headnya

Monday, April 21, 2008

MERAYAKAN (LAGI) SEMIOTIKA DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


Judul Buku : Semiotika Komunikasi Visual
Penulis : Sumbo Tinarbuko
Pengantar : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Jalasutra
Tahun : 2008
Tebal : xvi + 118 halaman


Sebagai penciptaan, desain komunikasi visual (DKV) lebih banyak bermain dalam tataran ‘mencipta’; membuat. Menjadi desainer grafis, desainer iklan maupun desainer multimedia-interaktif tentulah menjadi dambaan bagi mahasiswa yang belajar tentangnya. DKV bersifat rasional. Sebagai seni terapan, DKV dipahami sebagai salah satu upaya pemecahan masalah (komunikasi, atau komunikasi visual) untuk menghasilkan suatu desain yang paling baru di antara desain yang baru (hal. 31). Dari sinilah kemudian lahir corporate identity, billboard, iklan TV, iklan majalah, iklan surat kabar, sign system, desain perwajahan, komik, ilustrasi, animasi, motion graphic, web design, dan masih banyak lagi.


Sebagai pengkajian, DKV seakan menjadi ’bunga baru’ yang ditunggu-tunggu kemekarannya oleh para petani tentu saja dengan perawatan, pengembangan dan penelitian yang membuatnya menjadi ’bunga’ yang mekar nan indah. Mengulik wilayah teori DKV inilah yang menjadi menarik. Di luar sana, banyak sekali pendekatan untuk mengkritisi DKV, mulai dari pendekatan seni, psikologi, sosiologi, filsafat, marketing dan budaya. Atau juga mulai dari paradigma evolusi kebudayaan hingga paradigma post-modernisme. Mulai dari analisis etnografi, politik hingga semiotika. Ketersediaan metode inilah yang mengakibatkan DKV juga dijadikan objek pengkajian secara mengasyikkan.


Sumbo Tinarbuko, dosen DKV ISI Yogyakarta sekaligus praktisi konsultan desain menjungkir-balikkan anggapan bahwa menulis bagi orang visual sebagai kutukan. Buku yang ditulisnya ini tidak hanya untuk mengajak mikir (ranah verbal) namun juga bisa untuk menstimulasi visual. Karena itulah buku ini menambah ketersediaan buku-buku lokal berbasis desain maupun seni rupa.


Mengapa Semiotika?
Pada beberapa tahun yang lalu, ide tentang semiotika ini menjadi semacam ilmu yang latah. Industri perbukuan menjadikan semiotika sebagai ilmu yang fashionable (meminjam istilah Kris Budiman, penulis Semiotika Visual), karena beramai-ramai penulis memfokuskan arah ilmunya pada pendekatan yang satu ini. Hal tersebut juga diikuti oleh mahasiswa yang berkutat dalam bidang pengkajian untuk membedah produk-produk DKV dengan pisau semiotika. Tidak mengherankan kemudian jika banyak daftar skripsi entah di perpustakaan maupun di library online menggunakan semiotika seakan-akan menjadi satu-satunya ’alat bedah’.


Buku ini lahir di saat gegap gempita atau perayaan tentang semiotika telah menurun. Memang terlambat kesannya, namun tidak bisa disangkal lagi, semiotika sebagai ilmu yang mempelajari tanda akan tetap relevan dipakai sebagai salah satu ’pisau bedah’ dalam memahami visual. Perdebatan-perdebatan ilmiah yang mendasari pemaknaan visualisasi sebuah karya desain berdasarkan semiotika inilah yang biasanya mendasari juga bagi desainer untuk menerapkan secara ’tepat’ kode-kode visualnya. Tentu saja sebagai seni terapan seperti yang disebutkan di awal, karya desain yang dilahirkan sebagai problem solver ingin dimaknai ’tunggal’ agar tidak menghasilkan kesalahan komunikasi yang berimbas pada image sebuah produk atau jasa.


Alur berpikir secara semiotik bagi desainer tidak hanya dipandang sebagai teori belaka tetapi sebagai rasionalitas ketika desainer mengeluarkan idenya dalam karya visual. Nah, karya yang rasionalitas dan memakai alur semiotika inilah yang biasanya di lain pihak juga dihindari oleh desainer, karena dianggap tidak terlalu kreatif, padahal jika dikaji lebih jauh lagi, karya-karya iklan yang sekarang banyak bertebaran di televisi maupun di media massa cetak menjadi beraroma semiotis. Justru semiotika pada saat-saat tertentu dipakai untuk membedah visual yang tidak rasional untuk menghasilkan pemaknaan yang rasional dan sejalan dengan klien.


Semiotika Komunikasi Visual tidak hanya tepat dilahirkan ketika minimnya buku yang mengkaji tentang visualitas dari dalam negeri namun buku ini juga tepat dilahirkan manakala pengkajian tentang DKV lahir dimana-mana. Pendekatan semiotika menjadi salah satu alat penting dalam menarasikan atau juga memaknai karya desain, serta juga sebenarnya bisa dipakai untuk menstimulus ide mengenai kemungkinan-kemungkinan tanda digunakan.


Di lain pihak, saya ingin mengkritisi buku ini karena aroma yang dilahirkan hanyalah melulu tentang tanda. Bukankah yang terpenting dari semiotika bukan ’tanda’ itu sendiri namun bagaimana relasi-relasi antar tanda tersebut berlangsung? Dari contoh-contoh yang disebut dalam buku, analisis semiotika hanya berlangsung terpotong-potong antar tanda. Begitu pula minimnya sumber asli, seperti Roland Barthes dan Charles S. Peirce dalam buku ini turut mempengaruhi alur berpikir sehingga menjadikan teori yang dipakai dalam buku ini hanyalah penelusuran sumber-sumber sekunder bahkan tersier.


Penelusuran sumber asli bukan hanya kutipan-kutipan dari sumber tersier tersebut diperlukan untuk mencegah kekeliruan mendasar yang ’terbiasa’ dipakai seperti menyebutkan Saussure sebagai tokoh semiotika (hal. 11), padahal Saussure adalah tokoh linguistik dan tidak pernah melontarkan gagasan tentang semiotika kecuali melontarkan istilah semiologi meski tidak pada tataran konten (lihat Course in General Linguistic, 1959). Begitu pula pemahaman mendasar yang terbalik-balik, seperti menyebutkan Saussure dan Barthes dengan signifier dan signified (hal. 21), padahal Barthes dikenal dengan denotasi, konotasi dan retorika-nya. Sifat kearbitreran tanda, hingga kemungkinan tanda tidak bersifat polisemik lagi, namun monosemik tidak dijelaskan secara komprehensif. Analisis semiotika dalam contoh-contoh yang disebutkan dalam buku pada akhirnya menjadi sangat kompleks dan cenderung ’memberondong’ sasaran yang sebenarnya tidak perlu ’peluru’ yang banyak.


Mari, sekarang kita bermain tanda!



Labels:

Wednesday, April 16, 2008

WATERBOOM DAN SEKOLAH



Gambar di atas merupakan potret kondisi pendidikan yang menyedihkan. Foto tersebut bukanlah iklan yang menunjukkan sebuah sekolah memiliki fasilitas permainan air. Hal ini tentu saja bukan merupakan berita yang baik dari berbagai sisi jika sekiranya itu memang iklan. Sekolah tidak mempunyai prioritas yang baik, karena mempunyai fasilitas yang mewah jauh melebihi ukuran fisik sekolah dengan kondisi yang tidak sangat bagus dibandingkan permainan air itu sendiri.

Foto di atas adalah kenyataan yang begitu pelik dan terjadi di SD Negeri 81 Kota Jambi. Sekolah tersebut akan digusur dan di atas tanah itu akan berdiri wahana permainan air Waterboom yang sudah mulai dibangun di belakang sekolah. Foto ini dirilis pada tanggal 25 Maret 2008 di Harian Kompas atau dengan kata lain Waterboom berdiri dan menggusur sekolah justru ketika pemerintah dituntut untuk memenuhi anggaran sebesar 20% dari APBN untuk dunia pendidikan. Sebuah kondisi yang ironis.

Masih banyak kisah lain yang merupakan potret buram pendidikan di negeri ini. Belum terlupakan tentang sekolah SMP yang harus tergusur oleh pembangunan mall di Jakarta, sudah ada lagi kisah tentang dua orang anak yang harus dikeluarkan dari sekolah SD di Riau karena belum membayar SPP. Dan rasa-rasanya ratusan kisah seperti ini masih ada entah yang terblow-up media atau tidak.

Pendidikan, Pasar dan Negara
Kisah-kisah di atas sepertinya memperjelas terminologi, bahwa memang tidak sekolah bagi orang miskin. Dari hari ke hari pula kaum miskin makin kehilangan hak-haknya yang telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Waterboom yang menjamur di berbagai kota di pulau Jawa seakan-akan juga menjadi model bahwa pembangunan akan dipandang berhasil jika ada fasilitas fisik seperti ini. Waterboom yang biasanya didirikan di kompleks pusat perbelanjaan, mall, hunian kelas eksekutif dan hotel seperti halnya di Jawa, memang menjadi lahan yang subur untuk meminggirkan sarana dan prasarana yang dipandang tidak efektif dan efisien, termasuk juga pemikiran untuk meminggirkan sekolah.

Pemerintah daerah setempat agaknya berhitung dengan ”pendapatan kas daerah” dan mulai melirik investor untuk memajukan wilayah mereka. Parahnya, kemajuan daerah itu dihitung berdasarkan pembangunan fisik yang semakin meminggirkan sekolah seperti halnya waterboom di Jambi.

Di sisi yang lain kian hari jumlah orang miskin kian bertambah, sedangkan kekuasaan (negara) makin menjauh dari mereka. Semenjak neoliberalisme menjadi model yang dianut bangsa ini, sejak itu juga orang miskin semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai, dan pekerjaan yang layak. Model yang menempatkan neoliberalisme sebagai ideologi pembangunan dunia seolah telah sukses meluluhlantakkan pertahanan hidup orang miskin untuk berpendidikan.

Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa pendidikan model pasar telah menjadi mesin produksi yang harus bekerja terus-menerus dengan logika ”efektivitas dan efisiensi” untuk menciptakan ”generasi intelektual instan” yang serba seragam, termasuk seragam dalam cara pemikirannya. Model pendidikan seperti ini kemudian mengenyampingkan sebuah proses pendidikan yang di dalamnya terdapat titik-titik pencerahan dan pembebasan manusia dari keterkungkungan. Hasil dari proses pendidikan dengan logika efektivitas dan efisiensi itu adalah hadirnya para koruptor dan munculnya manusia yang berwatak kasar.

Hal yang juga penting adalah bagaimana media massa mentransformasikan situasi penting dalam pendidikan tersebut untuk mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat luas. Kejadian waterboom di Jambi akan menjadi perhatian yang mendesak tidak saja oleh para orang tua siswa yang bersekolah di situ, namun juga masyarakat luas yang bisa saja menentang pembangunan wahana permainan itu yang memang secara positif bisa memakmurkan pendapatan daerah, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menyelamatkan pendidikan.

Tanpa kekuatan dari hal-hal tersebut di atas, Indonesia akan diarahkan kepada situasi yang kacau secara sosial maupun politik, karena tidak adanya otoritas kekuasaan yang mampu membendung keinginan pihak pemodal dan malah yang terjadi adalah mempermudah pihak investor memiliki fasilitas bagi masyarakat bahkan melalui peraturan pemerintah. Masyarakat pun akan semakin tertindas dan dalam bahasa hiperbolik, mungkin Indonesia akan mulai masuk jurang pemerintahan yang tunduk pada pasar, jika tidak bisa dikatakan bahwa Indonesia akan masuk ke kehancuran secara sosial, politik dan budaya.
***

Labels: