda dengan perilaku Barbie saat sudah masuk tas belanja di mall. Saat memutuskan membayar boneka itulah, maka kita sudah mulai masuk dalam babak peng-adegan-an Barbie yang cantik, ramping dan bermata bundar berwarna biru. Cantik…dan memang cantik! (obw)***
Siang itu saya tertegun oleh pemandangan dua anak kecil yang asyik bermain figur wanita dari kertas. Permainan tersebut dikenal dengan permainan bongkar pasang, karena sifatnya yang memang mudah dibongkar dan dipasang. Bila bajunya tidak cocok atau disesuaikan dengan kondisi ‘cerita’nya, maka figur itu bisa dibongkar pakaiannya dan dipasang dengan pakaian yang sesuai ‘skenario’. Yang menjadi ketertegunan saya adalah betapa mereka mampu memainkan permainan itu tanpa script yang jelas layaknya sebuah teater. Imajinasi yang berkembang dan keluar dari mulut mereka sarat dengan kebiasaan yang mereka serap sehari-hari, entah itu dari TV maupun dari orang di sekeliling mereka.
Cerita di atas terjadi pada akhir tahun ‘80-an. Pada saat itu pun sebenarnya di Indonesia banyak beredar permainan tanpa bahan dasar kertas. Plastik, misalnya. Maka berkembang boneka dari bahan tersebut. Boneka saat itu hanyalah sekedar ‘boneka-bonekaan’ yang disukai anak-anak seusia SD. Harganya pun mudah dijangkau. Berbeda dengan keberadaan Barbie yang bertolak belakang dengan hal tersebut, maka Barbie lebih disukai oleh semua kalangan. Tidak hanya anak SD, mungkin anak SMP, SMU hingga ibu-ibu muda pun gemar mengoleksi benda ini.
Barbie, menurut catatan Mary dalam buku ini memasuki pasar pada tahun 1959. Tahun tersebut bersamaan pula dengan karya sosiologi karya Erving Goffman berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Goffman menulis prinsip tentang kedirian dalam era penampilan dan citra diri. Kunci pemikirannya adalah mengenai manajemen impresi (impression management). Manajemen impresi meliputi hal-hal seperti perilaku yang baik, sanjungan dan berbagai ucapan kekaguman, penyingkapan motivasi dan tindakan seseorang dan hal lain yang mencerminkan klaim positif yang dibuat orang secara diam-diam. Intinya, manajemen impresi ini lahir dari cara bersikap yang berpusat pada pakaian dan bahasa tubuh seseorang. Dibutuhkan pula bagaimana berpenampilan berupa pakaian yang tepat pada kesempatan yang tepat pula. Di sinilah rupanya Barbie banyak berperan. Ia seakan figur yang tidak pernah salah dalam mengungkapkan impresi dirinya.
Segala macam ilusi atau mungkin lebih tepat disebut imajinasi mengarah kepada keberadaan Barbie yang ‘sempurna’. Lihat saja postur tubuhnya. Rambut pirang, mata bundar berwarna biru, kaki jenjang dan perawakannya yang tinggi semampai. Sebuah gambaran ideal dan sarat dengan nilai femininitas. Bila diperhatikan dengan seksama, wajahnya pun adalah wajah yang teduh, bersahabat dan seakan-akan selalu menyapa pada siapa saja. Meski ada yang bilang, wajahnya adalah wajah yang bodoh, namun siapa saja mengamini, bahwa ada aroma kecantikan yang terpancar.
Ada nilai kepercayaan di sini. Wanita cantik dan mengumbar senyum menawan pada setiap orang tentunya memberi kepercayaan kepada orang yang belum mengenalnya untuk mendekati. Barbie yang feminin dan berambut panjang itu memberi pengaruh betapa dahsyatnya sebuah benda mati mampu memberi impian pada setiap wanita untuk mengidolakannya.
Mencari sebuah ikon budaya yang popular dewasa ini tidak sulit seiring dengan berkembangnya wacana berpikir yang disertai dengan semakin mengglobalnya acara TV dan media massa secara cepat. Bila Elvis maupun James Bond bisa dikatakan sebagai ikon budaya yang membutuhkan peng-ideal-an seorang laki-laki, maka Barbie masuk dalam wilayah ini sejajar dengan Madonna, Cher yang memiliki kaki indah maupun Mandy Moore yang mempunyai (maaf) pantat yang bagus.
Tanpa bermaksud melecehkan pihak perempuan, namun Barbie sendiri sangat bias gender. Dalam buku ini sangat jelas dipaparkan mengenai sikap feminin yang ‘seyogyanya’ dimiliki oleh perempuan. Ikon rambut panjang terurai atau dikepang mencitrakan paparan perempuan yang ‘sebenarnya’. Keanggunan, kelembutan, pancaran mata yang tertutupi oleh rambut panjang adalah citra yang berusaha dibangun oleh Barbie. Buku ini juga menyiratkan, bahwa ikon budaya konsumerisme adalah citra.
Membangun citra memang tidak hanya diraih dengan cara kepemilikan Barbie, namun bisa juga diraih oleh produk-produk maupun personal yang lebih mengedepankan citra dan gaya. Susan Pearce (1995), seorang sosiolog menekankan bahwa secara sadar atau tidak, aktifitas mengoleksi suatu produk yang sarat dengan nilai citra adalah aktifitas mengonsumsi juga. Bila demikian halnya, maka kegiatan mengoleksi bisa berarti pula tuntunan untuk mengonsumsi sebanyak mungkin. Hal demikianlah yang menggaris bawahi ungkapan, bahwa tindakan mengoleksi barangkali malah bisa jadi merepresentasikan hakikat orientasi hidup konsumtif yang penuh gaya dan citra.
Di samping hal tersebut, Pearce juga menganggap bahwa kegiatan mengoleksi ini adalah juga menyentuh persoalan pribadi. Disadari atau tidak, tindakan mengoleksi ini seringkali menggambarkan atau malah mengembangkan jati diri mereka. Sehingga Barbie dianggap juga tidak hanya merepresentasikan ikon konsumerisme melainkan juga ikon materialisme, yakin penggunaan barang-barang hak milik untuk menandakan dan membentuk jati diri seseorang. Hal inilah yang disebut sebagai narratives of experience (narasi pengalaman). Dalam narasi ini, seseorang menceritakan pengalamannya dan menceritakan latar belakang setiap bonekanya. Narasi juga bisa mencakup lebih dari itu. Narasi pengalaman mencakup cerita pengalaman sang kolektor sebagai pemimpi dan perencana, sebagai pencatat masa lalu dan pencipta masa depan, sebagai penggemar dan pemuja, sebagai orang tua dan kakek-nenek, sebagai investor dan juga sebagai konsumen.
***
Barbie yang rasis dan seksis mungkin tidak merasakan bahwa kehadirannya mampu menciptakan budaya massa yang begitu massif. Namun produsennya senang bukan main ketika produknya mampu menguasai pasar global dan menjadi acuan permainan yang ideal untuk dikoleksi. Budaya massa demikian tentunya berangkat dari pemahaman ideologi budaya massa yang menempatkan pola kesenangan konsumsi dan konsumsi kesenangan.
Pola tersebut (seperti halnya dalam budaya pop) ditangkap secara cepat oleh produsen, ketika masyarakat sekarang adalah masyarakat konsumer, masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya object-real, namun juga objek tanda. Tanda sebagaimana citra menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer.
Masyarakat konsumer sebagaimana Baudrillard (1983) menyebutnya sebagai masyarakat massa, maka media menciptakan ledakan yang luar biasa hingga mengalahkan realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau nilai tukarnya, melainkan makna dan nilai simbolnya. Baudrillard juga lebih setuju pada kejayaan era nilai tanda dan nilai simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media serta iklan.
Buku ini sangat mendalam kajian budayanya. Meski Barbie ditaruh sebagai ikon, namun buku ini menjelaskan panjang lebar mengenai kecenderungan sosial budaya masyarakat konsumer (bila tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat kapitalis) yang tidak jauh berbeda dengan perilaku Barbie saat sudah masuk tas belanja di mall. Saat memutuskan membayar boneka itulah, maka kita sudah mulai masuk dalam babak peng-adegan-an Barbie yang cantik, ramping dan bermata bundar berwarna biru. Cantik…dan memang cantik! (obw)***
Labels: Book
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home