headnya

Thursday, September 04, 2008

DJAKABAIA: Historiografis Kuliner Klasik Surabaya


Judul : DJAKABAIA; Djalan-djalan dan makan-makan
di Soerabaia

Penulis : Vina Tania
Pengantar : Bondan Winarno
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun terbit : 2008
Tebal : iv + 63 halaman

Ini adalah buku panduan bagi pengidap penyakit untuk selalu merasakan petualangan rasa atas kuliner Indonesia, khususnya kuliner Surabaya. Ingin tahu kenapa Soto Gubeng PJKA Surabaya memasang sebuah papan bertuliskan ”Soto Masih Ada”? Konon ide memasang papan ini muncul karena seringnya pengunjung bertanya, ”Sotone jek onok ta?” (apakah sotonya masih ada/tersedia?). Karena sang penjual bosan ditanya dengan pertanyaan yang sama berulang kali, maka untuk lebih memudahkan dipasanglah papan tersebut. Lama kelamaan pengunjung akan tahu jika soto yang akan dibelinya ternyata sudah habis, maka ia tinggal melihat papannya sudah dilepas atau tidak. Kalau sudah dilepas, maka sotonya telah habis (hal. 38).

Itu adalah penggalan isi buku tentang tempat-tempat makan tradisional Surabaya yang masih eksis sejak puluhan tahun lalu. Ditengah gempuran tempat makan franchise kemudian tempat makan yang mengandalkan interior mewah maupun kemasan yang telah modern, buku berjudul Djakabaia ini hadir untuk ”menyelematkan” tempat makan yang bisa dikatakan ”kuno”.

Buku ini menjadi istimewa karena tiga hal. Pertama, gaya tulisan enak diikuti. Untuk ukuran jenis buku ringan yang berisi tentang informasi tempat makan di Surabaya yang relatif tua dan tak tergeserkan oleh perubahan tempat kuliner yang lebih modern, pemilihan kata bisa dikatakan bebas nilai. Ia tidak terlalu demonstratif namun juga tidak terlalu ribet. Yang jelas, pemilihan gaya tulisan khas anak muda, mengalir begitu saja.

Kedua, tidak banyak buku kuliner yang menyingkap asal-usul atau yang bersifat historiografi. Sub judul buku ini yang memakai ejaan lama menunjukkan bahwa Djakabaia menyoroti tempat makan di Surabaya dengan angle yang lain. Buku tentang kuliner di Surabaya perlahan mulai ramai dibuat, namun tidak banyak yang menyingkap asal-usul sebuah tempat makan atau justru asal-usul nama makanan itu sendiri. Djakabaia mampu muncul dengan memberi alternatif panduan tempat makanan ”kuno” di Surabaya. Tentu saja dengan mengambil alternatif angle yang demikian, maka buku ini membangkitkan romantisme bagi yang pernah tinggal di Surabaya maupun membangkitkan rasa penasaran sejarah bagi yang belum ke Surabaya.

Ketiga, kelebihan buku kuliner Surabaya ini terletak pada grafisnya. Karena itu, saya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa buku ini adalah perpaduan antara informasi sejarah dan grafis (historiografis). Dilengkapi dengan peta, foto dan grafis yang memikat, Djakabaia segar di mata dan layak juga dinamai sebagai buku panduan, karena informasinya yang lengkap tersebut. Lay out yang tidak ”normal” seperti halnya buku-buku serupa ditunjang dengan permainan warna yang atraktif untuk menandai setiap bahasan semakin mengukuhkan bahwa inilah karya anak muda yang besar dan tinggal di Surabaya yang mencoba memotret khasanah kuliner Surabaya dengan ”caranya sendiri”.

Namun begitu, di tengah-tengah kekurangan buku ini hal yang paling mencolok adalah kurangnya bobot pada pilihan dan sejarah (seperti juga yang dikritik oleh Bondan Winarno dalam halaman pengantar). Komunikasi visual pada buku ini cukup menutupi kelemahan tersebut, karena sekali lagi rupanya Vina Tania dalam buku ini tidak sekedar menulis namun juga mendesain sendiri lay outnya sekaligus pemilihan tipografinya.

Ekonomi Rakyat
Perdebatan mengenai pilihan tempat yang direkomendasikan oleh Vania pasti akan menyeruak di permukaan. Jangan menggugat penulis jika Anda tidak mendapati tempat makan di Surabaya yang menurut Anda lebih layak ada di buku ini. Perkara kuliner adalah perkara relatifitas. Perkara ketidakpastian. Bondan Winarno dalam pengantarnya mengatakan, ”beberapa tempat jika tidak bisa dikatakan sebagai top-markotop, pilihan itu masih tergolong second best”. Karena itu buku ini memang akan terus menimbulkan perdebatan jika tidak segera menyadarkan diri untuk kembali kepada misi awal mengapa buku ini diciptakan, yaitu mengangkat pusaka kuliner Surabaya.

The best 20 seperti yang diaku oleh Vania menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu apalagi jika diperhadapkan pada ekonomi politik. Buku yang ditulisnya ini tak ayal lagi akan menimbulkan perbincangan tentang siapa dibalik Vina maupun apa bedanya buku ini dengan buku yang sifatnya komersial (plus promosi)? Jangan-jangan Vina berada dalam kepentingan kapital maupun sosial tertentu, sehingga buku ini begitu dominan mengangkat tempat-tempat kaki lima. Mungkin terasa naif menduga seperti itu, karena anak muda seperti Vina sama halnya anak muda lainnya selalu berpandangan di mana saja oke-oke saja.

Makanan dalam perkembangan budaya diproduksi berdasarkan konsep dan makna serta kategori-kategori yang dikonstruksi dalam sebuah sistem sosial. Karena hal itulah dalam fenomena makanan terdapat semacam mistifikasi sebagaimana dikatakan Marx, yaitu bagaimana relasi di antara makanan diandaikan sebagai relasi di antara orang-orang dalam sebuah sistem sosial. Di dalam masyarakat, makanan dijadikan penanda untuk memberi kategori kelas sosial berdasarkan jenis makanannya, penataan makanan bahkan tata cara makan.

Klasifikasi, diskriminasi dan hierarki sosial yang terjadi dalam fenomena makanan memang tidak bersifat tetap, namun akan berubah sesuai dinamisasi masyarakat serta kebudayaan. Dominannya tempat-tempat yang khas kaki lima masuk dalam rekomendasi buku ini rupanya juga berseberangan dengan buku-buku sejenis lainnya yang banyak didominasi resto maupun kafe dengan tempat yang tentu saja memainkan kelas-kelas sosial tertentu. Bukan bermaksud memperlebar kelas sosial tersebut jika Vina lebih memilih kaki lima, tetapi lebih berhasrat pada ”penyelamatan” pada ekonomi mereka sekaligus memberikan citra yang positif dalam lintas kelas sosial bahwa pusaka kuliner Surabaya ternyata masih diselamatkan justru oleh pelaku-pelaku usaha kaki lima.

Di beberapa tempat, kuliner yang dijajakan oleh pedagang kaki lima ternyata merontokkan teori Marx tentang mistifikasi makanan. Karena ternyata ketika hari semakin malam, maka tempat-tempat itulah yang semakin ramai dikunjungi orang bahkan dalam lintas kelas sosial. Mulai dari yang hanya bersepeda hingga yang bermobil mewah semua menyatu dalam perburuan makanan. Tidak percaya? Tengoklah Rawon Setan Bu Sup di depan Hotel JW Marriot Surabaya!....***

(dimuat di Jawa Pos, 14 September 2008)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home