headnya

Sunday, March 30, 2008

PLAYSTAYTUNE - BIENNALE JOGJA IX/2007




Adakah yang disebut orisinalitas dalam berkarya seni sekarang ini? Tidak ada orisinalitas di dalam sebuah ’ekspresi seni’. Semua hanya mengulang-ulang. Semua bisa dirujuk, kata Mikhail Bakhtin (1895-1975), kepada sesuatu yang telah ada sebelumnya: bahasa, fakta yang diamati, emosi yang terasa, subjek yang berbicara, konsepsi yang pernah ada, dst. Karena tidak ada satu ungkapan seni pun yang tidak berkaitan dengan ungkapan seni sebelumnya, maka dua karya, dua ungkapan verbal, kontemporer dan masa lalu, semestinya bisa terlibat dalam suatu hubungan mutual semantik tertentu, yakni hubungan dialogis. Dalam hal ini, seorang seniman atau pengarang dapat meminjam pengungkapan seniman atau pengarang lain sedemikian rupa untuk tujuannya sendiri, yang meskipun demikian, tetap menjaga arah referensi yang ada dan mengakuinya sebagai berasal dari seniman bersangkutan. Dengan demikian pula, di dalam satu ungkapan dapat bergema dua suara, dua tujuan. Tidak ada satu wacana seni pun yang tidak mempunyai suara gandanya.

Konsep tentang ’identitas’ dan ’keaslian’ suatu karya seni apalagi yang selalu dihubung-hubungkan dengan akar keaslianIndonesia itulah yang menjadi dasar pemikiran saya dan kawan-kawan di Tiadaruang Art Community (TAC) dalam membuat karya seni visual. Kami diundang oleh tim kurator Biennale Jogja IX/2007 untuk merespon tema ”Neo-Nation” yang ditawarkan dalam perhelatan pameran seni visual berskala nasional dan juga diikuti oleh 164 seniman dari dalam dan luar negeri, seperti Jepang dan Republik Ceko.

Biennale Jogja IX ini telah dimulai dari tanggal 28 Desember 2007 s/d 28 Januari 2008 yang lalu di tiga tempat, yaitu Jogja National Museum (bekas kampus ISI Gampingan), Taman Budaya Yogyakarta dan Sangkring Art Space. Tim kurator dalam Biennale ini adalah Kuss Indarto (kurator dan penulis kritik seni), Eko A. Prawoto (perupa dan dosen Arsitektur UKDW), Suwarno Wisetrotomo (kurator dan dosen ISI Yogyakarta) serta A. Sudjud Dartanto (kurator dan dosen ISI Yogyakarta).
Karya yang diberi judul ”PlayStaytune” inipun kemudian diangkut dari Surabaya dan dipasang di Jogja National Museum dengan media neon box. Penambahan lain seperti mengecat tembok galeri dengan warna hitam dilakukan di tempat pameran. Karya yang dikerjakan total selama 2 bulan ini, berusaha ’menghidupkan’ parodi citra yang terdapat dalam legenda Cindelaras yang digambarkan sebagai serba acak, tak teratur dan hilang identitasnya seperti halnya kecepatan perkembangan sosial hingga tercerabutnya akar ’keaslian’ dalam dunia serba virtual ini.
Peristiwa klaim batik yang diambil Malaysia, kemudian tempe oleh Jepang, Reog Ponorogo oleh Malaysia dan beberapa kasus yang lain, mengisyaratkan pada kita untuk berpikir jernih, apakah masih ada konsep ’keaslian’ itu kini di tengah-tengah jaman yang serba virtual ini? selain yang tersisa sekarang adalah budaya hibrid dan diaspora.***

Labels:

Tuesday, March 11, 2008

LOGO PERSONAL

Kampanye calon Presiden Amerika Serikat (AS) dari masing-masing partai sedang masuk dalam tahap paling seru, terlebih bagi partai demokrat yang sangat sengit dalam perolehan jumlah delegasi. Calon dari partai republik cenderung telah dapat diduga menyusul kemenangan telak McCain atas Huckabee.
Bila dalam beberapa perbincangan tentang masa kampanye di AS melihatnya dari sudut pandang politik, kemudian beralih ke fashion terutama bagi Hillary Clinton yang memang satu-satunya calon presiden yang berkampanye. Saya ingin mengajak Anda untuk beralih ke hal yang lebih remeh temeh namun bagi saya ada spirit tanda. Logo, itu yang saya maksud. Bagi beberapa kalangan, membicarakan logo yang dipakai oleh calon presiden mungkin tidak begitu menarik karena itu hanya salah satu unsur ‘dekorasi’ saja yang mungkin tidak begitu penting.
Namun saya berpendapat tidak demikian. Melalui logo yang dipakai, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana daya tarik mereka melalui program, melalui pandangan mereka terhadap masa depan negaranya dan banyak hal lain yang bisa kita lihat dari sebuah bentuk kecil seperti logo. Logo tidak hanya menjadi penting bagi perusahaan maupun lembaga, personal pun perlu melakukan hal ini. Apalagi jika bukan demi pencitraan.

Apakah logo tersebut kemudian juga memiliki nilai yang sama seperti logo di banyak perusahaan maupun lembaga? di Indonesia, wacana tentang penggunaan logo bagi para personal yang sedang melakukan kampanye entah untuk kebutuhan Pilkada maupun Pilpres dipandang tidak menjadi begitu penting. Hal ini mungkin disebabkan oleh minimnya atensi mereka bahwa personal pun berhak untuk di-marketing-kan. Karena itu tidak heran beberapa media kampanye hanya menaruh foto para calon dan tidak diimbangi dengan personal identity seperti logo. Seperti yang telah disebutkan di atas, logo tidak sekedar lambang. Namun ia telah menjadi spirit bagi dirinya sendiri maupun bagi pendukungnya atau paling tidak bagi calon pendukungnya. Sehingga nilai dalam logo personal menjadi sama bila disandingkan dengan logo-logo yang ada di perusahaan. Logo menjelma menjadi visualitas yang sederhana namun mampu berbicara banyak hal tentang dirinya.

Fenomena Foto Diri
Memasang foto diri kandidat memang juga penting, karena lewat foto diri lah masyarakat jadi lebih tahu tentang calonnya. Namun bukan tanpa kekurangan, jika kemudian mereka hanya mementingkan tingkat attention melalui foto. Contoh paling baru, bagaimana calon gubernur DKI Jakarta hanya dikenali karena kumisnya, bukan karena wacananya, bukan pula karena sikapnya menatap masa depan. Begitu pula faktor penampilan yang banyak dilakukan melalui foto diri yang selalu berpenampilan formal akhirnya menjadi segalanya. Ganteng, cantik, kuat, gagah, berkumis, putih maupun postur tinggi-besar sekan-akan menjadi pusaran nilai kita selama ini. Citra itulah yang dibangun seperti halnya bagaimana kita memaknai gambaran ideal manusia dalam iklan. Nilai penampilan diri yang oposit-biner dari gambaran ideal di atas seakan tidak diberi tempat.
Keseragaman dalam memuat foto diri dengan menampilkan ragam citra seperti memakai kopiah, jas hitam beserta dasi, senyum yang dipaksakan, kebaya beserta tata rias yang mencolok seakan menjadi pemandangan yang seragam dalam Pilkada di berbagai daerah di Indonesia. Citra yang kemudian ditangkap adalah sosok birokratis yang kaku dan sekedar formalitas.

Logo personal di Indonesia
Pasangan Amien Rais-Siswono Yudhohusodo mungkin adalah pasangan calon presiden RI pada Pemilu 2004 yang melihat peran penting sebuah logo. Dari antara calon presiden, saya pikir hanya pasangan itulah yang memikirkan dengan betul logo yang akan mereka pakai. Rangkaian huruf ‘I’ pada Amien dan huruf ‘I’ pada Siswono membentuk angka 1 menunjukkan tingkat kepercayaan dirinya menjadi pasangan presiden dan wakil presiden RI. Tidak perlu bicara panjang lebar, kita hanya tahu dengan logo tersebut bagaimana identitas mereka. Amien Rais yang dikenal sosok yang percaya diri, berani dan tangguh, karena itu tidaklah heran jika logonya memvisualisasikan karakter yang demikian. Belum lagi paduan warna hitam, perak dan merah pada angka 1 membuatnya dimaknai menjadi sosok yang tegas dan memperlakukan segala sesuatunya dengan ‘hitam-putih’.

Logo memang bukanlah iklan yang secara gamblang menyebutkan dirinya maupun produk jualannya. Logo secara fisik hanyalah lambang dari identitas. Ia merupakan bagian kecil dari keseluruhan strategi kampanye. Logo tidak bisa disalahkan jika kemudian Amien-Siswono gagal melaju ke istana. Yang patut disalahkan adalah bagaimana implementasi dari spirit logo itu dan bagaimana Amien-Siswono membawa lambangnya itu. Jika hanya menjadikan logo sebagai lambang dan bukan sebagai spirit maka tidak ada pengaruhnya memakai logo atau tidak.

Logo Kandidat Presiden AS
Dalam beberapa kali pemilihan presiden AS, logo selalu diikutkan dalam strategi kampanye. Momentum Pemilu AS untuk memilih presiden sekarang ini menjadi sangat meriah tidak saja secara politik (isu jender dan ras maupun konservatif) namun juga dengan logo yang sarat makna dan nilai. Lihat beberapa aplikasi logo personal para kandidat berikut ini. (Penyebutan nama tidak berdasarkan jumlah suara atau prediksi suara tertinggi, namun ditulis secara acak).

Hillary Clinton
Siapa yang tidak kenal dia? Mantan ibu Negara saat sang suami, Bill Clinton menjadi Presiden AS. Dia juga dikenal sebagai sosok ibu sekaligus istri yang baik, kuat dan teguh dalam pendirian. Ketika isu Monica Lewinsky mengoyak rumah tangganya, ia masih teguh berdampingan dengan Bill Clinton, seraya menunjukkan “baik atau buruk Bill Clinton, ia tetap suamiku”.
Hillary tetap menganggap penting penggunaan logo sebagai salah satu identity-personal –nya meskipun masyarakat telah secara luas mengenali dia. Keberadaannya yang secara struktur sosial adalah the second sex merupakan tantangan tersendiri untuk membuktikan mengenai isu kesetaraan jender di Negara demokratis tersebut.

Mengutip blog dari beberapa desainer grafis di AS, logo yang dibuat oleh kubu Hillary ini dinilai tidak ada istimewanya. Bahkan banyak dari desainer itu yang melihatnya sebagai sebuah ‘kesalahan awal’. Bagaimana tidak, logo itu tidak berbicara banyak perihal dirinya. Klise untuk memunculkan elemen-elemen bendera AS secara apa adanya. Kalimat ‘for President’ banyak dinilai sebagai ‘kebodohan’. Kalimat ini seakan telah beranak-pinak dari kampanye-kampanye terdahulu hingga sekarang dipakai lagi. Dinilai sebagai kebodohan karena jelas-jelas yang dilakukan oleh Hillary sekarang adalah demi menjadi presiden dan semua orang tahu hal itu.

Mike Huckabee
Bunyi slogan kampanye Huckabee adalah “I like Mike’ meniru bunyi iklan Michael Jordan, legenda NBA. Dengan mengangkat janji kampanye ‘Faith-Family-Freedom’ seakan kita mendengar citra AS yang klasik yang terwakilkan oleh film-film koboi, kemudian citra perempuan yang anggun dengan roknya yang mekar seperti di film-filmnya Clint Eastwood. Bagi peradaban yang semakin maju seperti di AS yang menjadi barometer peradaban budaya populer, identitas demikian tadi serasa sangat kuno.

Logo yang dibuat kubu Huckabee dinilai sama seperti ketika ia mengangkat isu ‘Faith-Family-Freedom’ tadi. Logo yang dibuat tidak ngetren dan cenderung ketinggalan jaman. Masih mengusung visualitas kebesaran AS seperti warna merah, biru dan putih serta unsur bintang, logo tersebut tidak istimewa. Garis lengkung putih membelah warna biru dan merah lebih menyerupai elemen serupa di perusahaan multinasional Coca-Cola. Sepintas logo ini dinilai banyak desainer grafis tidak mengangkat isu-isu perubahan pasca 11 September dan invasi ke Irak berujung pada guncangan ekonomi disana. Tidak ada yang istimewa apalagi baru bila ‘membaca’ logo tersebut.

John McCain
Logo ini dinilai kalangan desainer grafis sebagai logo yang bermakna sangat tegas, simpel dan fokus. McCain juga dinilai banyak pihak sebagai penerus George W. Bush bila menilik sikapnya untuk tetap menempatkan pasukan AS di Irak. Logo ini sangat mewakili dirinya. Gambaran bintang di tengah serta strip yang memancar di atas tulisan McCain adalah gambaran dirinya yang sarat pengalaman militer. Seperti diketahui, tanda strip dan bintang merupakan elemen yang kerap dipakai untuk menandai properti-properti maupun identitas kemiliteran AS.

Bagi kalangan desainer grafis di AS, logo milik McCain ini tidak menjawab segala pertanyaan perihal motivasi dia menjadi presiden AS atau harapan-harapannya. Logo ini lebih memuat identitasnya yang tidak dipadu-padankan dengan harapan-harapannya tersebut. Bagi desainer, logo seperti ini cocok dipakai oleh seorang yang narsis dan hanya berujung pangkal pada dirinya sendiri.

Barack Obama
Logo ini dinilai banyak pengamat dan praktisi desain grafis AS sebagai logo yang paling kreatif dalam kampanye Presiden 2008 (bahkan sepanjang masa!). Logo ini sepertinya sangat serius digagas. Dengan mengambil inisial huruf “O” yang kemudian dipadu-padankan dengan gagasan dan janjinya perihal adanya perubahan dan harapan, logo ini dinilai sangat inspiratif dan sarat makna filosofis. Di tengah kritik tajam rivalnya perihal kurang pengalamannya dia dalam hal birokrasi pemerintahan, Obama memberikan warna baru yang tidak formal dan tidak kaku (rigid).

Logo yang dibuat tersebut agaknya juga satu-satunya logo yang terpadu antara identitas dan janji kampanye dibandingkankan logo-logo dari kandidat di atas. Melihat logo itu seperti membaca atau bahkan mendengarnya berpidato saat berkampanye. Meskipun masih memuat elemen-elemen visual AS seperti warna merah, biru dan putih serta strip seperti halnya pada bendera AS, namun semuanya terpadu sangat harmonis, berkembang dengan sangat kreatif dan berupaya menyederhanakan pikiran Obama di saat kampanye. Lubang putih dimaknai sebagai harapan (matahari terbit), awan biru sebagai cita-cita dan strip warna merah dimaknai sebagai ‘tanah impian’. Makna-makna yang sarat dengan nilai filosofis dan terbungkus rapi dalam sebuah logo.
Logo milik Obama ini pulalah yang kaya dengan pengaplikasiannya yang disesuaikan dengan janji politiknya. Meskipun logo ini kemudian dikembangkan sesuai dengan sasaran yang hendak dibidik, namun logo Obama tetap konsisten dan tetap artistik.
Lihatlah, bagaimana logo itu dapat dikembangkan untuk mendapatkan simpati dari pelajar/mahasiswa, ras Amerika-Afrika, ras Amerika Latin, kaum perempuan, rohaniawan serta membangun kebanggaan bersama. Logo yang dibuat itu telah membuktikan mengenai kelenturan logo yang disesuaikan dengan konteksnya. Hal demikian lah yang tidak dijumpai oleh logo-logo dari kandidat lain. Menilik sifat logo Obama seperti itu, pantaslah jika banyak praktisi desain grafis AS mengatakannya sebagai logo yang paling kreatif sepanjang masa dalam kampanye Presiden AS!

Spirit dalam Logo
Logo memang tidak berpengaruh langsung terhadap kemenangan, namun ia bermain di wilayah citra dan identitas yang positif dari para kandidat. Spirit melalui logo itulah yang seharusnya menjadi daya tarik. Logo personal bukan hanya masalah memberi identitas sebagai lambang, namun seperti halnya sebuah doa, logo yang didesain dengan perancangan yang matang dan terkonsep sangat dalam adalah juga serangkaian doa. Di dalamnya ada pengharapan tentu saja bukan hanya untuk sebuah kemenangan, namun doa untuk bersungguh-sungguh menyejahterakan rakyat dan bukan saja lips service yang mengelabui rakyat. Apalah arti estetika sebuah logo dengan segala kreatifitasnya, jika doa itu tidak dilakukan sebenarnya seperti dalam rancangan logo yang dibuat.

Bagi para kandidat Bupati, Walikota, Gubernur maupun Presiden yang dalam waktu dekat ini maupun waktu mendatang akan ’bertarung’ dalam Pilkada maupun Pilpres, sudahkah melantunkan doa yang akan diwujudkan dalam sebuah logo? Kalau belum, mari berpikir sejenak! Jika logo adalah rangkaian spirit doa, maka sudah siapkah Anda mewujudkan doa Anda tersebut? Jika kemudian hanya siap untuk mengelabui rakyat lebih baik jangan berpikir untuk membuat logo. Mahalnya sebuah kreatifitas dalam logo jika tidak diimbangi dengan perwujudan nyata, apalah gunanya selain hanya dilupakan dan diinjak-injak orang. ***

Labels: