headnya

Thursday, September 04, 2008

KENAPA MASYARAKAT CINTA TELEVISI?

Ada pertanyaan yang meluas di masyarakat tentang televisi di Indonesia. Mengapa setiap kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan teguran kepada beberapa stasiun televisi yang melanggar etika pertelevisian terkesan tidak ada perubahan yang berarti dari tayangan televisi di rumah kita? Masih saja ditemui adegan kekerasan baik fisik maupun mental dan bahkan menyerang martabat orang lain. Yang terbaru tentu saja pertanyaan, mengapa hari tanpa televisi tanggal 20 Juli yang lalu terkesan “gagal” bahkan ada kelompok masyarakat yang menentang kampanye tersebut?

Hegemoni Televisi
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) di tahun 2002 anak-anak menonton televisi selama 30-35 jam, maka pada tahun 2006 angka itu meningkat menjadi 35-40 jam seminggu dengan pilihan acara yang dinilai tidak aman dan tidak sehat (Reny Triwardhani, 2007). Bisa jadi jika penelitian dilakukan lagi di tahun 2008 ini, dalam sehari anak menonton televisi lebih banyak dari waktu mereka untuk tidur apalagi waktu mereka untuk beraktifitas selain menonton televisi.
Alasan pertama mengapa usaha KPI gagal begitu pula kampanye hari tanpa televisi gagal adalah anak telah menjadi audiens potensial. Acara televisi yang sekarang didominasi acara audisi-audisian tak pelak menjadi acara kesukaan anak-anak sehingga perlu dibuatkan format acara audisi untuk anak. Artinya pula, dengan kemasan yang sama seperti orang dewasa bahkan dengan lelucon yang sama serta penggunaan bahasa yang sama, maka anak telah menjadi audiens potensial. KPI gagal dan kampanye gagal, karena anak menjadi alasan pembenar atau tameng bagi industri televisi, karena faktanya acara yang ditentang KPI maupun LSM Anak justru itu yang disukai oleh masyarakat yang direpresentasikan oleh audiens anak-anak.


Alasan kedua adalah masyarakat Indonesia dewasa ini telah menjelma menjadi masyarakat yang super sibuk. Orang tua sudah disibukkan oleh pekerjaan rutinitas mereka, sehingga tidak ada waktu untuk sekedar menemani anaknya menonton televisi sekaligus memilih program acara yang sesuai dengan anaknya. Untuk menemani anaknya saja tidak mampu apalagi untuk berpikir kreatif tentang alternatif kegiatan selain menonton televisi. Televisi pun berubah menjadi benda hidup yang menemani anak mereka. Kemudian dimana dan bagaimana peran orang tua bagi anaknya? secara jujur harus dijawab, mereka sudah tidak ada lagi.
Alasan ketiga adalah keluarga telah terhegemoni televisi. Seburuk apapun acara televisi bagi anaknya, tetap baik bagi orang tua. Bagi mereka, kegiatan menonton televisi adalah kegiatan yang paling murah seperti yang sering didengung-dengungkan oleh pihak industri pertelevisian. Mengapa hal ini bisa terjadi? lagi-lagi faktor orang tua yang tidak mau direpotkan berpikir alternatif rekreasi visual selain menonton televisi. Hegemoni televisi dengan keywordnya yang jelas, yaitu rekreasi paling murah bagi keluarga lagi-lagi menjadi alasan sangat besar untuk menunjukkan sebenarnya keluarga Indonesia yang sangat tidak berdaya.
Negosiasi Menonton Televisi
Proses negosiasi sebagai counter atas mazhab Frankfurt yang sering berteori, bahwa media sangat kuat dalam mengkooptasi dan mengkonstruksi budaya sebenarnya menjadi ”senjata” atas kegiatan menonton televisi. Negosiasi muncul diantaranya melalui remote control. Ia dapat mengganti channel jika acara televisi dirasa tidak bagus untuk perkembangan anak. Namun remote control juga lambat laun berubah menjadi simbol atas ketidakberdayaan penontonnya untuk memencet tombol off. Ketidakberdayaan itulah yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat kita.
Di negara maju, negara tidak membentuk komisi-komisi yang bertugas mengontrol urusan domestik seperti televisi. Di sana, justru kelompok-kelompok sipil seperti guru TK, tokoh masyarakat bahkan masyarakat-masyarakat yang hanya sekedar peduli terhadap tayangan televisi itulah yang membentuk semacam KPI. Mereka terbukti menjadi palu godam yang sangat kuat dalam menekan pihak industri televisi untuk memperhatikan hak-hak anak bahkan masyarakat umum tentang kualitas acara televisi.

Bagaimana dengan masyarakat kita? tidak bermaksud skeptis, namun selama masyarakat kita terhegemoni dengan acara audisi-audisian seperti yang dipertontonkan oleh televisi, maka jangan berharap ada kekuatan kualitas dari tayangan televisi. Karena bukankah citra kualitas masyarakat kita dapat dilihat dari kualitas acara televisi yang mereka tonton? Jika masyarakat sipil kita kuat dalam mengkritisi televisi mungkin tidak diperlukan lagi KPI atau bahkan tidak diperlukan lagi kampanye hari tanpa televisi, karena masyarakat sudah sadar bahwa tanpa televisi pun mereka tetap bisa hidup.***

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Itulah yang disayangkan. Kesibukan orang tua membuat mereka tak sempat memperhatikan tontonan anak. Padahal, tayangan yang aman sekalipun memerlukan dampingan orang tua agar kegiatan menonton tidak sebatas pasif, melainkan aktif, yaitu dengan cara membahas yang sedang ditonton.

September 04, 2008 11:15 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home