MEMBANGUN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Edward T. Hall dalam bukunya yang berjudul The Silent Language (1959) mengatakan, bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan. Pendapat tersebut menandakan suatu komunitas manusia yang tidak bisa terbangun tanpa adanya komunikasi. Budaya sendiri tercipta karena komunikasi yang juga terbangun dari komunitas manusia. Alam tanda dan berbagai produk konsumsi manusia berawal dari cara pandang bagaimana sesuatu bisa dikomunikasikan.
Pernyataan Edward di atas juga menyiratkan adanya pergerakan secara kontinum dari nilai kepercayaan kepada perasaan dan perilaku tertentu. Perilaku tersebut diyakini juga model untuk mewakili norma-norma budaya selain pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial.
Sementara itu persinggungan budaya yang diakibatkan oleh kesalahan persepsi, memori dan motivasi dari dua atau lebih budaya dari berbagai etnik dan negara berlanjut kepada sistem yang dapat merusak kehidupan itu sendiri. Secara psikologis faktor-faktor yang menyebabkan konflik dan permusuhan antarbudaya diakibatkan oleh tidak dimengertinya dimensi-dimensi psikologis yang ada pada komunikasi. Dr. Alo Liliweri (2003) mencatat, bahwa pendekatan pada konsep diri yang benar dan persepsi diri atas diri suatu komunitas tidak terbangun dengan baik.
Hitler dengan Nazi-nya bisa merusak kehidupan yang dibangun hanya karena memakai konsep diri yang salah tentang bangsa Jerman. Parahnya lagi hal tersebut dipaksakan pada negara lain dengan memandang negara disekeliling mereka bagaikan ‘bawahan’ yang dipakai oleh bangsa Arya yang menjadi ‘stereotip’ dari bangsa Jerman. Begitu pula dengan Jepang yang memandang dirinya sebagai saudara tua dari Indonesia. Tentu saja hal ini berakibat pada persinggungan budaya yang berbeda. Untuk kasus Jepang dengan Indonesia, salah satu kasus ini merupakan kasus yang menarik, karena keduanya berasal dari budaya timur yang dekat secara budaya leluhur, maupun dekat secara adat istiadat.
Konsepsi diri atau persepsi atas diri manusia dalam suatu komunitas etnik maupun komunitas negara menjadi penting dan sangat relevan dalam mengeliminir konflik serta membangun hubungan yang baik antar budaya yang berbeda maupun negara yang berbeda.
Dari konsep diri, harga diri ke persepsi diri
Beberapa ahli sosial sering mengemukakan pendapatnya tentang konsep diri sebagai kesimpulan yang ditarik dari diri sendiri (baca: budaya sendiri maupun negara). Konsep diri ini muncul dari apa yang nampak dari diri sendiri, apa yang baik sebagai kelebihan maupun apa yang kurang sebagai kelemahan. Berbagai pengalaman yang mengerikan pada awal-awal peperangan dalam mengekspansi negara lain dan bersifat menjajah, berawal dari konsep diri yang mengutamakan pada kelebihannya dan bukan pada kelemahan mereka.
Dalam hal ini, maka patut dipertanyakan lagi konsep diri tersebut terbangun dari motivasi seperti apa? Komunikasi sebagai tujuan yang bersifat purposive bagi tujuan memenuhi sebuah kebutuhan ataukah memang membangun komunikasi atas dasar sosialisasi, integrasi atau menyenangkan orang.
Konsep diri yang telah terbangun biasanya mempengaruhi persepsi diri. Bila konsep diri sudah salah, maka janganlah heran bila persepsi orang terhadap budaya yang berbeda menjadi bias. Budaya tidak lagi dianggap menjadi kekayaan manusia dalam mengeksplorasi pikirannya, namun budaya lain menjadi musuh yang harus dikalahkan atau malahan berpotensi untuk dikuasai sebagai ambisi memperbudak.
Harga diri (self esteem) juga menentukan efektifitas komunikasi antarbudaya. Begitu pula bagaimana memandang budaya lain dilihat dari sudut pandang harga diri. Pengalaman juga menunjukkan betapa harga diri yang berlebihan menjadikan komunikasi tidak efektif. Sebaliknya rendah diri juga mengakibatkan komunikasi tidak efektif, karena dapat menghambat komunikasi antarbudaya. Ambiguitas antara mempertahankan identitas individu dan identitas sosial ketika harus berkomunikasi dengan budaya lain sering dihadapi ketika komunikasi tidak berjalan dengan efektif.
Konsep diri, harga diri dan persepsi biasanya menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Memandang diri apa adanya serta memandang sekelilingnya sebagai pribadi atau komunitas yang patut diintegrasi menjadikan komunikasi bisa efektif dilakukan bila ada kesamaan motivasi dalam berkomunikasi.
Unsur Penting Komunikasi Budaya Bi-Multilateral
Membangun komunikasi antar-budaya, antar-ras, antar-etnik maupun antar-negara yang berbeda dalam apapun juga sukar dilakukan tanpa memahami karakter dan unsur-unsur penting yang terdapat dalam kebudayaan. Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu konsensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas.
Masalah yang terpenting ketika komunikasi antarbudaya dalam hubungan bilateral maupun multilateral terjadi adalah bagaimana mampu mengolah data, deskripsi dan referensial yang tepat mengenai stereotip. Memanajerial sebuah stereotip yang tidak tepat bisa berakibat pada pertentangan horizontal maupun memancing permusuhan di kemudian hari. Thailand dan Myanmar adalah salah satu kasus yang terjadi pada waktu yang lalu. Saat itu salah seorang artis diberitakan pernah menyatakan, bahwa salah satu candi kenamaan dunia di Myanmar sebenarnya adalah milik Thailand. Pernyataaan demikian tentu saja menyulut pertikaian di kedua negara.
Kasus di atas bermula dari penyetereotipan yang keliru atas sesama Budha. Maksud hati memiliki bersama candi Budha tersebut, namun karena mengatasnamakan kedaulatan negara, maka pertikaian pun tidak dapat dihindari.
Masalah lain atas komunikasi yang tidak efektif adalah tidak mau tahu terhadap sistem maupun kebiasaan yang belum tentu sama. Bagi Irak mengakui Saddam Hussein sebagai presiden mereka, tentu sah secara tata aturan kenegaraan mereka. Namun tidak demikian bagi Amerika. Dengan mengultimatum Irak agar angkat kaki dari Irak yang notabene negara Sadam sendiri, maka Bush bisa dikatakan bukan komunikator yang baik. Tidak ada komunikasi yang efektif di sini. Budaya pun berbeda jauh dengan Amerika. Semangat militan, nasionalis tinggi seperti kebanyakan negara Asia lainnyalah yang seharusnya menjadi pertimbangan khusus Amerika sebelum berperang dengan Irak. Tampak jelas di sini, bahwa budaya kedua negara dalam tata cara kenegaraan sudah berbeda, maka pendekatan yang efektif seharusnya pembicaraan empat mata antar presiden tadi dalam membahas permasalahan keduanya tanpa mengesampingkan nilai-nilai budaya setempat.
Hal lain yang patut diperhatikan dalam komunikasi budaya multilateral adalah komunikasi yang menurut Jurgen Habermas dalam kritiknya terhadap teori rasionalisasi Max Weber berpendapat, bahwa untuk bisa masuk dalam komunitas yang berlainan, maka diperlukan tindakan komunikatif (kommunikativen handeln). Komunikatif di sini dimaksudkan sebagai tindakan yang mampu memberi motivasi, energi bagi pihak lain, menyenangkan serta menginformasikan tanpa adanya kepentingan secara sepihak.(obw)***
(pernah diterbitkan di www.titikberat.com)
Pernyataan Edward di atas juga menyiratkan adanya pergerakan secara kontinum dari nilai kepercayaan kepada perasaan dan perilaku tertentu. Perilaku tersebut diyakini juga model untuk mewakili norma-norma budaya selain pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial.
Sementara itu persinggungan budaya yang diakibatkan oleh kesalahan persepsi, memori dan motivasi dari dua atau lebih budaya dari berbagai etnik dan negara berlanjut kepada sistem yang dapat merusak kehidupan itu sendiri. Secara psikologis faktor-faktor yang menyebabkan konflik dan permusuhan antarbudaya diakibatkan oleh tidak dimengertinya dimensi-dimensi psikologis yang ada pada komunikasi. Dr. Alo Liliweri (2003) mencatat, bahwa pendekatan pada konsep diri yang benar dan persepsi diri atas diri suatu komunitas tidak terbangun dengan baik.
Hitler dengan Nazi-nya bisa merusak kehidupan yang dibangun hanya karena memakai konsep diri yang salah tentang bangsa Jerman. Parahnya lagi hal tersebut dipaksakan pada negara lain dengan memandang negara disekeliling mereka bagaikan ‘bawahan’ yang dipakai oleh bangsa Arya yang menjadi ‘stereotip’ dari bangsa Jerman. Begitu pula dengan Jepang yang memandang dirinya sebagai saudara tua dari Indonesia. Tentu saja hal ini berakibat pada persinggungan budaya yang berbeda. Untuk kasus Jepang dengan Indonesia, salah satu kasus ini merupakan kasus yang menarik, karena keduanya berasal dari budaya timur yang dekat secara budaya leluhur, maupun dekat secara adat istiadat.
Konsepsi diri atau persepsi atas diri manusia dalam suatu komunitas etnik maupun komunitas negara menjadi penting dan sangat relevan dalam mengeliminir konflik serta membangun hubungan yang baik antar budaya yang berbeda maupun negara yang berbeda.
Dari konsep diri, harga diri ke persepsi diri
Beberapa ahli sosial sering mengemukakan pendapatnya tentang konsep diri sebagai kesimpulan yang ditarik dari diri sendiri (baca: budaya sendiri maupun negara). Konsep diri ini muncul dari apa yang nampak dari diri sendiri, apa yang baik sebagai kelebihan maupun apa yang kurang sebagai kelemahan. Berbagai pengalaman yang mengerikan pada awal-awal peperangan dalam mengekspansi negara lain dan bersifat menjajah, berawal dari konsep diri yang mengutamakan pada kelebihannya dan bukan pada kelemahan mereka.
Dalam hal ini, maka patut dipertanyakan lagi konsep diri tersebut terbangun dari motivasi seperti apa? Komunikasi sebagai tujuan yang bersifat purposive bagi tujuan memenuhi sebuah kebutuhan ataukah memang membangun komunikasi atas dasar sosialisasi, integrasi atau menyenangkan orang.
Konsep diri yang telah terbangun biasanya mempengaruhi persepsi diri. Bila konsep diri sudah salah, maka janganlah heran bila persepsi orang terhadap budaya yang berbeda menjadi bias. Budaya tidak lagi dianggap menjadi kekayaan manusia dalam mengeksplorasi pikirannya, namun budaya lain menjadi musuh yang harus dikalahkan atau malahan berpotensi untuk dikuasai sebagai ambisi memperbudak.
Harga diri (self esteem) juga menentukan efektifitas komunikasi antarbudaya. Begitu pula bagaimana memandang budaya lain dilihat dari sudut pandang harga diri. Pengalaman juga menunjukkan betapa harga diri yang berlebihan menjadikan komunikasi tidak efektif. Sebaliknya rendah diri juga mengakibatkan komunikasi tidak efektif, karena dapat menghambat komunikasi antarbudaya. Ambiguitas antara mempertahankan identitas individu dan identitas sosial ketika harus berkomunikasi dengan budaya lain sering dihadapi ketika komunikasi tidak berjalan dengan efektif.
Konsep diri, harga diri dan persepsi biasanya menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Memandang diri apa adanya serta memandang sekelilingnya sebagai pribadi atau komunitas yang patut diintegrasi menjadikan komunikasi bisa efektif dilakukan bila ada kesamaan motivasi dalam berkomunikasi.
Unsur Penting Komunikasi Budaya Bi-Multilateral
Membangun komunikasi antar-budaya, antar-ras, antar-etnik maupun antar-negara yang berbeda dalam apapun juga sukar dilakukan tanpa memahami karakter dan unsur-unsur penting yang terdapat dalam kebudayaan. Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu konsensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas.
Masalah yang terpenting ketika komunikasi antarbudaya dalam hubungan bilateral maupun multilateral terjadi adalah bagaimana mampu mengolah data, deskripsi dan referensial yang tepat mengenai stereotip. Memanajerial sebuah stereotip yang tidak tepat bisa berakibat pada pertentangan horizontal maupun memancing permusuhan di kemudian hari. Thailand dan Myanmar adalah salah satu kasus yang terjadi pada waktu yang lalu. Saat itu salah seorang artis diberitakan pernah menyatakan, bahwa salah satu candi kenamaan dunia di Myanmar sebenarnya adalah milik Thailand. Pernyataaan demikian tentu saja menyulut pertikaian di kedua negara.
Kasus di atas bermula dari penyetereotipan yang keliru atas sesama Budha. Maksud hati memiliki bersama candi Budha tersebut, namun karena mengatasnamakan kedaulatan negara, maka pertikaian pun tidak dapat dihindari.
Masalah lain atas komunikasi yang tidak efektif adalah tidak mau tahu terhadap sistem maupun kebiasaan yang belum tentu sama. Bagi Irak mengakui Saddam Hussein sebagai presiden mereka, tentu sah secara tata aturan kenegaraan mereka. Namun tidak demikian bagi Amerika. Dengan mengultimatum Irak agar angkat kaki dari Irak yang notabene negara Sadam sendiri, maka Bush bisa dikatakan bukan komunikator yang baik. Tidak ada komunikasi yang efektif di sini. Budaya pun berbeda jauh dengan Amerika. Semangat militan, nasionalis tinggi seperti kebanyakan negara Asia lainnyalah yang seharusnya menjadi pertimbangan khusus Amerika sebelum berperang dengan Irak. Tampak jelas di sini, bahwa budaya kedua negara dalam tata cara kenegaraan sudah berbeda, maka pendekatan yang efektif seharusnya pembicaraan empat mata antar presiden tadi dalam membahas permasalahan keduanya tanpa mengesampingkan nilai-nilai budaya setempat.
Hal lain yang patut diperhatikan dalam komunikasi budaya multilateral adalah komunikasi yang menurut Jurgen Habermas dalam kritiknya terhadap teori rasionalisasi Max Weber berpendapat, bahwa untuk bisa masuk dalam komunitas yang berlainan, maka diperlukan tindakan komunikatif (kommunikativen handeln). Komunikatif di sini dimaksudkan sebagai tindakan yang mampu memberi motivasi, energi bagi pihak lain, menyenangkan serta menginformasikan tanpa adanya kepentingan secara sepihak.(obw)***
(pernah diterbitkan di www.titikberat.com)
Labels: Social Justice
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home