headnya

Friday, September 23, 2005

UNIVERSITAS NONGKRONG INDONESIA

oleh Beng Rahadian (pekerja seni, komikus, kartunis)



Saat saya masih berada di sekolah menengah kejuruan, saya termasuk siswa yang paling ngotot buat nerusin sekolah ke perguruan tinggi. Dimana sebagian besar siswa lainnya lebih memilih untuk terus bekerja. Apalagi diantara guru pembimbing waktu itu ada yang mendukung secara terbuka, jika lulusan sekolah menengah kejuruan itu memang “dimasak” untuk siap saji menjadi pekerja tingkat madya.
Menjelang akhir masa studi, waktu itu saya masih bekerja freelance di Animik World, sebuah studio komik dan animasi di Bandung, disana kawan-kawan saya sekerjaan banyak yang memberikan argumen tentang: “Ngapain sih nerusin sekolah segala, tokh dalam dunia kerja juga sesungguhnya kita melakukan proses studi juga”. Ah saya tetep ngotot, pokoknya kuliah! dan akhirnya memilih kampus senirupa di Jokja.

Tidak ada tendensi apa-apa masuk ke perguruan tinggi bagi saya, apalagi memimpikan jadi sarjana atau seniman. Ikut ospek, kuliah, ikut kegiatan…dan bleng!
hingga suatu saat beginilah ceritanya….

“Yang membuat kita pandai dalam perkuliahan ini bukanlah karena kurikulum, tapi karena lingkungannya..” Kata-kata itu keluar dari mulut Mikke Susanto mahasiswa senior saat itu (sekarang aktivis Lingkar Studi), sebagai penutup dalam sebuah obrolan ringan di halaman kampus,

Hingga detik-detik saya mau lulus kata-kata dalam kesimpulan itu terus membekas, sehingga saya meluangkan waktu khusus untuk mempelajarinya, pertanyaan dasarnya adalah benarkah Lingkungan lebih berperan daripada kurikulum? Kalau benar, lingkungan yang mana? Apakah dengan nongkrong terus dikampus tanpa kuliah bisa jadi “pinter” dibandingkan dengan kuliah tanpa nongkrong…?

Sebenarnya keduanya adalah bentuk kurikulum, hanya formal dan non formal itu saja masalahnya, dan barangkali nilai yang paling normal adalah: kuliah dan nongkrong jalan saling mengisi. Pertanyaan yang sepatutnya diajukan adalah bagaimana menciptakan nongkrong yang berkualitas?
Kualitas nongkrong ini memang masih relevan untuk dipertanyakan, karena disinilah titik pangkal persoalannya. Pada titik kualitas nongkrong inilah segala aktivitas bermula, dari kriminalitas, tawuran, seminar, sampai demonstrasi perubahan negara bisa tercipta. And the problem is, hanya mahasiswa sendirilah yang mampu menguasai medan kampusnya, hanya merekalah yang mampu mengkondisikan lingkungannya untuk menjadi konstruktif atau destruktif.

Sedikit tentang Nongkrong
Budaya nongkrong barangkali sudah menjadi keseharian budaya manusia dimanapun, dari nongkrong pinggir jalan, poskamling atau dimanapun yang memungkinkan sebuah komunitas bisa berkumpul, hingga dewasa ini nongkrong pun telah menjadi komoditi dan mulai mengenal kelas, dari nongkrong di warung tenda, kedai kopi sampai café di mall atau café live music, mereka tidak hanya menjual minum atau makanan, namun mereka menjual suasana.
Dibarat, sejak era wild west, masyarakat Texas mengenal istilah bar tempat nongkrong para cowboy, di dalam bar selain tersedia meja kursi untuk berkumpul atau kelompok, juga meja bartender yang selain menjadi tempat menyediakan minum juga menjadi tempat komunikasi bartender dengan pengunjung secara personal. Aktivitas ini berlaku juga di Indonesia, seperti kedai kopi di kampung Batak, setiap pagi laki-laki berkumpul di kedai kopi untuk minum teh sebelum mereka pergi menggarap sawah, dalam kumpulan itu komunikasi terjadi secara terbuka dan interaktif, karena penjaga kedai tidak menyediakan tempat khusus seperti bar untuk melayani komunikasi personal, kumpulan ini terjadi juga di sore harinya saat mereka kembali dari sawah.

Begitu juga di Jogja dan Solo, aktivitas yang sama terjadi di malam hari, perbedaannya hanya terletak pada kondisi pengunjungnya, jika di Batak seperti yang saya tahu, kecenderungan pengunjung yang nongkrong di kedai adalah orang dari komunitas yang sama, yaitu penduduk kampung dimana kedai itu dibuka. Nah di Jogja, pengunjung relatif berubah atau setidaknya selalu ada pengunjung yang baru, ini berkait sebab dengan kondisi sosiografis dimana tempat nongkrong itu dibuka. Jogja adalah wilayah Urban.

Kuliah nongkrong
Hingga saya mengkhayalkan seharusnya perguruan tinggi itu adalah kelas kuliah dengan suasana nongkrong, wah kayaknya keren banget tuh! Saya ingin menghapuskan mitos jika Dosen adalah satu-satunya sumber kebenaran (pedagogis), taruhlah dosen itu tahu banyak hal dan pandai berbicara, namun dalam jaman dimana information is the power, maka siapapun bisa menjadi terdepan jika menguasai informasi, saya tidak sedang merobohkan hirarkis sistem pendidikan dalam kelas, hanya saya ingin menempatkan sang Dosen itu lebih berfungsi sebagai moderator of sharing in the class, dimana kelas kuliahpun tidak harus berada didalam ruangan, karena ruangan sudah mati untuk sebuah pendidikan. Dalam posisi ini kita akan menemukan apa yang diinginkan dalam reformasi pendidikan yang pernah tercetus beberapa tahun lalu dari paradigma teacher oriented menjadi student oriented.

Akhirnya setelah saya terlanjur lulus, jika saya masih diberikan kesempatan sekali lagi kuliah, saya mendambakan suasana kelas seperti nongkrong, hanya ada adaptasi etika yang bisa disepakati bersama, seperti no smoking misalnya, posisi peserta kuliah melingkar salng berhadapan, boleh membawa minum dan makanan ringan sendiri, suasana dikondisikan santai namun konsentrasi tetap terjaga,

Jika begini keadaannya, mungkin saya nggak akan mempercepat wisuda.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home