headnya

Friday, August 15, 2008

SSF 2008; AKU BELANJA, MAKA AKU ADA


Berbelanja adalah kegiatan berbudaya. Jangan lagi membayangkan budaya sebagai material yang secara periodik dikategorikan sebagai ‘ketinggalan jaman’. Budaya itu apa yang kita lakukan dulu, kini bahkan esok. Ia bergerak dinamis masuk ke segala lini kehidupan manusia, termasuk membicarakan tentang belanja.
Jika dulu berbelanja dimaknai sebagai pertukaran nilai secara barter, kemudian pergeseran itu berkembang hingga kini ke pusat-pusat perbelanjaan. Pasar tradisional yang sempat menjadi penanda budaya kini mulai tergantikan dengan hadirnya supermarket-supermarket. Jika dulu pasar barter dan pasar tradisional mengandalkan pada kehadiran muka dengan muka, kini pasar modern yang direpresentasikan melalui supermarket menghadirkan muka dengan barang. Jika dulu ada negosiasi secara komunikasi verbal, maka kini negosiasi terepresentasikan melalui papan kertas yang digantung di atap maupun ditempel di tempat-tempat point of purchase (POP) dengan tulisan ”discount” atau ”off”.

Surabaya Shopping Festival (SSF) dalam rangka HUT Surabaya ke-715 adalah kegiatan budaya masyarakat urban. Antrian panjang di depan kasir seperti diperlihatkan oleh Jawa Pos pada awal bulan Mei menjadi visualitas. Tak ayal lagi, ramainya orang berbelanja dan antrian orang membayar di kasir menjadi sebuah budaya visual.

Merayakan Konsumsi
Seringkali aktifitas orang berbelanja dijadikan tolok ukur tentang daya beli masyarakat, apakah meningkat atau menurun. Jika meningkat berarti perekonomian masyarakat bagus, namun sebaliknya jika menurun maka perekonomian buruk. Ini juga yang dijadikan dasar oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla ketika menjawab kritik tokoh-tokoh masyarakat mengenai semakin meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Atau dengan kata lain, kalau orang masih suka berkeliaran di mall, maka itu berarti ekonomi Indonesia membaik. Selintas pernyataan tersebut menyederhanakan permasalahan. Namun kembali kepada berbelanja tadi, aktifitas tersebut menjadi sangat penting tidak saja bagi pengusaha, namun juga bagi penguasa daerah untuk menunjukkan tingkatan daya beli masyarakatnya yang tetap tinggi.

Perayaan konsumsi ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi konsumerisme yang didorong secara simultan oleh iklan. Pengiklan mendorong sesuatu ”untuk menjadi”. Iklan juga yang mendorong ”kebutuhan” kepada ”keinginan”.

Thorsten Veblen (1953) dan Pierre Bourdieu (1984) menggeser argumen tersebut dengan menyatakan, bahwa kegiatan berbelanja adalah budaya hidup yang merupakan area penting bagi pertarungan dalam berbagai kelompok dan kelas sosial. Mereka mendefinisikan diri dan status mereka dengan belanja. Apa yang dibeli menjadi nilai sosial. Tidak percaya? cobalah sesekali memperhatikan antrian di kasir supermarket. Jika diperhatikan, sambil menunggu antrian iseng-iseng para pembelanja pasti akan memperhatikan trolley milik orang lain, apa lagi jika bukan untuk mendata barang apa yang ada di kita tapi tidak ada di orang lain, atau apa yang ada di orang lain tetapi kita belum membelinya.

Program festival belanja di Surabaya telah berhasil meningkatkan daya beli masyarakatnya, namun kini yang harus menjadi perhatian selanjutnya bagi Pemerintah Kota Surabaya adalah ada pihak lain yang dinihilkan keberadaannya saat festival ini dilakukan, yaitu kaum buruh.

Ekonomi Politik Belanja
Karl Marx dan Frederick Engels mengungkapkan transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Dalam masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki barang-barang itu, karena barang itu dijual di pasar dengan perolehan keuntungan. Oleh karena itu untuk mendapatkan barang-barang, para buruh harus membelinya dengan uang, sheingga para buruh menjadi konsumen untuk selanjutnya muncul yang namanya masyarakat konsumen (John Storey, 1996).

Barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam festival belanja tidak memperhitungkan buliran keringat para buruh, yang belum tentu ikut membeli barang yang dibuatnya. Bisa jadi keberadaannya di pusat-pusat perbelanjaan adalah sekedar melepas rasa panas untuk sekedar merasakan dinginnya AC atau melakukan aktifitas menonton sekedar melewatkan waktu luang.
Apakah dengan hal tersebut berarti daya beli masyarakat tetap meninggi? Tidak. Ada tolok ukur lain yang patut diperhatikan, yaitu jumlah barang yang dikonsumsi. Ketika golongan menengah ke atas membeli barang dengan memenuhi troli, mereka hanya akan membeli dua atau tiga barang asalkan bisa ikut merasakan langsung euforia festival belanja yang hanya berlangsung sebulan dalam setahun.

Kaum buruh dengan pendapatan yang kecil atau juga para pramuniaga, SPG maupun golongan buruh level bawah yang bersentuhan langsung dengan barang nyaris dinihilkan keberadaannya dalam festival ini. Keberadaannya hanya menjadi objek untuk menilai keberhasilan program festival ini namun tidak dilibatkan secara langsung secara ekonomi jika festival ini dipahami sebagai perayaan. Ia hanya bisa melihat aktifitas orang membeli barang, namun ia berpikir panjang untuk ikut membeli.

Maka, jadilah berkerumunnya orang di mall selain memang ada yang berbelanja, mereka hanya sekedar menonton orang berbelanja. Aktifitas inilah yang dipahami sebagai budaya penggemar. Penggemar melihat aktifitas belanja sebagai yang terobsesi (laki-laki) atau yang larut dalam histeria (perempuan) tetapi tidak ikut menjadi pelaku aktifitas berbelanja. Jargon ”aku berpikir, maka aku ada” miliknya Rene Descartes berubah menjadi ”aku belanja, maka aku ada”, karena memang aktifitas belanjalah yang membuat terbentuknya identitas diri.
Yang terpenting untuk dilakukan di masa mendatang adalah, bagaimana dengan festival tersebut tidak hanya ”keinginan” yang ditawarkan, namun juga ”kebutuhan”.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home