MEWUJUDKAN SURABAYA KOTA KREATIF
Pada Juni 2008, Departemen Perdagangan RI merilis cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia 2009-2025 serta pengembangan subsektor-subsektor ekonomi kreatif yang kemudian dikenal sebagai industri kreatif itu. Berdasarkan cetak birunya, ada 14 subsektor industri kreatif, yaitu periklanan; penerbitan dan percetakan; TV dan radio; film, video dan fotografi; musik; seni pertunjukan; arsitektur; desain; fesyen; kerajinan; pasar barang seni; permainan interaktif; layanan komputer dan piranti lunak; penelitian dan pengembangan.
Ekonomi kreatif sendiri berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreatifitas individu sebagai sebuah kekayaan intelektual. Sektor ini dipercaya pemerintah sebagai harapan bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit, bersaing da meraih keunggulan dalam ekonomi global.
Kontribusi sektor ini juga sangat berdampak bagi Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu rata-rata sebesar 104,638 triliun rupiah pada tahun 2002-2006 atau menyumbang 6,3 persen dari PDB nasional. Sektor industri kreatif pun mampu menyerap tenaga kerja rata-rata sebesar 5,4 juta pekerja di Indonesia dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8 persen serta produktivitas tenaga kerja bahkan mencapai 19,5 juta rupiah per pekerja setiap tahun melebihi produktivitas nasional yang “hanya” mencapai kurang dari 18 juta rupiah per pekerja per tahun.
Bandingkan dengan industri kreatif di negara lain, seperti Singapura. Singapura sendiri sedang berambisi menggenjot pendapatan Negara dari sektor ini untuk menaikkan kontribusi dari kurang lebih 3 persen (2000) menjadi 6 persen (2001). Simak juga ambisi Singapura untuk menjadikan Negara itu sebagai creative hub utama di Asia, sehingga mereka meluncurkan tiga inisiatif, yaitu kota Renaissance, Design Singapore dan Media 21.
Dengan menyingkirkan sekilas pandangan yang melihat upaya pemerintah yang sangat terlambat sementara sektor-sektor tersebut di Indonesia telah melaju kencang di pasar pasca ambruknya ekonomi Indonesia tahun 1997, indikasi positif pemerintah ini patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Bagaimana dengan Surabaya? Apa yang harus diperbuat agar mampu berdiri sejajar dengan kekuatan ekonomi global lainnya minimal sejajar dengan kota-kota dan wilayah kreatif lainnya, seperti Bandung, Jakarta, Bali dan Jogjakarta?
Sinergi Tiga Pihak
Banyak yang berpendapat, bahwa Surabaya ini bukanlah kota yang tepat dan mampu mengapresiasi kreatifitas orang dengan baik. Dengan kata lain, Surabaya bukan kota kreatif. Benarkah?
Apa yang tidak dipunyai oleh kota ini? Ada Budi Darma maupun Lan Fang serta sederet nama lain di bidang sastra. Siapa yang tidak kenal Padi maupun Boomerang serta puluhan grup band indie di sektor industri pertunjukan? Di periklanan mulai tumbuh rumah-rumah iklan, bahkan sumber daya manusianya (mahasiswa) bahkan mampu meruntuhkan dominasi mahasiswa periklanan dari kota lain yang selama ini dekat dengan periklanan, yaitu Jakarta dan Bandung. Di bidang desain, banyak fashion designer maupun desainer grafis yang malang melintang di dunia internasional. Bahkan distro pun banyak bertebaran di lingkungan kampus. Jangan tanyakan juga komik yang lahir dari Surabaya. Banyak komunitas komik dan komikus yang sangat getol berindustri di sektor ini. Seiring dengan boomingnya seni rupa Indonesia, kota ini juga punya deretan perupa-perupa yang mampu berbicara di tingkat nasional maupun internasional. Masih banyak potensi lain dari kota ini jika pihak pemerintah kota mau menginventarisasinya sebagai kekayaan kota. Namun tragisnya, mapping mengenai hal ini, pemerintah kota pun tidak mempunyainya.
Ada tiga hal yang harus bersinergi dalam memajukan ekonomi kreatif di Surabaya, yaitu intelektual, kalangan bisnis dan pemerintah. Kekuatan utama industri kreatif selama ini adalah mampu survive meski tanpa perhatian ketiga hal tersebut. Namun tidak ada salahnya, mulai tumbuh perhatian kepada mereka yang akan merangkak naik dalam industri kreatif di Surabaya.
Mengapa pihak intelektual bertanggungjawab pada pengembangan ekonomi kreatif? Yang jelas, faktor pendidikan inilah yang penting untuk ikut aktif melahirkan manusia-manusia kreatif. Banyaknya kampus di kota ini seharusnya mampu menjadi basis melahirkan generasi kreatif seperti halnya Bandung atau Jogjakarta. Namun apakah secara jujur mereka beritikad baik untuk melahirkan generasi-generasi kreatif ataukah hanya mengejar jumlah mahasiswa? Bagaimana peran serta mereka untuk secara aktif berkiprah di luar kampus? Adakah peran aktif dalam memberikan pelatihan-pelatihan di bidang kreatifitas ke kantong-kantong masyarakat? Bagaimana pula dengan penanaman pentingnya berpikir kreatif di tingkat pendidikan dasar dari SD hingga SMA? Apakah kurikulumnya masih berpihak dan terlalu menonjolkan kekuatan otak kiri dibanding otak kanan? Tentunya hal ini membutuhkan pula tenaga-tenaga pendidik yang tidak hanya pintar mengajar tetapi juga kreatif.
Di pihak bisnis, adakah kesempatan buat komunitas-komunitas masyarakat untuk mengembangkan kreatifitasnya? Program-program tanggung jawab sosial (CSR) yang dikembangkan oleh industri-industri besar akhir-akhir ini seharusnya mampu merangkul komunitas-komunitas yang secara proaktif mengembangkan bidangnya. Tengok saja, berapa banyak komunitas komik di Surabaya yang kadang-kadang gagal berangkat berpameran di kota lain di Indonesia hanya gara-gara kekurangan dana. Ada juga cerita dari seorang perupa Surabaya, yang gagal berangkat ke Biennale di Korea Selatan hanya karena juga masalah klasik tersebut. Komunitas-komunitas masyarakat yang secara aktif ingin menekuni kerajinan rakyat, misalnya, juga sangat membutuhkan rangkulan tangan dari pihak industri untuk menaikkan citra mereka. Jika di Surabaya banyak bertebaran mall seharusnya ini juga jadi sesuatu yang positif jika mereka menyediakan tempatnya untuk dijadikan ajang bisnis usaha kecil menengah (UKM) tanpa prosedur yang berbelit-belit bahkan mahal.
Bagaimana untuk pemerintah kotanya? sarana-sarana pendidikan kreatif juga harus diciptakan. Di Thailand, konsep taman edukasi telah diaplikasikan dalam Thai Knowledge Park yang dibangun dalam sebuah pusat perbelanjaan. Anak-anak dan kaum remaja dapat datang berkunjung ke sana untuk belajar sambil bermain, dan bahkan berbelanja. Tujuan dikembangkannya taman edukasi seperti ini adalah untuk mendorong siswa berpikir lebih kreatif. Pemerintah kota Surabaya sendiri telah membangun taman-taman kota yang memungkinkan berkumpulnya orang-orang kreatif. Namun, sekedar membangun infrastruktur tidaklah cukup. Langkah awal untuk menginventarisasi kekayaan intelektual di Surabaya dengan masuk ke industri kreatif yang telah mapan maupun komunitas-komunitas anak muda yang kreatif sangat dinantikan. Komunitas anak muda ini biasanya terpinggirkan padahal mereka berpotensi besar jika diperhatikan. Meskipun mereka banyak ’berindustri’ di kamar kos pun, pihak pemerintah tidak seyogyanya menampik keberadaan mereka. Dengan banyak upaya seperti itu, maka pemerintah kota diharapkan memasukkan program pengembangan industri kreatif ini ke anggaran kota sehingga dapat memacu insan-insan kreatif Surabaya untuk maju.
Jika tiga serangkai tersebut mampu berbuat banyak; pihak intelektual menyiapkan sumber daya manusia yang kreatif dan mumpuni, kemudian pihak bisnis membuka ruang selebar-lebarnya dalam bentuk kemudahan finansial maupun material buat pengembangan industri kreatif serta pihak pemerintah yang tidak lagi terlalu sibuk perihal ijin yang berpotensi iklim kreatif menjadi lesu, maka dalam waktu ke depan, Surabaya pun mampu menjadi kota yang kreatif! Siapapun harus saling percaya untuk mewujudkan cita-cita ini.***
(telah dimuat di Jawa Pos, 24 September 2008)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home