headnya

Friday, September 23, 2005

Rasavastha

Dalam beberapa hitungan detik pengembaraanku telah mengikatku dalam bayangan hitam semu tak berbentuk dan tak berwarna. Berharap celah kecil di sudut ruangan itu dapat memancarkan cahaya dari luar…namun memang tak ada cahaya pada detik ini! Semakin kering tenggorokanku berharap ada keajaiban kecil.

……………………………………….

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh dan matahari semakin bergerak ke tengah kepalaku. Merambat dalam energi yang tak terkira panasnya. Tidak ada pohon. Tidak ada awan. Panas, kalau tidak bisa dikatakan cerah. Aku masih terduduk di batang kayu yang sepertinya baru ambruk tadi malam. Aroma pohon kelapa yang baru dikenai air hujan terasa harum, meski tidak seharum hamparan tembakau di Wonosobo. Perahu di depanku pun terjajar rapi tidak melaut. Yang jelas aku sangat menikmati hari ini.
Perempuan di bibir pantai itu masih saja menunggu, tak peduli panas mendera. Tangannya mendekap dirinya sendiri, mungkin karena angin terlalu kencang bertiup. Toh rambut berombaknya yang merah terbakar itu tetap saja indah dipandang. Terurai melambai mengingatkanku pada poster Hari Perempuan Sedunia 1971 di Kuba karya seniman poster bernama Heriberto Echeverria. Dalam poster itu rambut panjang indah terurai tercampur dengan warna-warna cerah dan secerah perempuan yang ada di depanku itu.
Tapi, hei! dia terlihat gembira sekarang. Rupanya yang dinantikannya telah datang menampakkan ujung perahu di kejauhan sana. Nyanyian laut mengiringi kira-kira lima belas ribu kayuh lagi perahu itu sampai. Guratan kebahagiaan terlukis di wajah perempuan yang cantik namun beraura keras itu. “Hei!!! Cepatlah!!!”, teriak perempuan itu. Jelas saja angin mengaburkan kata-katanya hingga telinga orang yang dinantikannya tak menangkap sinyalnya.
Laut semakin membawa ke darat. Perahu itu semakin jelas bentuknya. Semakin dan semakin. “Asa! Aku datang!”, teriak pria yang belum kutahu namanya kecuali perempuan yang ternyata bernama Asa itu. Entah apakah hanya nama panggilan saja atau tidak. Entahlah. Dia tetap cantik dalam kebahagiaannya. Tersipu dia. Kini dia berdiri tidak tegak lagi, tapi mulai tak terdeteksi seperti anak remaja yang salah tingkah mendapat senyuman penuh arti dari lawan jenisnya.
Hari ini cuaca semakin panas namun tetap dingin melihat mereka.
Warna kuning perahu itu semakin kentara terlihat di antara percikan air laut yang juga seakan senang mengantar perahu sampai.
“Kamu bawa apa untukku?”. Perempuan itu tetap berteriak. Aku pun juga tetap tidak tahu nama pria itu. Tatapan mata pria itu tajam. Jarak mereka pun tinggal beberapa kayuh lagi. Air menggoyangkan perahu itu dan pria yang menaikinya menghempaskan dirinya ke air. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut pria itu meskipun aku yakin pasti telinganya mendengar teriakan perempuan itu. Ia terus menggerakkan badannya, berenang, air pun menutupi mukanya yang tampan. Rambutnya basah terurai dalam panjangnya.
Setelah sampai bibir pantai, dengan langkah terseret ia menyusuri bibir pantai yang telah mendingin di musim hujan tadi malam. Pasir-pasir yang hangat dan tajam lembut itu menyentuh kaki si pria. Dalam hitungan dua puluh detik pastilah ia akan berangkulan dengan Asa yang dipanggilnya tadi.
Sembilan belas detik....sepuluh detik...lima detik...dan hasrat mereka pun tersampaikan. Saling berpelukan hangat meski raga si pria semu terlihat. Kedinginan hati seakan lenyap terbentur oleh kokohnya batu karang yang semakin habis tergerus oleh dahsyatnya gelombang. Gelombang itu adalah hasrat mereka. Batu karang itu adalah terbatasnya mereka. Tak ada wujud. Tak ada badan. Badan seperti halnya badanku. Tak ada pemandangan itu. Hanya terlihat dua orang berpelukan, sang perempuan yang nampak dengan si pria yang tak tampak. Sambil berpelukan, air laut sesekali menyentuh kaki keduanya seakan mengganggu nakal mencoba menghentikan pemandangan terindah yang tak pernah aku lihat sebelumnya.
Tentu si Asa tidak konyol mendekap hangat wujud tak berwujud. Angin masih saja kencang menerpa keduanya. Perahu yang ditinggalkan si pria berayun mendekati bibir pasir.
Perlahan mereka melepaskan pelukannya. Hanya memandang. Tak ada percakapan. Sunyi. Hanya memandang saja. Aku teringat dengan masa dimana aku berada di suatu tempat tanpa tujuan, tanpa arah…hanya berjalan saja dan memandang ke depan.
Saling memandang kesunyian dan dalamnya hati yang bercinta. Dalam waktu yang hampir bersamaan mereka pun terduduk di atas pasir yang senantiasa setia memandang mereka. Seperti aku yang sedari tadi setia mengamati. Sekejap timbul iri terhadap mereka.
Si pria –yang masih saja belum kutahu namanya- dengan mata yang hampir tak berkedip tetap menawarkan kesunyian kepada Asa. Tangannya meraba baju warna birunya mencoba mengambil sesuatu. Asa hanya terdiam dengan senyumannya. Menanti. Menunggu. Tangan lelaki itu rupanya sudah menemukan dan dengan penuh misterius digenggamnya sesuatu itu dalam tangannya yang kuat. Asa seperti tertuntun melihat tangan lelaki itu. (Aku disini pun melihat dengan penuh harap...)
Sekejap aku melihat selintas ada sinar yang menyilaukan mata keluar dari kira-kira setengah centimeter diameter jepitan dari genggaman tangan itu. Apakah mungkin berlian. Semakin romantisnya mereka kalau benar. Apakah mungkin intan? Semakin bahagianya tentu. Atau apakah itu mutiara dari dasar laut?...aku tidak kuasa menahan haruku saking tersentuh oleh pemandangan itu. Aku tunggu saja toh tangan lelaki itu perlahan membuka genggamannya. Semakin membuka dan semakin aku ingin tahu saja.
Terlihat perempuan itu kaget, terpana dan tak menduga. Tampak pula tidak ada guratan kekecewaan dari rautnya. Tidak ada penampakan sakit hati dari mukanya yang biasanya nampak pada wajah berharap pada sesuatu tapi tidak terjadi. Tidak ada kekecewaan selain kedua tangan Asa menutup mulutnya yang penuh kekagetan. Berarti apa yang dibawa lelaki itu sangat berharga bagi perempuan itu. Berarti sangat berarti.
Masih dengan terpananya Asa, tampak telunjuk lelaki itu menggoreskan sesuatu di pasir. Menuliskan sesuatu. HANYA INI. Itu yang dituliskannya. Goresan kata dengan tipografi yang kuat dari dasar hati. Tak mungkin ditiru oleh deretan font seperti di komputerku, karena tulisan itu sangat bermakna...tak mungkin juga mengulanginya. Momennya sungguh terasa. Tak mungkin aku meniru tulisan yang mirip seni menulis indah itu, yang kata temanku di kantor dinamai kaligrafi. Tak mungkin.
Masih gusar aku apa yang dibawanya sehingga ia menuliskan HANYA INI. Tangan Asa pun mencoba dekat dengan benda itu. Sangat menyilaukan mata benda di tangannya. Asa pun meraih benda itu dan perlahan mengangkatnya ke atas ke arah matahari yang kini tepat di ubun-ubunku. Sambil tersenyum Asa kepada lelaki itu. Senyum dengan tetesan air mata. Senyum dengan hati yang gembira dan haru bercampur jadi satu.
Benda itu berada di depan matahari, di depan pusat energi. Tak ada kata-kata lagi di antara mereka selain keduanya menatap benda yang mirip kaca mengingatkanku pada botol kaca Coca Cola yang tersohor itu. Branding yang kuat sehingga aku mampu mengingat merek itu. Korban iklan mungkin aku ini. Ya benar...itu kaca yang diambil dari dasar botol Coca Cola. Botol minuman berkarbonasi, bersoda. Tapi terlihat sangat halus pinggirnya, tidak kasar seperti kalau botol pecah, tapi halus bahkan sangat halus. Halus seperti tangan Asa yang memegangnya. Tak ada yang istimewa buatku.
“Tunggu spektrumnya, nanti akan keluar terlihat!”. Sepertinya telingaku dibawa dekat dengan mereka, entah bagaimana aku bisa mendengar pria itu berucap pada Asa. Kekuatan angin mungkin. Spektrum? Apa sih istimewanya?...masih saja pertanyaan itu mengendap dalam pikiranku.
Tak berapa lama, apa yang dimaksudkan lelaki itu mulai tampak. Spektrum warna yang indah yang bagiku sangat bagus. Spektrum seperti pelangi yang berputar. Asa semakin tersenyum lebar bersuara. Manja. Mungkin tak pernah ia menjumpai itu, kecuali pelangi yang datang tiap habis hujan.
“Ia akan menemani kamu selama aku tidak ada. Ia jugalah yang akan selalu menghampirimu di sini. Ia Rasavastha. Ia yang akan menemani kamu menikmati keindahan agar kamu menemui kebahagiaan murni. Aku sungguh ingin nyata bagimu, tapi tidak bisa.“ Lelaki itu berucap sambil menyeka Asa yang terus memandangi spektrum itu sambil meleleh air matanya.“Rasavastha akan menemanimu kini. Ia akan memancarkan spektrum bagimu. Keindahannya seperti kebahagiaan kita!“, lanjut lelaki yang kini mendekap penuh hangat Asa. Asa pun semakin tak kuasa menahan derai air matanya. Kenyataan yang didapatinya adalah bahwa tidak ada lagi bayangan semu lelaki itu yang setiap hari ditungguinya di bibir pantai ini.
Tidak akan ada lagi bayangan putih penuh kharisma yang tiap hari berperahu. Tidak akan ada lagi. Tapi tiap hari ia akan mengeluarkan spektrumnya. Spektrum yang sangat halus memberi cinta. Wujud semu lelaki itu perlahan menghilang dalam pelukan Asa dan Asa merasakannya.
Asa sendirian.
Asa bersama spektrum itu. Rasavastha.
Dan sampai kini pun aku belum tahu nama lelaki itu dan siapa dia. Tapi tak apalah. Ia juga memberi spektrum bagiku. Spektrum yang terus dipandangi Asa. Terus dipandangi. Masih dipandangi dan Asa yang masih menangis. Semakin dia menangis terasa olehku spektrumnya semakin panjang. Semakin panjang menuju ke arahku. Aku tak merasakan silau padahal kilaunya menyakitkan mata bagi orang yang tak tahan sinar. Semakin panjang dan terus mencolok mataku.
Kepalaku semakin pening, tapi mataku terus terbuka melihat spektrum indah itu. Aku seperti dibawa ke imajinasi tak henti. Imajinasi yang berputar-putar. Pening kepalaku berubah pusing dan aku tidak tahu lagi aku dimana...Rasavastha membawaku ke alam imajinasi lain, alamnya Salvador Dali yang persis di lukisan surealismenya. Tak terlihat lagi Asa. Kepalaku tambah pusing dan semakin gelap….aku ada di lukisannya Dali. Sungguh aku seperti di kanvas…
Terlihat di sana lelaki itu. Lelaki itu kini tersenyum ke arahku. Menyambutku. Tapi aku tetap tidak tahu namanya...dan....aku juga melihat Asa! Asa berdiri di sampingnya. Sangat cantik dia.
Dan aku tetap tidak tahu nama lelaki itu...dan PLAK!!!
Dalam beberapa hitungan detik pengembaraanku telah mengikatku dalam bayangan hitam semu tak berbentuk dan tak berwarna. Berharap celah kecil di sudut ruangan itu dapat memancarkan cahaya dari luar…namun memang tak ada cahaya pada detik ini! Semakin kering tenggorokanku berharap ada keajaiban kecil.

Surabaya, 6 Juni 2005

“Art is the creation of form symbolic of human feelingy” (Susanne Langer).

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home