headnya

Friday, September 23, 2005

MEMAHAMI BAHASA CINTA SEBAGAI SIMBOL BUDAYA DAN POLITIK

Sebuah cinta pada sepasang manusia tidak habis-habisnya dibahas. Ia selalu ada dalam setiap media dan menjadikan segala media yang ada di muka bumi ini menjadi sempit karenanya. Cinta pula yang menyebabkan efek psikologis manusia berubah dari yang realistis menjadi sulit untuk dinalar. Kecenderungan yang ada pun menjadi sulit untuk membedakan antara kenyataan dengan yang tidak. Akhirnya, sebuah hyper-realis yang terbentuk dari makna cinta menjadi bernilai harganya.
Sisi lain cinta sering dimaknai orang sebagai sebuah misteri. Kelompok musik Dewa mendefinisikan cinta sebagai sebuah mistikus. Sementara Khalil Gibran menyebutkan cinta sebagai bagian dari kerja yang telah mengejawantah. Titik Puspa-pun menyebutkan bahwa cinta itu berjuta rasanya. Sedangkan Freud mengungkapkan, bahwa cinta itu bagian dari seksualitas dan beriringan dengan afeksi dan sensualitas (Freud dalam Osborne, 2000).
Banyak kalimat yang mewarnai keindahan sebuah cinta. Namun apa yang terjadi bila cinta telah menjadi rusak? Tidak ada istilah lain selain kepedihan, luka hati, pengkhianatan, sakit dan kosakata lain yang juga tidak kalah banyaknya. Banyak peristiwa yang berakhir dengan darah.
Kemudian yang muncul adalah cinta itu sebuah nyawa!

------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam perjalanan bangsa ini, sudah banyak kata cinta yang ditebarkan. Cinta yang semu maupun cinta yang memerlukan pengorbanan ada dalam sejarah bangsa ini. Ikon-ikon budaya dalam cinta pun berkembang seiring dengan semakin menjamurnya televisi-televisi swasta dan media cetak. Berita tentang kenaikan harga BBM, TDL dan telepon bukanlah monopoli beberapa orang atau daerah saja. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, maka rasa cinta pun menjadi hambar. Rasanya kita sedang menghadapi cinta semu. Hanya karena kenaikan tiga komponen itulah cinta yang terjalin bagaikan cinta monyet.
Ikrar percintaan yang terjalin pun - meski disaksikan oleh angin, bulan dan petir – menjadi semacam sampah. Bukan hanya Dian Sastrowardoyo saja yang pernah menikmati rasanya jatuh cinta sampai menangis. Semua orang pun pernah mengalami. Jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap salah satu kontestan Pemilu tidak bisa menjamin akan adanya kekekalan cinta (everlasting love). Romantisme Megawati pada awal perjuangan partainya pun hanyalah cinta sesaat.

Cinta yang Pudar
Cinta romantis biasanya lebih bisa diterima oleh sosial ketika rasa itu sedang meletup. Kita tidak lagi merasa aneh ketika ada dua orang berlainan jenis bergandengan tangan. Kita juga tidak merasa risih ketika di sinetron ada adegan yang memperlihatkan cinta kepada kekasihnya dengan puisi yang mendayu-dayu. Bahkan di sebuah iklan dipertunjukkan bagaimana seseorang rela menunggu kekasihnya dengan berbasah kuyup karena hujan. Cinta romantis sering mengimajinasikan situasi yang ideal maupun pembebasan imajinasi yang nakal namun penuh mesra.
Ketika di awal hubungan mesra antara rakyat dan pemimpinnya, entah itu di jaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati, maka yang terjadi adalah cinta dengan harapan yang berlebih. Namun dengan harapan yang berlebih itulah sebenarnya kita berada dalam kondisi yang ketakutan. Ungkapan-ungkapan, seperti :”Benarkah kamu mencintai saya?” atau “Kamu tidak akan meninggalkanku, bukan?” adalah bentuk ketakutan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wajar ketika seseorang menikmati keadaan ini, karena memang situasi yang terbentuk adalah cinta yang romantis. Cinta romantis merupakan bukti dari adanya kondisi rasa kesepian yang sangat mendalam (Fromm dalam Sawitri, 2002).
Impian-impian indah yang menjulang tinggi ketika kepemimpinan berganti sekali lagi adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika cinta romantis itu menutup pintu hati, pintu mata dan pintu telinga atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa membuat kita marah namun kita membiarkan dengan alasan yang tidak masuk akal dan merasa kita adalah pasangan jiwa.
Kini, ketika Megawati mengumumkan kenaikan harga tiga komponen pokok, yaitu BBM, TDL dan telepon, maka yang terjadi adalah rasa kecewa. Dalam proses menerima rasa cinta, ketika terjadi hal yang tidak mengenakkan hati -apalagi terjadi perselingkuhan-, maka yang terbentuk adalah memudarnya cinta romantis. Menurunnya rasa cinta ini mengakibatkan cara berpikir dan cara pandang terhadap sesuatu kembali realistis, bahkan tidak jarang kondisi saling menyalahkan pun terjadi. Biasanya pula dalam kondisi dimana rasa cinta ini pudar, maka ketidaksepakatan sering terjadi, karena mulai diintervensi oleh rasa yang namanya tidak percaya.

Adakah Cinta Sejati?
Cinta sejati sering dianggap sebagai bentuk penyerahan diri dan mengabdi pada pasangan. Pendapat yang demikian tentunya keliru. Begitu pula dengan anggapan yang menyatakan, bahwa cinta sejati itu adalah menyenangkan pasangan. Bukan begitu makna dari cinta sejati.
Cinta sejati adalah keluarnya penghargaan, kebanggaan dan penerimaan yang tulus untuk sang kekasih. Ruh dari cinta sejati adalah saling rendah hati, sabar dan menanggung segala sesuatu secara bersama-sama. Tidak ada yang dimenangkan maupun dikalahkan ketika hubungan cinta sejati sedang terjadi.
Nah, disinilah pemerintah selalu terjebak dengan hakekat nasionalisme ataupun patriotisme. Mereka menyangka, bahwa rakyat selalu memahami apa yang menjadi kemauan pemerintah. Nasionalisme dipandang sebagai sikap pengorbanan rakyat terhadap negaranya atau cinta yang teramat dalam terhadap negaranya. Pandangan yang sempit ini sama dengan pencampuradukan cinta sejati dan cinta romantis.
Ketika rakyat benar-benar menerima pemerintah dengan apa adanya, sebaliknya ada usaha perselingkuhan yang bisa menyakiti hati rakyat. Perselingkuhan itu bisa saja terjadi ketika pemerintah mengampuni konglomerat bermasalah yang mengajak damai bagaikan sepasang kekasih yang baru saja berpisah. Bisa pula ketika pemerintah bermesraan kembali dengan masa lalu yang telah mengkhianatinya dan rakyat terlupakan.
Pemaparan di atas kiranya juga dapat dijadikan inspirator bagi insan bercinta maupun mereka yang terlanjur cinta pada sebuah kekuasaan. Dalam sudut pandang yang lain, maka Iwan Fals menjadikan cinta bagai sebuah cerita komik! Bukankah begitu makna cinta sejati? Ia selalu ada ketika dalam situasi apapun. Bukan hanya pemerintah yang enak sedangkan rakyatnya harus makan dengan irit agar tidak membuang banyak minyak tanah untuk sebuah kompor. (obw)***

(ditulis ketika Megawati semasa menjadi Presiden hendak menaikkan harga BBM. Tulisan ini sekedar refleksi ketika Susilo Bambang Yudhoyono pun mempunyai rencana yang sama yang katanya per-1 Oktober 2005 hendak dinaikkan. )

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home