LASTRI DAN BENDERA MERAH PUTIH
”Dalam kesadaran, ada perasaan spontanitas. Ada aktivitas yang suka bermain yang sadar akan dirinya, begitu saja.”
(Jean-Paul Sartre dalam The Psychology of Imagination, 1972).
Kalimat di atas memantik adanya paham baru yang bernama eksistensialisme. Eksistensialisme mulai marak di seputaran tahun 1960-an sebagai perlawanan terhadap Marxisme. Eksistensialisme ini pulalah yang menentang ideologi represif seperti ultra-nasionalisme, sosialisme atau fasisme, karena eksistensialismelah yang menjunjung tinggi kebebasan. Setiap individu diberi ruang untuk kebebasannya, artinya kebebasan yang membuatnya eksis – diakui keberadaannya sebagai pribadi. Jika kebebasan itu disangkut-pautkan dengan kejahatan, maka hal tersebut dimaknai bukan sebagai kebebasan melainkan kriminal. Bukan pula sebagai kebebasan yang kebablasan.
Kalimat di atas memantik adanya paham baru yang bernama eksistensialisme. Eksistensialisme mulai marak di seputaran tahun 1960-an sebagai perlawanan terhadap Marxisme. Eksistensialisme ini pulalah yang menentang ideologi represif seperti ultra-nasionalisme, sosialisme atau fasisme, karena eksistensialismelah yang menjunjung tinggi kebebasan. Setiap individu diberi ruang untuk kebebasannya, artinya kebebasan yang membuatnya eksis – diakui keberadaannya sebagai pribadi. Jika kebebasan itu disangkut-pautkan dengan kejahatan, maka hal tersebut dimaknai bukan sebagai kebebasan melainkan kriminal. Bukan pula sebagai kebebasan yang kebablasan.
Karena itulah tidak perlu kiranya ada idiom yang sempat dihembuskan oleh penguasa orde baru dan diyakini hingga sekarang, yaitu kebebasan yang bertanggungjawab. Karena jika menilik pernyataan Sartre di atas, jelaslah kebebasan itu bertanggungjawab akan dirinya sendiri. Idiom kebebasan bertanggungjawab hanyalah untuk memberikan stigma negatif terhadap kebebasan itu sendiri.
Seni dan Persepsi Imajinasi
Dalam berbagai kasus di Indonesia, kesenian erat dikaitkan dengan ekspresi kebebasan. Beberapa kali ekspresi seni dihadapkan pada permasalahan pelik yang berurusan dengan aparat negara maupun kelompok sipil. Mulai dari pertunjukan teater Marsinah yang dicekal oleh pemerintahan orde baru hingga yang terbaru penghentian kegiatan syuting film Lastri di Solo. Tren yang kini menghadang ekspresi seni itu justru datang dari masyarakat sipil. Inilah hal yang dikhawatirkan dari gerakan-gerakan pasca reformasi yang ditandai dengan berpindah tangannya kekerasan dari negara ke masyarakat sipil. Negara bahkan tidak berdaya lagi mengkontrol kekerasan masyarakat sipil.
Masih hangat dalam ingatan kita, pameran seni rupa Biennale di Jakarta yang diramaikan oleh demonstrasi aktivis FPI karena ada karya seni (karya Agus Suwage dan Davy Linggar) yang dikaitkan dengan pornografi. Begitu pula syuting film Lastri (diproduseri Marcella Zalyanti dan disutradarai oleh Eros Djarot) yang justru dihadang oleh kelompok sipil yang merasa trauma dengan kejadian di tahun 1965. Roy Suryo pun merasa perlu menggugat video klip lagu Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia milik Dewa 19 yang katanya menghina bendera merah putih.
Persepsi sering dikaitkan dengan percampuran sensasi-sensasi dan imaji dari citraan-citraan yang lahir dari sesuatu yang dilihat. Namun seperti halnya yang diucapkan Sartre, kita lebih bisa merasakan daripada melihat. Nah, dugaan saya ketakutan-ketakutan yang lahir untuk menghadang karya seni ini lebih memainkan perasaan daripada pengalaman melihat yang bersumber pada kecerdasan melihat (visual literacy).
Citraan dan Objek Seni
Para pekerja seni pastilah memiliki kesadaran konsep ketika karyanya akan dinikmati oleh khalayak luas. Kesadaran itu sendiri bahkan menjadi sesuatu yang tidak penting ketika karyanya mulai dilempar ke pasar dan dinikmati secara bebas. Termasuk juga tidak akan ada lagi klaim kebenaran mengenai pemaknaan atas citraan-citraan, karena khalayak memiliki kebebasan juga dalam memaknai. Seniman bahkan tidak memiliki klaim kebenaran itu.
Citraan dan Objek Seni
Para pekerja seni pastilah memiliki kesadaran konsep ketika karyanya akan dinikmati oleh khalayak luas. Kesadaran itu sendiri bahkan menjadi sesuatu yang tidak penting ketika karyanya mulai dilempar ke pasar dan dinikmati secara bebas. Termasuk juga tidak akan ada lagi klaim kebenaran mengenai pemaknaan atas citraan-citraan, karena khalayak memiliki kebebasan juga dalam memaknai. Seniman bahkan tidak memiliki klaim kebenaran itu.
Karena itulah menjadi hal yang wajar ketika masyarakat yang telah menikmati karya seni secara bebas mulai melakukan pemaknaan dan disinilah letak akar permasalahan itu, yaitu persepsi yang berbeda-beda. Sekencang-kencangnya seniman mengatakan konsepnya, tetap saja klaim itu menjadi kabur, karena karyanya menjadi milik umum. Pertanyaan kemudian adalah kapan sebuah karya bisa dikatakan lepas dari pengarangnya? Dalam era industri sekarang, jelaslah ketika karya tersebut telah didistribusikan luas ke pasar. Artinya, tentu saja ketika karya telah selesai, lengkap dengan pengemasannya yang baik.
Satu benda tentu tidak bisa dikatakan besar atau kecil jika tidak ada benda pembandingnya. Hal inilah yang kerap kali menjadi ilustrasi sebuah persepsi. Objek pembanding lengkap dengan kecerdasan visual yang didapatkan tentu dari literatur dan pengalaman visual menjadikan kita tidak mudah untuk mengatakan beda persepsi.
Dalam kasus film Lastri, bagaimana kita bisa menghakimi jika film itu bahkan masih dalam tataran konsep? Filmnya pun belum jadi, penghakiman sudah dimulai. Dalam bahasa film, konstruksi karyanya harusnya lengkap. Tidak bisa menghakimi hanya setelah membaca skenario. Setting, sinematografi hingga filosofisnya adalah kemasan yang menyatu dalam film. Dalam kasus ini, jelaslah tidak ada perbedaan persepsi namun adanya pengekangan kebebasan untuk mewujudkan sesuatu yang hanya didasarkan pada perasaan belaka (trauma – paranoid).
Bagaimana dengan video klip Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia? Dalam kasus ini, Roy Suryo rupanya tidak memiliki visual literacy. Amat disayangkan memang, seorang Roy Suryo yang dekat dengan dunia seni visual tidak mampu menghakimi sebuah karya seni dengan lengkap. Ketika peraturan pemerintah dijadikan pembanding, maka itu bukan ukuran pembanding yang pas. Yang tepat adalah, jika yang dijadikan pembanding adalah sesama karya seni. Ketika dilempar ke pasar, bendera berwarna merah dan putih dan ada logo Laskar Cinta dalam video klip itu tetaplah dimaknai sebagai bendera merah putih, meskipun Dhani Dewa kencang menyatakan bahwa itu adalah backdrop. Siapapun tahu, ”backdrop” dalam video klip itu dekat dengan bendera merah putih.
Namun yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimana dengan iklan media cetak salah satu partai yang belakangan ini kerap muncul lengkap dengan figur dewan penasihat yang adalah seorang presiden dan bahkan dalam iklan yang lain pula ada beberapa orang di atas kibaran bendera merah putih? Iklan pun adalah karya seni yang ketika ia menjadi still life (iklan media cetak), maka kita pun juga memaknai hal yang sama dengan objek citraan itu sendiri. Jelaslah, bendera merah putih itu tetaplah bendera negara Indonesia. Dan, bendera itu pun juga ditempeli diatasnya (montage) dengan gambar orang dan bendera itu bukanlah hanya sekedar dimaknai sebagai background gambar. Artinya, dalam kasus video klip Dewa 19 dengan iklan Partai Demokrat dan bahkan sering juga dilakukan oleh partai-partai yang lain adalah sama-sama menghembuskan nafas ”penghinaan” pada bendera negara, seperti pernyataan Roy Suryo. Tentu saja pernyataan tersebut lahir jika kita mengamati karya visual dengan tidak cerdas.**
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home