headnya

Sunday, November 16, 2008

TENTANG "SPONTANITAS" (dari catatan yang tercerai berai...)

Kata tersebut begitu akrab di telinga kita pada beberapa hari terakhir ini berkaitan dengan meninggalnya mantan Presiden Soeharto. Kata spontanitas digunakan untuk menandai antusias masyarakat dalam proses pemakaman mantan presiden tersebut. Ribuan orang – seperti yang ditulis di headline surat kabar maupun televisi – turut menyertai perjalanan rombongan duka dari Cendana hingga ke Halim Perdanakusuma. Tidak cukup di Jakarta saja, ribuan orang – lagi-lagi disebutkan – juga telah menunggu di jalanan kota Solo menuju Astana Giribangun, tempat terakhir jenazah dikebumikan. Visualitas tentang pelayat dan kata ‘spontanitas’ yang menyertainya, menarik diperhatikan di sisi yang lain kejadian besar awal tahun 2008 ini.

Pierre Boudieu (1990) menyebut spontanitas adalah salah satu ciri ketika perilaku melakukan kebiasaan sosial atau habitus berlangsung berulang-ulang bahkan tidak disadari. Di saat kebanyakan orang melakukan hal yang sama, maka hal demikian dikatakan sebagai suatu ciri sosial. Di sisi lain, habitus tidak serta merta muncul dari suatu kondisi yang tiada. Jika kebiasaan dilakukan dengan kesadaran dan tidak ada iming-iming hadiah atau bahkan paksaan, maka hal itu lebih menunjukkan seberapa dalam tingkat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Kebiasaan sosial yang demikian bukanlah kebiasaan sosial yang direkayasa untuk menumbuhkan spontanitas. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang dilakukan oleh masyarakat dalam menyambut rombongan pelayat dan jenazah Soeharto dapat dikatakan sebagai aksi spontanitas seperti yang sering diperdengarkan oleh berita di media massa itu?

Mengkuantitatifkan Duka
Tanpa bermaksud memperbandingkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain apalagi hal tersebut menyangkut masa lalu, namun rupanya saya tidak kuasa menolak untuk sekedar menolehkan muka sejenak ke belakang. Visualitas tentang masyarakat yang berduka dan iring-iringan mobil keluarga, pejabat dan jenazah adalah satu kesatuan. Begitu pula ketika Indonesia dikejutkan oleh berita meninggalnya Bung Karno, Bung Hatta, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan kemudian Soeharto, pelayat yang datang seakan-akan diposisikan sebagai aparatus untuk ’menguji’ spontanitas mereka kepada sang tokoh.

Headline di koran saat Soeharto akan dikebumikan adalah ”ribuan orang mengantar Soeharto”, ”ribuan orang berdiri di tepi jalan”, ”puluhan ribu masyarakat Jakarta tampak mengiringi Soeharto di tepi jalanan ibu kota” dan beberapa kalimat lain yang mengagungkan angka sebagai tolok ukur cinta. Kalimat itu pulalah yang sering dikatakan oleh presenter televisi dalam meliput peristiwa tersebut seakan-akan meneguhkan kecintaan masyarakat kepada seorang tokoh melalui angka.

Variabel lain dalam peristiwa meninggalnya Soeharto tampaknya diabaikan dalam hal ini. Media massa lupa angka selalu akan berkorelasi dengan variabel lain yang mengakibatkannya. Jika demikian, masihkah bisa dikatakan sebagai ’spontanitas’ jika ada variabel lain yang membuatnya demikian?

Sebagai contoh, kebiasaan mengantri di bank. Kebiasaan umum yang selanjutnya mengarah kepada tindakan spontanitas dalam mengantri di bank ternyata masih diimbangi juga dengan peralatan yang mendukung untuk mengantri, misalnya tali pembatas. Tali pembatas telah menjadi variabel yang lain untuk membuat orang spontan mengantri tanpa disuruh-suruh. Namun apakah ketika tali pembatas, nomor urut antrian dan peralatan lain suatu ketika tidak ada, maka akan ada spontanitas? Saya meragukan hal itu, karena kebiasaan umum masyarakat Indonesia belum mencapai pada tingkat tersebut. Secara substansial, habitus untuk mengantri belum ada.

Variabel sebab-akibat
Jika demikian, maka saya menyangsikan angka besaran masyarakat sebagai sebuah sikap spontanitas. Ada sebab yang mengakibatkan demikian dan itu telah keluar dari substansi makna ‘spontanitas’. Berita di televisi, kemudian juga koran, majalah, bahkan tabloid hiburan dan masih ditambah lagi berita infotainment yang biasanya mengulas kehidupan glamour selebriti berganti muka menjadi berita keharuan ketika Soeharto masuk Rumah Sakit. Itu pun belum berakhir. Secara berturut-turut, berita di televisi masih juga mengulas tentang acara tahlil yang juga masih mengagungkan angka sebagai perkara yang substansial disebutkan. Betapa dahsyat pengaruh media massa menyihir masyarakat sehingga nampak seolah-olah itu adalah sikap yang spontan!

Di jaman ketika semuanya menjadi demikian terbuka, pers menjadi bebas dan rakyat berada dalam kondisi tanpa tekanan, maka visualitas masyarakat yang ‘seolah-olah spontan’ tersebut menjadi hal yang wajar.

Kondisi yang berbeda ketika meninggalnya Bung Karno, rakyat berada dalam bayang-bayang ketakutan dalam melayat karena takut di-cap PKI, namun tetap saja ‘ribuan’ orang mengiringi dengan ratap tangis di sepanjang jalan. Dan peristiwa duka ini tetap ditetapkan sebagai peristiwa paling akbar di Indonesia. Bila bicara kuantitatif, maka telah banyak lembaga data yang mencatat jumlah pelayat yang sangat besar bahkan melebihi pelayat Soeharto.

Begitu pula ketika Bung Hatta meninggal, tanpa ada dukungan yang besar dari aparatus duka, seperti media massa, rakyat masih melepasnya dengan keharuan meski bisa jadi saat itu telah ada pengkultusan individu sosok Soeharto di rejim ketika Bung Hatta tiada. Toh, bagaimanapun Iwan Fals secara khusus membuat lagu untuk kepergian Bung Hatta, meski di jaman itu Iwan Fals menjadi momok bagi pemerintahan Soeharto.

Meninggalnya HB IX juga mendapat perhatian tersendiri berkaitan dengan angka. Tanpa ada pemberitaan menyangkut sebelum HB IX meninggal, namun rakyat meluber mengiringi jenazah HB IX dikebumikan. Visualitas yang sama dengan ketika Bung Karno dan Bung Hatta meninggal dunia.

Contoh-contoh di atas (kepergian Soekarno, Bung Hatta dan HB IX) adalah substansi dari makna ‘spontanitas’ sesungguhnya. Sikap yang menjadi kebiasaan umum ketika orang yang dikenalnya meninggal dunia. Sikap tanpa paksaan, sikap tanpa ada pengaruh dan tentu saja sikap yang didasari pada keinginan hati yang mendalam. Sikap tersebut sama juga dengan meninggalnya salah seorang di lingkungan masyarakat umum yang meninggal dunia. Begitu berita menyebar dari mulut ke mulut, spontanitas ikut mengiringi kebiasaan umum untuk melayat atau menaburkan bunga dan uang logam ke iring-iringan jenazah. Inilah gambaran kebiasaan umum tersebut dan telah menjadi habitus dalam masyarakat kita.

Sekali lagi, tanpa bermaksud mengunggul-unggulkan satu dengan yang lain, namun kata ‘spontanitas’ hanya dengan menunjuk kisaran angka sebagai bukti tanpa melihat faktor lain yang mendukung penggunaan kata ‘spontanitas’ tersebut, adalah pembiasan dalam melihat fenomena visual. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan muatan politik. Sungguh tidak pada tempatnya.***

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home