GREY CHICKEN; CERMIN GAGALNYA PENDIDIKAN?
Media massa lokal di Surabaya beberapa bulan yang lalu sedang diramaikan oleh pemberitaan investigasi mengenai fenomena ’”ayam abu-abu” atau menurut istilah salah satu koran lokal Surabaya dinamakan sebagai grey chicken, istilah yang dapat memunculkan sikap tidak manusiawi. Grey Chicken adalah kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anak SMA selepas sekolah. Pemberitaan menjadi heboh dan diikuti oleh berbagai opini yang jika semakin dikritisi semakin menyudutkan pada satu pihak dan menihilkan pihak lain. Sang pelaku dan pendidikan menjadi sasaran tembak, bahkan ada yang menyebutnya sebagai kegagalan pendidikan di Indonesia. Surabaya hanyalah salah satu kota yang (kebetulan) diekspos, namun saya yakin di banyak kota di Indonesia fenomena grey chicken adalah visualitas yang kerap ditemui keberadaannya meski kerap ’malu-malu’ muncul di permukaan.
Menjadi sesuatu yang naif jika fenomena grey chicken di Surabaya kemudian hanya mempersalahkan sistem pendidikan sebagai satu-satunya biang ambruknya moral. Namun saya sepakat bahwa fenomena ini sebenarnya juga menjadi pekerjaan rumah bagi sistem pendidikan kita yang kini hanya mengejar class world education tetapi melupakan hakekat pendidikan itu sendiri dalam hal salah satunya yaitu pembangunan watak menjadi kaum terdidik. Sekolah (dan juga universitas) kini berlomba-lomba menyejajarkan dirinya sebagai institusi pendidikan yang bertaraf dunia agar mencapai nilai akreditasi yang bagus dan dapat bertanding dengan negara maju. Hal demikian tidaklah salah, namun apakah kemudian tugas terpenting insititusi pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan bangsa dalam hal intelektualitas namun juga cerdas secara kepribadian untuk menumbuhkan harga diri terhempaskan seiring tuntutan menjadi world class schoo/?
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan situasi sistem pendidikan kita seperti ini kemudian hal itu hanyalah satu-satunya faktor ambruknya moral pelajar kita? atau jangan-jangan hal seperti ini hanya sekedar melemparkan tanggung jawab keluarga ke sekolah? Masyarakat sipil kelihatan sekali menjadi tidak berdaya. Bagaimana dengan pemakai jasa grey chicken (laki-laki)? Media massa dan bahkan kita tidak pernah memperbincangkannya, apakah karena mereka laki-laki sehingga kita menjadikannya sangat permisif? Saya teringat ucapan Arswendo Atmowiloto yang mengatakan:”Kalau cowok banyak pacarnya, dibilang hebat, kalau cewek banyak pacarnya, dibilang murah. Kalau cowok nakal, dibilang lumrah, kalau cewek nakal, dibilang dunia mau kiamat” (Arswendo Atmowiloto, Majalah HAI , 10/1/1989).
Kuasa atas Tubuh
Perempuan lebih mudah dijelaskan pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Sama dengan pandangan kita ketika menilai para pelaku grey chicken adalah perempuan yang lemah dan tak berdaya di tengah gempuran keinginan populer seperti memiliki rumah, HP multifungsi maupun benda-benda lain yang didapatkan dengan mudah disaat usia masih belasan tahun. ”Kelemahan” perempuan ditunjang dengan status yang masih pelajar menjadikannya sebagai sasaran tembak laki-laki yang berdompet tebal untuk memanfaatkan. Inilah stereotip tentang perempuan. Masyarakat manapun, termasuk di Indonesia stereotip negatif pada perempuan selalu berlangsung. Makhluk Tuhan yang lemah, sering dipakai sebagai bahasa untuk menyudutkan perempuan dan perempuan sendiri semakin mengamininya.
Perempuan lebih mudah dijelaskan pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Sama dengan pandangan kita ketika menilai para pelaku grey chicken adalah perempuan yang lemah dan tak berdaya di tengah gempuran keinginan populer seperti memiliki rumah, HP multifungsi maupun benda-benda lain yang didapatkan dengan mudah disaat usia masih belasan tahun. ”Kelemahan” perempuan ditunjang dengan status yang masih pelajar menjadikannya sebagai sasaran tembak laki-laki yang berdompet tebal untuk memanfaatkan. Inilah stereotip tentang perempuan. Masyarakat manapun, termasuk di Indonesia stereotip negatif pada perempuan selalu berlangsung. Makhluk Tuhan yang lemah, sering dipakai sebagai bahasa untuk menyudutkan perempuan dan perempuan sendiri semakin mengamininya.
Keperawanan dihargai mahal karena daya fantasi laki-laki dalam menciptakan model-model perempuan untuk memenuhi hasratnya. Mereka menganggap keperawanan itu identik dengan kebodohan, tidak berdaya, bau kencur, ketidak-tahuan dan sempit pikiran. Sehingga dengan demikian menjadi sebuah kenikmatan untuk mempermainkannya meskipun sadar bahwa usia anaknya juga sama dengan usia grey chicken. Karena itu tidak mengherankan jika pelaku dunia prostitusi yang kerap laris adalah mereka yang masih pelajar. Label status sosial sebagai pelajar identik dengan keperawanan. Laki-laki kemudian berhasrat untuk melakukan kuasa atas tubuh perempuan itu sebagai representasi keberkuasaan atas ketidakberdayaan (Foucault, 1978).
Grey chicken jika diamati tidak hanya berbicara pada tataran ada pelajar perempuan menawarkan jasa seksual pada laki-laki, namun grey chicken berbicara pada tataran dominasi laki-laki dalam menciptakan tren industri seksual. Pergeseran pelaku seksual komersial yang kini melanda pelajar adalah gambaran bahwa hasrat dan fantasi laki-laki kini mengarah pada gambaran anak-anak di bawah umur setelah beberapa waktu sebelumnya marak dengan ”ayam kampus”. Sadar bahwa laki-laki menyukai pada keperawanan, hal ini kemudian dikomodifikasi oleh agen-agen grey chicken untuk menciptakan obat atau jamu yang menimbulkan efek perawan.
Dari sinilah kemudian kita berpikir, apakah sampai di sini pendidikan formal di sekolah bahkan agama pun turut dipersalahkan pada kasus grey chicken ini? Keluarga terlampau mudah untuk melempar tanggung jawab, sementara mereka sebagai kekuatan sipil justru gagal. Kontrol sosial menjadi longgar karena jangan-jangan mereka juga memanfaatkan keberadaan grey chicken dan justru mendapatkan informasi lebih banyak dalam laporan mengenai fenomena ini dalam media massa di Surabaya. Laporan investigasi semacam ini pun menjadi buah pertanyaan. Apakah kita geram dengan keadaan sosial ini ataukah laporan investigasi itu semakin memudahkan mendapatkan informasi bagaimana mendapatkan sekaligus harganya? Pertanyaan yang harus diperhatikan oleh media massa jika berkomitmen untuk menghapuskan pelacuran anak.
Bagaimana pula dengan para orang tua? Apakah kita juga cukup puas dengan cara memenuhi semua keinginan dan kebutuhan material anak sebagai imbalan atas kesibukan kita sebagai orang tua? Sekarang segalanya menjadi gampang dengan mencurahkan kesalahan kepada negara, sekolah dan bahkan mungkin juga agama ketika masalah domestik yang semestinya menjadi urusan keluarga tidak lagi diperhatikan. Globalisasi dalam segala hal tidak bisa terelakkan dalam dunia yang semakin terbuka dan tipis ini. Grey chicken yang ingin memenuhi kebutuhannya dengan materialisme itu sebenarnya terjebak pada pemenuhan globalisasi palsu. Yang kini diperlukan adalah sikap dan kontrol sebagai sosial maupun sebagai keluarga. Rasa peduli dan saling keterkaitan satu dengan yang lainnya akan membentuk sikap politik yang melahirkan kontrol sosial yang kuat.
Diperlukan semua pihak untuk terlibat aktif dalam kontrol sosial, termasuk industri-industri pariwisata yang menjadi lahan basah bagi industri seks ini. Kontrol sosial yang semakin ketat, menjadikan ruang gerak semakin dipersempit bagi pemenuhan fantasi liar dan hasrat bodoh laki-laki dalam menciptakan industri pelacuran anak. Kehadiran grey chicken bisa tidak kita sadari atau juga kita sadari namun pura-pura kita tidak menyadarinya. Atau juga kita menyadarinya, untuk kemudian suatu saat kita memanfaatkannya?...Gawat!!!***
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home