headnya

Friday, September 23, 2005

KOMODIFIKASI KOMIK DAN KEMUNGKINANNYA

Komik dalam perkembangan kekinian menjadi suatu ikon adanya indikasi menggeliatnya kegiatan komik khususnya di Indonesia. Beberapa hal yang mendasari asumsi ini adalah menguatnya beberapa produk budaya massa yang meng-cover komik menjadi bagian dari kehidupan berkesenian sekaligus menjadi simbol budaya pop. Proses manipulasi ideologi yang tidak menempatkan ide sebagai suatu perangkat utuh dalam proses berpikir melainkan sebagai kekuatan aktif dalam perilaku sosial untuk membuat sesuatu menjadi bermakna, mulai masuk dalam kehidupan komik. Dengan kata lain, kapitalisasi komik dilihat sebagai upaya untuk menumbuhkan sikap konsumtif terhadap komik yang sudah dimodifikasi sebegitu rupa. Adakah hal ini menjadi semakin bagus dalam kehidupan dunia perkomikan ataukah malah hanya ingin mendapatkan keuntungan dari komik yang sedang tumbuh kembali?

Karena hidup dalam dunia yang serba realistis dengan segala teori probabilitasnya, maka saya mencoba berasumsi dengan segala kemungkinan-kemungkinan berikut.

Kemungkinan Kesatu
Ketika komik berkembang maka berbanding terbalik dengan hal itu adalah komik menjadi populer sebagai media komunikasi visual yang mengkomunikasikan ide sebagai bagian cerita yang berlatar belakang secara objektif maupun subjektif. Di Jepang, sebagaimana dengan karakter budaya di wilayah lain dikenal adanya pop culture yang memfasilitasi high art. Di negara tersebut, komik sudah bisa dimasukkan ke wilayah high art ini, terlepas dari apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap komik sebagai bagian dari seni, maka komik dipandang sebagai media kerja yang dihargai sejajar dengan pekerjaan lain. Pola kapitalisasi demikian tentunya menguntungkan, mengingat di Indonesia sendiri komik belum bisa menembus hal seperti itu. Dari beberapa penerbitan komik, hanya beberapa saja yang tumbuh dan berkembang. Sisanya komik dikerjakan secara studio dan pendistribusian yang indie label.


Bertolak dari hal tersebut, maka tidakkah sesungguhnya komik di Indonesia ini yang seharusnya masuk menjadi ‘seni tinggi’? Asumsi saya, masyarakat sudah terpatron untuk mengenali komik sebagai media yang tidak lumrah. Ia ‘mungkin’ dikalahkan oleh media komunikasi visual lain, selain masyarakat yang tidak mau belajar komik sama dengan ketika mereka belajar desain grafis, misalnya. Karena hal yang demikian, maka komodifikasi komik menjadi sah ketika melihat masyarakat yang pasif dalam mengapresiasi komik.

Kemungkinan Kedua
Komodifikasi komik dalam segala atribut fesyen, video klip serta merchandising sebagai upaya untuk mengangkat komik sebagai media rupa yang sama dengan media rupa lain. Studio-studio komik sering memakai komodifikasi ini tidak hanya sebagai sarana mempublikasikan komiknya agar laku, namun jauh dari hal itu sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat, bahwa komik ‘masih hidup’. Ada beberapa karya komik yang absurd (biasanya disebut komik underground) yang jauh dari pakem komik, sehingga segala bentuk komodifikasinyapun mengarah pada absurditas. Entah itu teknik cetak cover komik pada kaus hingga bahan kaus itu sendiri yang absurd dan terkesan ‘tidak bakal laku di pasaran’.

Di sinilah terletak nuansa paradoks antara kebutuhan pasar dengan kebutuhan penyaluran ideologi. Sistem kapitalisasi yang menguat pada pasar seakan memandang sebelah mata, hanya komunitas dengan ‘seni yang tinggi’ tadilah yang mampu menyerap maksud dari komikus maupun penerbit komik indie yang sangat absurd itu. Sehingga peranan komodifikasi komik di sini hanya sebatas pencerahan wacana dan bukan pada sistem tata nilai global.

Yang saya sebut komunitas dengan seni yang tinggi tadi kemungkinannya akan merasa bangga bila memakai produk hasil komodifikasi komik indie ketimbang memakai komodifikasi komik yang sudah populer di masyarakat, misalnya Spiderman, Spawn maupun Superman. Dalam kata lain, saya berasumsi bahwa komodifikasi menjadi semacam gaya hidup yang diadu dengan selera pasar. Hukumnya sama dengan pemakaian produk hasil distro yang tidak mudah ditemui dipakai oleh ‘anak-anak mall’. Hanya yang mengerti tentang peperangan idelah yang bakal mengkonsumsi produk seperti itu.

Kemungkinan Ketiga
Kapitalisasi komik berlanjut hingga komodifikasi untuk meraup keuntungan. Entah berapa banyak kaus Spiderman yang beredar di pasaran atau miniatur Spawn yang dijual di mall-mall dengan harga yang melambung tinggi dengan tujuan tidak untuk mempopulerkan komik-komik tersebut, namun lebih ke produktifitas yang mampu dibeli dari produsen-produsen produk komodifikasi. Asumsi saya, komodifikasi menjadi semacam strategi mutualisme antara komikus dan pabrik pembuat produk yang diambil dari tokoh komik.

Dalam sehari, saya bisa menjumpai banyaknya kaus bergambar Tintin berkeliaran di mall-mall dan dipakai oleh remaja penggila fesyen. Seingat saya, Tintin sendiri sudah saya baca habis waktu saya duduk di bangku SLTP (dulu SMP), namun justru sekarang Tintin ‘hidup’. Jangan-jangan remaja sekarang hanya tahu fenomenalnya Tintin, namun tidak membaca tuntas komik itu. Kemungkinannya adalah tidak ada korelasi antara komodifikasi dengan semakin menyadarnya masyarakat terhadap komik.

Komodifikasi tumbuh tidak berdasarkan diterimanya ide, namun seberapa besar pasar melihat keuntungan di balik komik yang sempat jadi bulan-bulanan stigma negatif masyarakat Indonesia. Hal ini sama dengan menjamurnya kaus bergambar Che Guevara. Bila masyarakat tahu, bahwa Che adalah tokoh komunis Kuba belum tentu remaja yang diuntungkan dan dibesarkan oleh sistem kapitalisme sempit mau memakainya. Mereka memakai karena idola mereka, misalnya Piyu Padi memakai kaus itu, maka dipakailah kaus bergambar Che Guevara meski gambar kaus yang kita lihat dipakai Piyu waktu penganugerahan Anugerah Musik Indonesia 2003 kemarin, bintang pada baretnya Che terlihat besar (?). Hukum sederhana ini mungkin kelewat sederhana, namun saya beranggapan bahwa komodifikasi dalam komik bisa membuat komik itu sendiri akan runtuh diterpa oleh keinginan-keinginan pihak peraup keuntungan.

Hal tersebut tidaklah salah mengingat ada simbiosis mutualisme di dalamnya. Hanya pengawasan dan ideologi yang teridealisasilah yang mampu menghadang keinginan ‘menyesatkan’ itu.

Kemungkinan di Satu Sisi
Yang saya ungkapkan tentang kemungkinan-kemungkinan bila komodifikasi dalam komik sangat menggila di atas sebenarnya lebih kepada menyelamatkan ideologi yang susah dikembangkan namun terrampas begitu saja oleh kepentingan pasar yang tidak tahu arah dan tujuannya. Mengembangkan komik tidak melulu hanya melalui komodifikasi, meskipun hal itu penting sebagai bagian strategi penjualan dan distribusi atau hanya ‘memotret gaya komik’ dan diaplikasikan ke media lain. Namun yang lebih penting adalah memperkaya komik di Indonesia melalui jumlah karya yang diterbitkan oleh ‘orang Indonesia’ maupun penyelenggaraan pameran buku komik serta mengenalkan studio-studio komik dirasa lebih kena impactnya ketimbang mengkomodifikasi namun membutakan masyarakat dari komik.

Di tingkat Nasional ada Pekan Komik dan Animasi Nasional sedangkan untuk tingkat institusi seperti Universitas Negeri Malang ada Pekan Komik Indonesia dan di Universitas Kristen Petra ada Pekan Komik Nasional sudah menunjukkan gejala positif. Agenda tetap dan komodifikasi yang mengikut penyelenggaraan itulah yang diharapkan bukan komodifikasi untuk selanjutnya baru penyadaran.(obw)***

(ditulis dalam rangka akan diselenggarakannya Pekan Komik Nasional 2 di Universitas Kristen Petra, Surabaya bulan November 2005)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home