headnya

Thursday, March 23, 2006

ADA TEMPAT ILMIAH BUAT KOMIK INDONESIA



PAMERAN, workshop, dan seminar tentang komik berskala nasional digelar pada 6-11 Maret lalu. Even yang mempertemukan komunitas dan komikus di Indonesia itu diadakan di UK Petra Surabaya dalam acara Pekan Komik Nasional (PKN) II. Yang pertama digelar pada 2002. Memang, untuk ukuran akademis, bukan hanya UK Petra satu-satunya kampus di Jawa Timur yang menyelenggarakan acara semacam itu. Universitas Negeri Malang dengan Pekan Komik Indonesia-nya malah lebih sering menyelenggarakan acara komik. Di luar Jawa Timur ada UNS Solo, ITB, Universitas Trisakti Jakarta, serta Universitas Maranatha Bandung.

Untuk ukuran yang benar-benar nasional, menurut catatan, hanya Pekan Komik dan Animasi Nasional (PKAN)-lah yang terbukti mampu mengumpulkan komunitas komikus serta animator hingga puluhan jumlahnya. PKAN adalah kegiatan yang sepenuhnya disponsori Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya RI.Acara yang mempertemukan komikus secara individual maupun komunitas dalam berbagai pameran memang bukanlah satu-satunya "ukuran" untuk mendeteksi kebangkitan komik Indonesia. Namun, acara yang diselenggarakan secara resmi oleh Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya yang bekerja sama dengan Masyarakat Komik Indonesia (MKI) maupun beberapa kampus di Indonesia merupakan indikator bahwa komik Indonesia masih ada!

Bukan Candu Masyarakat
Tidak bisa dimungkiri, yang harus bertanggung jawab atas "pernah matinya" komik Indonesia, salah satunya, adalah kalangan akademis. Catatan sejarah liku-liku komik Indonesia menunjukkan, sekolah maupun kampus "terlibat" dalam pemberian stigma bahwa membaca komik adalah kegiatan yang jelek serta tidak mendidik.Pemerintahan Orde Lama memberangus komik karena kontraproduktif bagi perjuangan nasionalisme. Sementara itu, Orde Baru mengulangi dengan alasan tidak mengajari hal-hal positif terhadap generasi muda pada masa pembangunan.

Harus diakui, komik sudah menjadi gaya hidup kalangan pelajar dan mahasiswa saat itu. Namun, tidak beralasan menyatakan bahwa komik adalah candu masyarakat.Nah, kalangan akademis pun mendukung keputusan pemerintah saat itu dengan turut melakukan razia komik di tas murid-murid sekolahnya. Sebuah usaha yang tidak relevan dibandingkan tingkat pemakaian narkotika yang juga mulai mewabah pada 1980-an.

Budaya akademis yang lebih berbangga hati bila prestasinya dilihat dari potensi ilmu pasti maupun ilmu sosial tentu tidak memberikan tempat yang luas bagi seni, terutama komik yang saat itu merajalela menjadi konsumsi massa.Sekarang, menjamurnya kegiatan komik di kalangan akademis seakan menjadi rekonsiliasi budaya dalam menggairahkan kembali seni komik yang sempat mati pada 1990-an.

Kalangan akademis juga memberikan tempat secara ilmiah untuk mengembangkan potensi komikus muda. Bahkan, beberapa kampus yang mempunyai program studi seni rupa memasukkan komik dalam salah satu mata kuliah. Sebuah usaha bagus yang dilakukan untuk menutup "dosa" masa lalu dan menatap masa depan dalam memajukan komik Indonesia.

Seno Gumira Ajidarma, salah seorang pembicara dalam seminar di PKN II, menyatakan, menjamurnya komunitas komikus merupakan usaha pencapaian perjuangan ideologi dalam memajukan komik di Indonesia. Tentu, dia menyatakan hal demikian dalam konteks komik Indonesia di tengah serbuan komik-komik impor, terutama komik dari Jepang.Berjuang menantang komik impor tersebut tidak bisa hanya dengan jargon-jargon yang menjual mimpi, namun harus benar-benar diwujudkan dengan karya sendiri yang lebih bagus daripada mereka. Itulah perjuangan ideologi tersebut. Dan, kampus sebagai tempat kajian ilmiah tentunya harus meluaskan tempat serta pandangan dalam memajukannya.

Sinergi Komikus, Penerbit, dan Akademikus
Banyak komunitas komik yang dilahirkan dari kampus, meski kampus tidak secara langsung melahirkan komik sekarang. Meja kelas, naungan pohon, maupun di sudut-sudut selasar kampus menjadi saksi lahirnya komikus genre baru di Indonesia. Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menjadi saksi lahirnya beberapa komik independent (indie) seperti dari Sekte Komik. Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta bahkan menjadi saksi lahirnya beberapa komik indie seperti Core Comic, Daging Tumbuh yang dikelola Eko Nugroho, serta Tehjahe yang dikelola Beng Rahadian (sekarang di Akademi Samali Jakarta). UNS Solo melalui mahasiswa seni rupanya melahirkan komik berjudul Street Soccer dari komunitas yang bernama Bengkel Qomik. Sekitar 1995, mahasiswa seni rupa ITB juga melahirkan komik fenomenal saat itu yang berjudul Caroq.

Gagasan anak-anak kampus tersebut memang bukan hasil kontribusi yang sangat besar dari kampus, namun hasil pengolahan ide individu mahasiswa. Kampus seni rupa yang kian hari makin jauh dari wacana keilmuan yang baru "memaksa" mereka memanfaatkan sarana kampus (baca: pohon rindang di halaman, sudut kelas, kantin, dan beberapa ruang marginal kampus lainnya) dalam mengeksplorasi ide visual yang dituangkan dalam bahasa komik.

Wacana yang berkembang di PKN II kemarin, mampukah mahasiswa pembuat komik tersebut mendobrak sistem-sistem industri yang terlampau memanjakan komik-komik impor Jepang atau mendobrak gaya-gaya impor itu dalam suatu sistem perjuangan ideologi?Tumbuhnya komik indie cukup membesarkan hati. Tetapi, memajukan komik Indonesia tidak cukup dengan itu. Diperlukan sistem pasar yang lebih luas, yakni sinergi yang kuat antara komikus dan penerbit. Kini juga sudah banyak penerbit yang mau menerbitkan komik Indonesia. Tetapi, masih perlu dipertanyakan lagi kesungguhannya, apakah sistem distribusi dan promosinya disetarakan dengan komik-komik impor mereka? Selama sistem dagang masih berlaku, upaya penerbit dalam menerbitkan komik Indonesia sebatas pemanis bibir.

Itulah yang harus diupayakan mahasiswa pencinta komik Indonesia untuk mendobrak sistem tersebut. Tidak ada jalan lain kecuali membuat komik Indonesia yang lebih bagus daripada komik-komik impor. Caranya, komikus harus banyak belajar dalam mengeksplorasi ide cerita dan mengeksekusinya dalam bahasa komik. Kalangan akademis juga harus ikut terlibat meneliti serta melakukan pengembangan agar komik Indonesia kembali berjaya. Bila isu beberapa tahun lalu di kalangan komikus adalah memantapkan sinergi yang kuat antara penerbit dan komikus, perlu ditambah lagi, yaitu penerbit, komikus, dan akademikus!

Ada tempat secara ilmiah saat ini bagi komik Indonesia berkarya saja sudah merupakan pencapaian perjuangan ideologi yang luar biasa. Ingat, di Jepang, komik menjadi lahan hidup komikus. Tentu hal tersebut tidak bisa dilepaskan pula dari keikutsertaan profesor-profesor seni dalam mengilmiahkan komik ke sistem pendidikan di sana. Di Indonesia, hal tersebut seharusnya juga menjadi semangat bersama untuk kembali memajukan komik Indonesia. Support your local comic! ***


(dimuat di Jawa Pos, 19 Maret 2006)

Labels:

Friday, March 17, 2006

BUKANNYA SOK NASIONALIS!



Nasionalis? ahhh..itu isu lama bila tulisan ini ditujukan untuk minta alasan pemerintah menjawab pertanyaan masalah 'perampokan' sumber daya alam di Papua. Saya hanya terlanjur mencintai negeri ini, bukannya sok nasionalis.

Kejadian Abepura jangan hanya disalahkan kepada massa dan mahasiswa yang menuntut penutupan PT Freeport, juga tidak menyalahkan pemerintah. Freeport sebenarnya sudah isu lama tahun 1990-an, tapi orde baru segera melakukan pemberangusan pendapat sampai menerjunkan tentara untuk mengamankan proyek prestisius itu.

Tapi pengambilan dengan halus wilayah sumber daya alam yang seharusnya jadi kedaulatan kita, seenaknya saja diambil orang tanpa melibatkan penduduk setempat. Orang Papua nggak bisa apa-apa? ah itu anggapan pemerintah dengan maksud melanggengkan proyek Freeport untuk tetap diambil pihak asing. Apa gunanya anak-anak Papua yang disekolahkan di berbagai universitas oleh pemerintah kalau begitu?...

Bila Freeport hanya membuat kaya orang asing apalagi pendatang lebih baik tutup saja!...bila tetap dibuka tanpa memberi kesempatan orang Papua terlibat dalam Freeport sama artinya dengan "Genocide Ekonomi".

Bila dulu Papua ada Freeport, sekarang di Jawa Tengah ada Blok Cepu yang akan segera dikelola pihak asing, besok di Indonesia akan didatangi siapa saja?...

ah Indonesia...terlalu banyak 'orang tua' di sini!...sudahlah orang tua! ***

Labels:

Sunday, March 05, 2006

PERNYATAAN SIKAP TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG (RUU) ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI - FORUM YOGYAKARTA UNTUK KEBERAGAMAN (FORUM YUK!)



1. Kami menyadari sepenuhnya bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok etnis, suku, agama, dan latar belakang kebudayaan. Erat berkait dengan itu ialah kenyataan adanya berbagai ragam adat kebiasaan, nilai, keyakinan, dan pandangan hidup. Selama ini keberagaman itu diterima, dan telah terbukti menjadi salah satu sumber terpenting kekayaan dan kekhasan bangsa Indonesia.

2. Pengakuan dan penghargaan atas kenyataan keberagaman tersebut telah diperjuangkan dan dibela oleh para perintis bangsa sejak awal terbentuknya kesadaran berbangsa di negeri ini. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pada kurun Orde Lama maupun Orde Baru, perjuangan dan pembelaan bagi pengakuan kenyataan keberagaman itu juga terus dilakukan oleh mereka yang mencintai negeri ini dan menjunjung tinggi kesetiaan terhadap cita-cita kemerdekaan bangsa. Perjuangan dan pembelaan itu masih tetap diperlukan kini dalam menghadapi kecenderungan anti demokrasi yang sering muncul dari kelompok dan perseorangan yang MERASA memiliki kuasa dan hak untuk menentukan kebenaran, memaksakan penyeragaman, berdasarkan nilai dan keyakinan maupun kepentingan kelompok maupun pribadi sendiri semata.

3. Dengan menerima, menyadari dan menghormati keputusan untuk menggunakan paham demokrasi sebagai asas kehidupan bersama di negeri ini, secara mendasar kami menolak upaya-upaya penyeragaman dan pemaksaan wawasan tunggal yang mengingkari kenyataan keberagaman cara pandang dan penghayatan warga bangsa ini tentang kehidupan dengan segala seginya. Kami sangat menyadari bahwa diperlukan sebuah tatanan untuk mewujudkan kehidupan yang serasi dan harmonis dalam masyarakat Indonesia yang plural ini. Meski demikian, tatanan itu harus disusun dengan mempertimbangkan dan menghormati keberagaman situasi, cara pandang dan keyakinan kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia, dengan segala tradisinya, tanpa kecuali.

4. Kami menyadari, bangsa ini baru saja terbebas dari kekuasaan yang menindas, sewenang-wenang dan dengan keras mengingkari kenyataan keberagaman masyarakat Indonesia. Kami sadari pula, perkembangan zaman telah menghadirkan teknologi komunikasi yang semakin memudahkan arus dan penyebaran informasi. Kami menyadari bahwa kemudian di masyarakat kita berkembang semacam euphoria kebebasan yang memunculkan jenis-jenis media dan ekspresi yang meresahkan sebagian orang atau kelompok masyarakat di Indonesia. Kami dapat menerima dan memahami keresahan dan kekhawatiran tersebut; bahkan, keresahan dan kekhawatiran serupa muncul pula di antara kami. Akan tetapi kami berpendapat bahwa penyikapan yang reaksioner dan cara pandang yang sempit dalam melihat kenyataan serta persoalan sosial akan sangat tidak mendukung dan bahkan menghalangi proses pendewasaan masyarakat di Indonesia dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dunia yang semakin terbuka.

5. Setelah membaca dan mempelajari Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dengan seksama, kami berpendapat bahwa RUU ini lebih bersifat reaksioner dan justru lebih berpotensi memunculkan keresahan dan konflik horisontal di dalam dan antar kelompok masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena:

1. batasan dan rincian pasal yang dicantumkan tentang pornografi dan pornoaksi berpotensi mengancam dan menghambat laku kehidupan masyarakat, praktik berkesenian, dan kegiatan olahraga.

2. batasan yang lentur tentang pornografi dan pornoaksi memungkinkan masyarakat dan aparat bertindak berdasarkan prasangka semata dan bersikap saling mencurigai sehingga RUU ini justru tidak memberi kepastian hukum.

3. substansi-substansi yang tercantum di sana sesungguhnya sudah ada dalam KUHP pasal 282 dan Undang-Undang Pers.

4. Dengan seluruh alasan tersebut di atas, kami menyatakan tidak setuju dan menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Kami merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR untuk menggunakan dan mengoptimalkan produk perundangan yang telah ada yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi.

Disusun dan dinyatakan oleh kami, yang berhimpun dalam wadah yang menamakan diri "Yogyakarta untuk Keberagaman" (YuK!)
Yogyakarta, 7 Maret 2006.

Tim Perumus:
1. Agus Bing
2. Ade Tanasia
3. Bondan Nusantara
4. Gunawan Maryanto
5. Landung R. Simatupang
6. M. Miroto
7. Mella Jaarsma
8. Sigit Pius Kuncoro
9. Wahyudin
10. Yudi Ahmad Tajudin

Tim Kerja/Jaringan:
1. Aisyah Hilal
2. Aji
3. Bambang Toko Witjaksono
4. Caroline Rika
5. Eko Nugroho
6. Ferdi Thajib
7. Kusworo Bayu Aji
8. Samuel Indratma
9. Tita Suwage
10. Terre