PARADOKS PENDIDIKAN
Lenin bilang,”Berhematlah ekonomi dalam apapun juga, kecuali untuk keperluan pendidikan.” Itu baru ungkapan seorang pemimpin komunis yang selanjutnya menjadi pionir dalam memajukan negaranya di tengah himpitan negara-negara kapitalis. Bagaimana selanjutnya para pemikir pendidikan mengomentari dunia pendidikan sekarang? Dengarlah ucapan Ivan Illich, seorang pemerhati pendidikan. Ia berkata, “Sekolah itu candu!”. Nah!!! kalau seorang pendidik saja sudah mengatakan hal seperti itu berarti ada sesuatu yang harus diungkap dari budaya yang namanya sekolah ini.
Menyoroti pendidikan dalam kacamata komersialisasi dan kapitalisasi tentu sudah bukan lagi barang baru. Munafik bagi pendidikan sekarang yang hanya mempunyai visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Toh mereka akan cuci tangan bila bangsa ini tidak cerdas-cerdas. Karena itu bila biaya sekolah selalu naik dan mempunyai kecenderungan meninggalkan kepentingan rakyat kecil, isu komersialisasi tidak akan pernah berhenti sampai pemerintah peduli dan mengalihkan biaya perang ke biaya pendidikan. Dengan catatan juga, biaya pendidikan ini disalurkan dengan cara yang benar.
Apa yang ingin disorot di sini seperti katanya Ivan Illich adalah mengapa sekolah sampai harus divonis dengan candu. Barang yang memabukkan, membuat tak sadar hingga mati. Tak perlu kita teriak-teriak biaya pendidikan murah bagi rakyat, bila kenyataannya mereka yang sekolah pun mencekik rakyat dengan biaya yang begitu mahalnya.
Pandangan Benjamin Bloom dalam sebuah buku yang berjudul Sekolah Itu Candu mengungkapkan, bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia, yakni membentuk watak dan sikap, mengembangkan pengetahuan, serta melatih ketrampilan. Intinya sekolah bertugas mendidik manusia agar berwatak, berpengetahuan, dan berketrampilan.
Melihat ketiga hal di atas korelasi antara yang teridentifikasi dengan yang sebenarnya menjadi bias. Kapan seorang dari anak sekolahan bisa dikatakan telah trampil bila ia hanya keluar dari sekolah dengan menyandang ijasah. Atau bagaimana pula watak dan sikap bisa diukur dari seorang yang terpelajar hanya karena ia sudah lulus mengenyam mata kuliah Etika.
Apakah nilai akhir menjadi kunci seseorang bisa dikatakan terpelajar? okeylah kalau memang begitu keadaannya. Namun bisakah kepekaan sosial diri orang tersebut hanya mengandalkan nilai akhirnya?
Habibie dengan ilmu selangit pun tidak mampu menjawab persoalan sosial, karena ia sendiri tersandung kasus oleh lingkungan sosialnya sendiri. Seorang pelajar atau mahasiswa yang duduk diam, tenang dan mendengar pun tidak akan bisa cepat bertindak ketika dosen perempuannya dilecehkan oleh temannya sendiri.
Mata kuliah, mata pelajaran atau bidang studi hanyalah menjawab permukaan bukan kedalaman.(obw)***
Labels: Social Justice
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home