WATERBOOM DAN SEKOLAH
Gambar di atas merupakan potret kondisi pendidikan yang menyedihkan. Foto tersebut bukanlah iklan yang menunjukkan sebuah sekolah memiliki fasilitas permainan air. Hal ini tentu saja bukan merupakan berita yang baik dari berbagai sisi jika sekiranya itu memang iklan. Sekolah tidak mempunyai prioritas yang baik, karena mempunyai fasilitas yang mewah jauh melebihi ukuran fisik sekolah dengan kondisi yang tidak sangat bagus dibandingkan permainan air itu sendiri.
Foto di atas adalah kenyataan yang begitu pelik dan terjadi di SD Negeri 81 Kota Jambi. Sekolah tersebut akan digusur dan di atas tanah itu akan berdiri wahana permainan air Waterboom yang sudah mulai dibangun di belakang sekolah. Foto ini dirilis pada tanggal 25 Maret 2008 di Harian Kompas atau dengan kata lain Waterboom berdiri dan menggusur sekolah justru ketika pemerintah dituntut untuk memenuhi anggaran sebesar 20% dari APBN untuk dunia pendidikan. Sebuah kondisi yang ironis.
Masih banyak kisah lain yang merupakan potret buram pendidikan di negeri ini. Belum terlupakan tentang sekolah SMP yang harus tergusur oleh pembangunan mall di Jakarta, sudah ada lagi kisah tentang dua orang anak yang harus dikeluarkan dari sekolah SD di Riau karena belum membayar SPP. Dan rasa-rasanya ratusan kisah seperti ini masih ada entah yang terblow-up media atau tidak.
Pendidikan, Pasar dan Negara
Kisah-kisah di atas sepertinya memperjelas terminologi, bahwa memang tidak sekolah bagi orang miskin. Dari hari ke hari pula kaum miskin makin kehilangan hak-haknya yang telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Waterboom yang menjamur di berbagai kota di pulau Jawa seakan-akan juga menjadi model bahwa pembangunan akan dipandang berhasil jika ada fasilitas fisik seperti ini. Waterboom yang biasanya didirikan di kompleks pusat perbelanjaan, mall, hunian kelas eksekutif dan hotel seperti halnya di Jawa, memang menjadi lahan yang subur untuk meminggirkan sarana dan prasarana yang dipandang tidak efektif dan efisien, termasuk juga pemikiran untuk meminggirkan sekolah.
Pemerintah daerah setempat agaknya berhitung dengan ”pendapatan kas daerah” dan mulai melirik investor untuk memajukan wilayah mereka. Parahnya, kemajuan daerah itu dihitung berdasarkan pembangunan fisik yang semakin meminggirkan sekolah seperti halnya waterboom di Jambi.
Di sisi yang lain kian hari jumlah orang miskin kian bertambah, sedangkan kekuasaan (negara) makin menjauh dari mereka. Semenjak neoliberalisme menjadi model yang dianut bangsa ini, sejak itu juga orang miskin semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai, dan pekerjaan yang layak. Model yang menempatkan neoliberalisme sebagai ideologi pembangunan dunia seolah telah sukses meluluhlantakkan pertahanan hidup orang miskin untuk berpendidikan.
Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa pendidikan model pasar telah menjadi mesin produksi yang harus bekerja terus-menerus dengan logika ”efektivitas dan efisiensi” untuk menciptakan ”generasi intelektual instan” yang serba seragam, termasuk seragam dalam cara pemikirannya. Model pendidikan seperti ini kemudian mengenyampingkan sebuah proses pendidikan yang di dalamnya terdapat titik-titik pencerahan dan pembebasan manusia dari keterkungkungan. Hasil dari proses pendidikan dengan logika efektivitas dan efisiensi itu adalah hadirnya para koruptor dan munculnya manusia yang berwatak kasar.
Hal yang juga penting adalah bagaimana media massa mentransformasikan situasi penting dalam pendidikan tersebut untuk mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat luas. Kejadian waterboom di Jambi akan menjadi perhatian yang mendesak tidak saja oleh para orang tua siswa yang bersekolah di situ, namun juga masyarakat luas yang bisa saja menentang pembangunan wahana permainan itu yang memang secara positif bisa memakmurkan pendapatan daerah, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menyelamatkan pendidikan.
Tanpa kekuatan dari hal-hal tersebut di atas, Indonesia akan diarahkan kepada situasi yang kacau secara sosial maupun politik, karena tidak adanya otoritas kekuasaan yang mampu membendung keinginan pihak pemodal dan malah yang terjadi adalah mempermudah pihak investor memiliki fasilitas bagi masyarakat bahkan melalui peraturan pemerintah. Masyarakat pun akan semakin tertindas dan dalam bahasa hiperbolik, mungkin Indonesia akan mulai masuk jurang pemerintahan yang tunduk pada pasar, jika tidak bisa dikatakan bahwa Indonesia akan masuk ke kehancuran secara sosial, politik dan budaya. ***
Labels: Social Justice
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home