headnya

Thursday, December 18, 2008

MENGANDAIKAN KOTA MERDEKA DARI PAPAN REKLAME

Tulisan ini diperuntukkan bagi masyarakat Surabaya yang mencintai keindahan kota. Masyarakat yang mulai jengah melihat kotanya diselimuti ratusan billboard dan iklan bando jalan. Masyarakat yang ingin melihat langit biru dan pepohonan bebas menjulur tanpa diselipi papan reklame. Jika ada yang tidak mencintai keindahan kota dan membaca tulisan ini, marilah kita bersama-sama membayangkan seandainya kota ini terbebas dari penjajahan papan reklame. Implikasi yang tentunya positif dibandingkan membayangkan kota ini menjadi hutan yang penuh billboard, baliho, dan bando. Dalam tulisan ini, penulis berharap agar Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Jawa Timur terbangun dari tidur dan lebih bermain kode estetis ketimbang kode etis dalam tiap aturan mainnya.
Sebetulnya, perdebatan tentang tata pemasangan billboard di Surabaya mulai diperdebatkan beberapa bulan lalu. Bahkan, kondisi tahun-tahun sebelumnya pun memancing polemik. Tragisnya, makin hari makin banyak papan reklame mengepung kota. Kondisi itu diperparah dengan maraknya billboard dan baliho para calon anggota legislatif yang seperti tidak sabar ingin segera duduk di parlemen. Di pengujung November, tensi sekitar kepungan iklan tersebut kian meningkat. Puncaknya, terjadi peristiwa ambruknya papan reklame di Jalan Kertajaya (Jawa Pos, 26/11). Berturut-turut setelah itu, Jawa Pos menurunkan berita tentang semerawutnya kota karena pemasangan papan reklame.

Di satu sisi, kian maraknya papan reklame bisa dipandang sebagai indeksikal pertumbuhan ekonomi daerah atau tingkat daya beli masyarakat. Modal ekonomi telah dimiliki oleh perorangan maupun institusi. Dari sisi politik ekonomi, menjamurnya papan reklame di suatu kota menunjukkan adanya peningkatan cara dan gaya hidup masyarakat kota. Namun, bila dilihat dari kacamata ekonomi politik, papan reklame yang bertebaran di sudut-sudut kota menunjukkan gejala penumpukan keuntungan ekonomi di satu kepentingan saja. Yakni, industri terkait yang mempromosikan produknya serta biro jasa advertising. Kondisi itu kian parah karena tidak diperhitungkannya masyarakat sebagai sebuah keseimbangan lingkungan. Artinya, masyarakat hanya ditempatkan sebagai objek penderita yang secara sadar "dipaksa" melihat pemasaran produk, tanpa ada pilihan untuk menolak. Asumsinya, jika 80 persen pengetahuan diperoleh melalui mata, media luar ruang seperti papan reklame harus efektif terlihat selama tujuh detik. Dengan demikian, tidak ada pilihan bagi pengguna jalan raya untuk "menutup mata" sejenak agar organ penglihatan ini bisa beristirahat dari hilir mudik informasi jenis itu. Padahal, informasi serupa sudah 24 jam penuh muncul di beragam media lain (radio, televisi, koran).
Overcommunicated melalui papan reklame tersebut turut menyumbang tingginya tingkat stres masyarakat Surabaya. Tampilan visual yang sebelumnya telah diperoleh di rumah melalui televisi, misalnya, harus juga mereka dinikmati melalui billboard. Itu masih ditambah keruwetan transportasi di Surabaya. Bagi pengguna jalan, satu-satunya pilihan untuk tidak kian stres di jalan adalah tidak melihat papan reklame. Namun, itu mustahil. Billboard menjadikan masyarakat "puas ditindas". Artinya, masyarakat sadar bahwa billboard di Kota Surabaya kacau balau dan saling tumpang tindih. Namun, tidak ada pilihan selain menerimanya. Itulah hegemoni para pemilik modal plus dosa visual para kreator di biro iklan.
Di sisi lain, papan reklame memang mendatangkan keuntungan bagi pemerintah daerah melalui pajak. Hanya, jika papan reklame lebih banyak merugikan daripada menguntungkan masyarakat, kenapa perizinannya tidak diperketat? Masyarakat punya hak individu dalam menentukan pilihan visual pada pemandangan kota. Tentu, tidak ada salahnya meminimalkan penggunaan media papan reklame sebagai media periklanan. Dengan hanya mengizinkan papan reklame ditempatkan di pertigaan, perempatan, atau di jembatan penyeberangan, misalnya, akan melegakan pemandangan kota.

Selebihnya, menjadi tugas kalangan akademisi untuk memikirkan media alternatif selain papan reklame. Pusat-pusat kajian dan penelitian seharusnya mampu menemukan media alternatif selain media konvensional macam billboard atau baliho. Selama ini, papan reklame masuk dalam buku-buku teori pemasaran, khususnya media periklanan. Namun, seiring perkembangan zaman, seharusnya revisi dilakukan terkait ruang publik di kota. Orang-orang kreatif yang berkecimpung di media periklanan mestinya mempertimbangkan bentuk-bentuk media luar ruang baru. Media baru yang bukan saja tidak memperkeruh wajah kota malah makin bersahabat dengan masyarakat.
Kreativitas kalangan advertising di Surabaya ditunggu dalam hal pemilihan media yang lebih humanis dan berperspektif lingkungan. Respons PPPI Jawa Timur atas kasus itu juga sangat ditunggu. Masing-masing diharapkan tidak hanya memikirkan keuntungan, tapi juga memikirkan cara menciptakan lingkungan kota yang lebih manusiawi dan layak huni.***
dimuat di Jawa Pos, 5 Desember 2008

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home