headnya

Wednesday, February 22, 2006

MANIFES SENI RUPA INDONESIA

Teman-teman pencinta Seni Rupa Indonesia,
Sehubungan dengan kasus kriminalisasi karya seni rupa Indonesia yang dialami rekan perupa Agus Suwage dan fotografer Davy Linggar menyangkut karya mereka Pinkswing Park, kami, mewakili setiap orang yang selama ini mencintai Seni Rupa Indonesia, serta bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan Seni Rupa Indonesia, sepakat untuk menyatakan sikap. Pernyataan sikap kami dapat dibaca di bawah ini.
Kami membutuhkan sebanyak-banyaknya dukungan dari rekan-rekan seniman, penulis, kurator, kolektor, pengelola galeri, jurnalis, dan lain-lain untuk menyuarakan sikap ini.Kirimkan dukungan Anda melalui blog senirupaindonesia.blogspot.com. Cukup dengan mengirim balasan berupa pernyataan SETUJU atau MENDUKUNG, disertai nama lengkap dan profesi, alamat e-mail dan nomor telelpon. (Tanpa nama jelas, alamat e-mail, atau alamat lain yang bisa dihubungi, tidak akan dimuat.)Perkembangan kasus yang menimpa Agus Suwage + Davy Linggar, juga mengenai pernyataan sikap ini akan terus bisa Anda pantau melalui situs-blog ini.Terima kasih.
+++++++++++++++++++
Manifes Seni Rupa Indonesia
1.
Seni rupa adalah bidang kerja dan keahlian yang setara dengan bidang keilmuan lainnya yang memiliki aturan dan wilayah otonomi masing-masing. Karenanya, soal-soal yang menyangkut perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap karya seni rupa selayaknya mengutamakan pandangan, gagasan, pemikiran dari lingkungan disiplin seni rupa itu sendiri.
2.
Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir dan penilaian atas suatu karya seni rupa, seperti juga kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan penciptaan karya seni rupa. Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas karya seni rupa dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat yang beradab dan demokratis.
3.
Kami menolak penilaian atas karya seni rupa yang menggunakan sembarang pandangan dan norma yang tidak bersangkut-paut dengan disiplin dan keahlian seni rupa. Terlebih lagi jika penafsiran dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran—dengan embel-embel "mewakili suara dan kepentingan mayoritas" sekalipun.
4.
Kami membela sepenuhnya kebebasan berpendapat, tapi bukan sebagai alasan dan cara untuk mengancam, menghukum, mengurangi, atau bahkan menghapus kebebasan berpendapat pihak lain. Maka, kami menolak segala cara dan upaya yang secara sembrono memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni rupa sebagai tindakan kriminal.
5.
Kami membela sepenuhnya hak dan kebebasan setiap pihak untuk menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan yang mempertemukan karya seni rupa dengan masyarakat—pameran, pertunjukan, diskusi, penerbitan, dan lain-lain—karena kami percaya bahwa masyarakat Indonesia memiliki hak untuk menikmati dan mengapresiasi karya seni rupa dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka.
Maka, kami menyayangkan dan mengecam pihak-pihak yang terus berdiam-diri membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap penciptaan karya seni rupa dan penyelenggaraan kegiatan seni rupa. Kami menagih peran negara (cq. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dan badan lain yang terkait), dan juga lembaga-lembaga pendidikan seni rupa untuk membela keabsahan seni rupa Indonesia sebagai bidang keahlian yang punya otoritas keilmuan dan dapat diselenggarakan di ruang sosial yang bebas dan terbuka.
6.
Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni rupa Indonesia dan pranata pendukungnya—seniman, penulis, kritikus, kurator, model, komunitas seniman, kolektor, pengelola galeri, balai lelang, media massa, majalah seni rupa, jurnal dan lain-lain—mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang beradab dan demokratis. Karenanya, kami akan mengatur diri dan hidup kami sendiri. Kami akan berhimpun untuk menyatukan pikiran dan pendapat, menyusun prinsip-prinsip etik bagi penyelenggaraan kegiatan seni rupa yang menjamin pekembangan dan kemajuan Seni Rupa Indonesia di tengah perkembangan seni rupa dunia.


Cemara Galeri-Kafe,
Jakarta 15 Februari 2006 (Tim perumus pernyataan ini: Aminudin TH Siregar, Arif Ash Shiddiq, Enin Supriyanto, Hendro Wiyanto, Rifky Effendy)

Labels:

Monday, February 13, 2006

MASIH PERLUKAH TES CPNS?


Beberapa minggu yang lalu ramai diberitakan para pelamar pegawai negeri sipil (PNS) yang kemudian mengikuti tes.

Yang menggelitik saya:
1. Masih perlukah tes, bila pihak panitia (dalam hal ini pemerintah setempat) tidak menyediakan ruang yang pas untuk pendaftarannya agar tidak selalu terulang mereka yang tergencet-gencet, terinjak-injak hingga pingsan?...mengapa tidak diantisipasi sejauh mungkin dengan membuka loket yang lebih banyak? ingat kejadian ini selalu terulang tiap tahun!
2. Masih perlukah tes?ketika tes ditujukan untuk umum tanpa mengenal apa prioritas yang dimasukinya, tidak ada kompetensi apapun dalam soal ujian. Logiskah calon guru kesenian disodori soal Aljabar dan Aritmetika? logiskah calon dosen seni rupa disodori soal yang jauh dari kompetensi dia?...model soal apa-apaan ini?
3. Masih perlukah tes, ketika tempat duduk pun saling berdempet-dempetan, bahkan ada yang lesehan? ujian seperti apa yang diharapkan?

Jangan-jangan, tidak ada kompetensi apapun dari calon pelamar atau ada maksud tersembunyi dari pemerintah untuk tetap mengadakan tes seperti ini...KKN mungkin...***

Labels:

Thursday, February 09, 2006

STREET ART MENYAPA KOTA

oleh: Obed Bima Wicandra*

Sorotan media massa cetak dan elektronik di Indonesia terakhir ini termasuk di Metropolis Jawa Pos adalah berita tentang tren memperindah wilayah publik yang biasa dikenal dengan street art atau seni rupa jalanan. Wabah street art bahkan sudah masuk di Surabaya dengan berbagai macam bentuknya mulai dari graffiti maupun mural (meskipun dua bentuk ini memiliki perbedaan yang mendasar).
Street art identik dengan seni underground. Street art yang lahir pada tahun 1980-an di kota New York lebih tepat ditujukan pada graffiti atau bentuk seni rupa jalanan lain seperti stencil, sticker, poster dan lain-lain. Sedangkan mural dalam beberapa referensi perkembangan street art tidak memasukkannya dalam kategori tersebut. Sifat mural yang penuh ketelitian dalam pengerjaan sehingga memunculkan kesan sempurna tentu berbeda dengan graffiti maupun bentuk street art lain yang sifatnya cepat digoreskan pada tembok.
Karena itulah muncul kesan, bahwa graffiti maupun stencil menghasilkan wajah buruk bagi kota yang tengah membangun image bersih, rapi dan tampak tertata, sehingga tidak heran dalam setiap aksinya kelompok graffiti biasanya harus berurusan dengan Satpol Pamong Praja. Tantangan yang memicu hormon andrenalin meningkat itu pun diikuti oleh perkembangan komunitas graffiti di Surabaya yang juga semakin meningkat seiring dengan referensi visual yang didapat dari internet, buku-buku terbitan luar negeri maupun dari hasil diskusi dengan sesama komunitas dari Jogjakarta, Bandung dan Jakarta yang lebih dulu memulai kegiatan ini sejak tahun 2000-an. Sehingga visual yang dihadirkan oleh graffiti di Surabaya pun semakin artistik, tidak lagi hanya coretan-coretan liar nama sekolah, nama geng/kelompok maupun kata-kata yang tak punya arti. Sesekali cobalah melihat graffiti di salah satu sudut kawasan Margorejo dan Gunungsari. Sangat artistik kan?
Berbeda lagi dengan mural yang proses pengerjaannya lebih lama daripada graffiti maupun stencil, maka mau tidak mau seniman mural memang ‘harus’ berkompromi dengan dinas-dinas kota yang terkait. Di samping itu mural memang menuntut adanya relasi sosial antara seni itu sendiri dengan kondisi masyarakat sekitar.

Respon Street Art Terhadap Ruang Publik
Adakah di Surabaya tempat yang dinamakan ruang publik? Suatu tempat dimana kita bisa sekedar duduk dengan lega, tidak terganggu dengan tawaran iklan komersial atau bisingnya lalu lintas jalan? Suatu tempat dimana aktifitas bertemu dan bersama orang lain terjadi dalam situasi kehangatan?
Dalam proyek Re-Publik Art di Jogjakarta pada tahun 2005 lalu dipertanyakan pula mengenai konsep kota bagi publik. Kota yang telah menjadi branding bagi merek-merek global ditengarai tidak lagi memberi cukup ruang dalam menciptakan ruang publik. Ruang publik dalam kategori spasial kota adalah ruang yang ditujukan untuk kepentingan publik. Modernitas yang menghasilkan pesan-pesan komersial seperti iklan menjadi pihak yang bertanggung jawab atas dehumanisasi yang tercipta oleh ruang. Ruang publik adalah salah satu jalan bagi anggota masyarakat menemukan kembali ruang kemanusiaannya. Ruang publik bisa berarti tempat (plaza, alun-alun, mall, taman atau hutan kota) tapi mungkin lebih luas dari itu sebagaimana tempat umum (wc umum, rumah sakit umum) tidak selalu berarti ruang publik. Dalam perencanaan tata kota yang berhasil, apa yang dibayangkan atau dirancangkan dapat terwujud (atau mengkonstruksi) pada kenyataan praktik sehari-hari.
Kesenian, seperti seni rupa seperti juga kota, bergerak dalam sekian aras modern yang bercabang dan menghasilkan pula kecenderungan yang beragam. Kecenderungan yang paling kuat dalam dunia seni rupa adalah kecenderungan untuk meninggalkan ruang yang khusus memajang karya seni yang selama ini telah terlembaga, yaitu galeri. Mengalihkan galeri ke tempat-tempat umum dalam berkarya seni adalah berupaya untuk menembus jarak spasialnya dengan orang banyak. Seni pun pada akhirnya bisa dinikmati oleh siapapun dengan strata sosial apapun.
Graffiti maupun stencil memang mempunyai idealisme yang tidak mau berkompromi dengan kebijakan pemerintah kota, namun kehadirannya akan selalu ada ketika ruang publik tidak terawat dan tidak dibebaskan dari tempelan poster-poster produk iklan yang asal saling bertumpuk, bahkan ketika kota makin dihiasi oleh berbagai macam dan ukuran billboard yang menambah bising. Mural pun memiliki nafas yang sama, yaitu memperindah dan menghilangkan kesan bising kota oleh kesan kumuhnya wilayah maupun ketidak pedulian masyarakat kota dalam menciptakan keindahan.

Mural dan Lingkungan
Mural bila dihubungkan dengan keseimbangan lingkungan, maka mural mampu membawa dampak yang cukup besar pada perkembangan kota. Sekarang di tengah arus budaya urban yang sangat tinggi serta tingkat kepadatan masyarakat kota, perkembangan mural bisa dihubungkan dengan memperindah sudut pandang kota yang ‘hilang’ akibat padatnya pengguna jalan raya, tingginya pemilik kendaraan bermotor hingga kemacetan yang terjadi. Begitu pula dengan lingkungan yang tidak seimbang akibat penebangan pohon yang sebenarnya difungsikan sebagai paru-paru kota menambah panasnya hunian serta tingkat polusi yang tinggi. Hal demikian dimanfaatkan oleh mural dengan ‘menawarkan’ alternatif bagi mata untuk menangkap kesan estetik ketika hal itu tidak ditawarkan oleh bangunan kota, papan iklan maupun estetiknya mobil keluaran terbaru.
Dalam politik kota yang semrawut, mural berbicara untuk melukis dinding kota yang tidak terawat, kotor nan sangat kumuh dengan sentuhan estetika (seni). Hal ini menunjukkan kegelisahan para perupa kontemporer untuk mencari kaitan antara wacana seni rupa dan kehidupan kota sebagai representasi keseharian. Kota sudah memasuki fase pelupa. Pada saat yang sama kota telah berubah menjadi rimba tanda-tanda yang mengubur sejarah kotanya sendiri dan kota tidak lagi sarat dengan kenangan lama yang menjadi saksi berkembangnya kota dari hari ke hari. Hal inilah yang menjadi dasar alasan yang kuat mengapa mural dilakukan dan mengapa pula mural sebaiknya tidak dipakai sebagai alat promosi sebuah produk.
Sekedar perbandingan saja, di Jogjakarta mural dalam perkembangannya tidak lagi dibuat oleh seniman namun justru oleh masyarakat sendiri. Mereka mengerjakan mural itu di pinggir-pinggir jalan lingkup RT maupun jalan masuk gang. Terkesan mural di Jogja bahkan seperti gerakan massal yang memaksa pihak biro iklan harus memutar otaknya lagi untuk memasang poster iklan, karena ternyata ruang publik itu sudah kembali ke masyarakat sendiri. Menurut data dari Samuel Indratma, penggagas mural di Jogja sekaligus seniman dari Apotik Komik, telah lebih dari 500 karya mural dihasilkan oleh masyarakat Jogja. Sebuah usaha yang bisa dipakai sebagai salah satu trik menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha yang bagus untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat mulai dari yang muda hingga yang tua dalam menciptakan kondisi kota yang tidak saja bersih namun juga indah.
Mari mewarnai kota Surabaya ini dengan bahasa keindahan!***
*aktivis Tiadaruang Art Community
(dimuat di Jawa Pos, 5 Februari 2006)

Labels: