headnya

Thursday, August 21, 2008

IDE ITU BERNAMA M. ARIEF BUDIMAN, S.Sn


Saya bukanlah siapa-siapa di depannya, kecuali saya adik kelas di ISI Jogja yang saat itu selalu kagum pada siapa saja yang menginspirasi orang lain. Arief, begitu populernya dia sekarang ini jauh sebelum ia melaunching buku Jualan Ide Segar. Sekali lagi, saya harus mengakui bahwa saya harus kagum pada siapa saja yang mampu menginspirasi orang lain untuk berbuat dan bertindak nyata untuk mewujudkan mimpinya, termasuk mengagumi buku ini. Buku yang lahir juga dari ide segar Arief. Berat untuk tidak mengatakan bahwa kita mungkin manusia yang malas untuk mewujudkan mimpi, minimal untuk membaca buku ini.
Dan, sungguh saya juga harus mengakui kebanggaan saya tidak saja mengenalnya di kala mahasiswa atau dalam kaitan ritual bisnis mengerjakan company profile untuk DKV UK Petra, namun juga bagaimana tangan dinginnya mampu meracik klien sebesar Gudang Garam beriklan menyambut HUT RI ke-63. Iklan yang keluar dari kebiasaan Gudang Garam yang biasanya gegap gempita melibatkan sebanyak mungkin orang dalam penggarapan yang kolosal, namun di tangan Petakumpet, Gudang Garam menjadi indutri yang sangat 'berbudaya'. Tentu saja untuk melahirkan iklan seperti ini dibutuhkan ide segar untuk meyakinkan bahwa keluar dari kelaziman bukanlah sebuah dosa.
Begitu minimnya kritik yang saya dapatkan dari buku ini menjadikannya ia layak dikonsumsi tidak saja bagi penggila buku, namun juga bagi penggila dunia yang semakin segar oleh ide-ide segar.***

Friday, August 15, 2008

SSF 2008; AKU BELANJA, MAKA AKU ADA


Berbelanja adalah kegiatan berbudaya. Jangan lagi membayangkan budaya sebagai material yang secara periodik dikategorikan sebagai ‘ketinggalan jaman’. Budaya itu apa yang kita lakukan dulu, kini bahkan esok. Ia bergerak dinamis masuk ke segala lini kehidupan manusia, termasuk membicarakan tentang belanja.
Jika dulu berbelanja dimaknai sebagai pertukaran nilai secara barter, kemudian pergeseran itu berkembang hingga kini ke pusat-pusat perbelanjaan. Pasar tradisional yang sempat menjadi penanda budaya kini mulai tergantikan dengan hadirnya supermarket-supermarket. Jika dulu pasar barter dan pasar tradisional mengandalkan pada kehadiran muka dengan muka, kini pasar modern yang direpresentasikan melalui supermarket menghadirkan muka dengan barang. Jika dulu ada negosiasi secara komunikasi verbal, maka kini negosiasi terepresentasikan melalui papan kertas yang digantung di atap maupun ditempel di tempat-tempat point of purchase (POP) dengan tulisan ”discount” atau ”off”.

Surabaya Shopping Festival (SSF) dalam rangka HUT Surabaya ke-715 adalah kegiatan budaya masyarakat urban. Antrian panjang di depan kasir seperti diperlihatkan oleh Jawa Pos pada awal bulan Mei menjadi visualitas. Tak ayal lagi, ramainya orang berbelanja dan antrian orang membayar di kasir menjadi sebuah budaya visual.

Merayakan Konsumsi
Seringkali aktifitas orang berbelanja dijadikan tolok ukur tentang daya beli masyarakat, apakah meningkat atau menurun. Jika meningkat berarti perekonomian masyarakat bagus, namun sebaliknya jika menurun maka perekonomian buruk. Ini juga yang dijadikan dasar oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla ketika menjawab kritik tokoh-tokoh masyarakat mengenai semakin meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Atau dengan kata lain, kalau orang masih suka berkeliaran di mall, maka itu berarti ekonomi Indonesia membaik. Selintas pernyataan tersebut menyederhanakan permasalahan. Namun kembali kepada berbelanja tadi, aktifitas tersebut menjadi sangat penting tidak saja bagi pengusaha, namun juga bagi penguasa daerah untuk menunjukkan tingkatan daya beli masyarakatnya yang tetap tinggi.

Perayaan konsumsi ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi konsumerisme yang didorong secara simultan oleh iklan. Pengiklan mendorong sesuatu ”untuk menjadi”. Iklan juga yang mendorong ”kebutuhan” kepada ”keinginan”.

Thorsten Veblen (1953) dan Pierre Bourdieu (1984) menggeser argumen tersebut dengan menyatakan, bahwa kegiatan berbelanja adalah budaya hidup yang merupakan area penting bagi pertarungan dalam berbagai kelompok dan kelas sosial. Mereka mendefinisikan diri dan status mereka dengan belanja. Apa yang dibeli menjadi nilai sosial. Tidak percaya? cobalah sesekali memperhatikan antrian di kasir supermarket. Jika diperhatikan, sambil menunggu antrian iseng-iseng para pembelanja pasti akan memperhatikan trolley milik orang lain, apa lagi jika bukan untuk mendata barang apa yang ada di kita tapi tidak ada di orang lain, atau apa yang ada di orang lain tetapi kita belum membelinya.

Program festival belanja di Surabaya telah berhasil meningkatkan daya beli masyarakatnya, namun kini yang harus menjadi perhatian selanjutnya bagi Pemerintah Kota Surabaya adalah ada pihak lain yang dinihilkan keberadaannya saat festival ini dilakukan, yaitu kaum buruh.

Ekonomi Politik Belanja
Karl Marx dan Frederick Engels mengungkapkan transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Dalam masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki barang-barang itu, karena barang itu dijual di pasar dengan perolehan keuntungan. Oleh karena itu untuk mendapatkan barang-barang, para buruh harus membelinya dengan uang, sheingga para buruh menjadi konsumen untuk selanjutnya muncul yang namanya masyarakat konsumen (John Storey, 1996).

Barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam festival belanja tidak memperhitungkan buliran keringat para buruh, yang belum tentu ikut membeli barang yang dibuatnya. Bisa jadi keberadaannya di pusat-pusat perbelanjaan adalah sekedar melepas rasa panas untuk sekedar merasakan dinginnya AC atau melakukan aktifitas menonton sekedar melewatkan waktu luang.
Apakah dengan hal tersebut berarti daya beli masyarakat tetap meninggi? Tidak. Ada tolok ukur lain yang patut diperhatikan, yaitu jumlah barang yang dikonsumsi. Ketika golongan menengah ke atas membeli barang dengan memenuhi troli, mereka hanya akan membeli dua atau tiga barang asalkan bisa ikut merasakan langsung euforia festival belanja yang hanya berlangsung sebulan dalam setahun.

Kaum buruh dengan pendapatan yang kecil atau juga para pramuniaga, SPG maupun golongan buruh level bawah yang bersentuhan langsung dengan barang nyaris dinihilkan keberadaannya dalam festival ini. Keberadaannya hanya menjadi objek untuk menilai keberhasilan program festival ini namun tidak dilibatkan secara langsung secara ekonomi jika festival ini dipahami sebagai perayaan. Ia hanya bisa melihat aktifitas orang membeli barang, namun ia berpikir panjang untuk ikut membeli.

Maka, jadilah berkerumunnya orang di mall selain memang ada yang berbelanja, mereka hanya sekedar menonton orang berbelanja. Aktifitas inilah yang dipahami sebagai budaya penggemar. Penggemar melihat aktifitas belanja sebagai yang terobsesi (laki-laki) atau yang larut dalam histeria (perempuan) tetapi tidak ikut menjadi pelaku aktifitas berbelanja. Jargon ”aku berpikir, maka aku ada” miliknya Rene Descartes berubah menjadi ”aku belanja, maka aku ada”, karena memang aktifitas belanjalah yang membuat terbentuknya identitas diri.
Yang terpenting untuk dilakukan di masa mendatang adalah, bagaimana dengan festival tersebut tidak hanya ”keinginan” yang ditawarkan, namun juga ”kebutuhan”.

GREY CHICKEN; CERMIN GAGALNYA PENDIDIKAN?



Media massa lokal di Surabaya beberapa bulan yang lalu sedang diramaikan oleh pemberitaan investigasi mengenai fenomena ’”ayam abu-abu” atau menurut istilah salah satu koran lokal Surabaya dinamakan sebagai grey chicken, istilah yang dapat memunculkan sikap tidak manusiawi. Grey Chicken adalah kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anak SMA selepas sekolah. Pemberitaan menjadi heboh dan diikuti oleh berbagai opini yang jika semakin dikritisi semakin menyudutkan pada satu pihak dan menihilkan pihak lain. Sang pelaku dan pendidikan menjadi sasaran tembak, bahkan ada yang menyebutnya sebagai kegagalan pendidikan di Indonesia. Surabaya hanyalah salah satu kota yang (kebetulan) diekspos, namun saya yakin di banyak kota di Indonesia fenomena grey chicken adalah visualitas yang kerap ditemui keberadaannya meski kerap ’malu-malu’ muncul di permukaan.

Menjadi sesuatu yang naif jika fenomena grey chicken di Surabaya kemudian hanya mempersalahkan sistem pendidikan sebagai satu-satunya biang ambruknya moral. Namun saya sepakat bahwa fenomena ini sebenarnya juga menjadi pekerjaan rumah bagi sistem pendidikan kita yang kini hanya mengejar class world education tetapi melupakan hakekat pendidikan itu sendiri dalam hal salah satunya yaitu pembangunan watak menjadi kaum terdidik. Sekolah (dan juga universitas) kini berlomba-lomba menyejajarkan dirinya sebagai institusi pendidikan yang bertaraf dunia agar mencapai nilai akreditasi yang bagus dan dapat bertanding dengan negara maju. Hal demikian tidaklah salah, namun apakah kemudian tugas terpenting insititusi pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan bangsa dalam hal intelektualitas namun juga cerdas secara kepribadian untuk menumbuhkan harga diri terhempaskan seiring tuntutan menjadi world class schoo/?

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan situasi sistem pendidikan kita seperti ini kemudian hal itu hanyalah satu-satunya faktor ambruknya moral pelajar kita? atau jangan-jangan hal seperti ini hanya sekedar melemparkan tanggung jawab keluarga ke sekolah? Masyarakat sipil kelihatan sekali menjadi tidak berdaya. Bagaimana dengan pemakai jasa grey chicken (laki-laki)? Media massa dan bahkan kita tidak pernah memperbincangkannya, apakah karena mereka laki-laki sehingga kita menjadikannya sangat permisif? Saya teringat ucapan Arswendo Atmowiloto yang mengatakan:”Kalau cowok banyak pacarnya, dibilang hebat, kalau cewek banyak pacarnya, dibilang murah. Kalau cowok nakal, dibilang lumrah, kalau cewek nakal, dibilang dunia mau kiamat” (Arswendo Atmowiloto, Majalah HAI , 10/1/1989).

Kuasa atas Tubuh
Perempuan lebih mudah dijelaskan pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Sama dengan pandangan kita ketika menilai para pelaku grey chicken adalah perempuan yang lemah dan tak berdaya di tengah gempuran keinginan populer seperti memiliki rumah, HP multifungsi maupun benda-benda lain yang didapatkan dengan mudah disaat usia masih belasan tahun. ”Kelemahan” perempuan ditunjang dengan status yang masih pelajar menjadikannya sebagai sasaran tembak laki-laki yang berdompet tebal untuk memanfaatkan. Inilah stereotip tentang perempuan. Masyarakat manapun, termasuk di Indonesia stereotip negatif pada perempuan selalu berlangsung. Makhluk Tuhan yang lemah, sering dipakai sebagai bahasa untuk menyudutkan perempuan dan perempuan sendiri semakin mengamininya.

Keperawanan dihargai mahal karena daya fantasi laki-laki dalam menciptakan model-model perempuan untuk memenuhi hasratnya. Mereka menganggap keperawanan itu identik dengan kebodohan, tidak berdaya, bau kencur, ketidak-tahuan dan sempit pikiran. Sehingga dengan demikian menjadi sebuah kenikmatan untuk mempermainkannya meskipun sadar bahwa usia anaknya juga sama dengan usia grey chicken. Karena itu tidak mengherankan jika pelaku dunia prostitusi yang kerap laris adalah mereka yang masih pelajar. Label status sosial sebagai pelajar identik dengan keperawanan. Laki-laki kemudian berhasrat untuk melakukan kuasa atas tubuh perempuan itu sebagai representasi keberkuasaan atas ketidakberdayaan (Foucault, 1978).

Grey chicken jika diamati tidak hanya berbicara pada tataran ada pelajar perempuan menawarkan jasa seksual pada laki-laki, namun grey chicken berbicara pada tataran dominasi laki-laki dalam menciptakan tren industri seksual. Pergeseran pelaku seksual komersial yang kini melanda pelajar adalah gambaran bahwa hasrat dan fantasi laki-laki kini mengarah pada gambaran anak-anak di bawah umur setelah beberapa waktu sebelumnya marak dengan ”ayam kampus”. Sadar bahwa laki-laki menyukai pada keperawanan, hal ini kemudian dikomodifikasi oleh agen-agen grey chicken untuk menciptakan obat atau jamu yang menimbulkan efek perawan.

Dari sinilah kemudian kita berpikir, apakah sampai di sini pendidikan formal di sekolah bahkan agama pun turut dipersalahkan pada kasus grey chicken ini? Keluarga terlampau mudah untuk melempar tanggung jawab, sementara mereka sebagai kekuatan sipil justru gagal. Kontrol sosial menjadi longgar karena jangan-jangan mereka juga memanfaatkan keberadaan grey chicken dan justru mendapatkan informasi lebih banyak dalam laporan mengenai fenomena ini dalam media massa di Surabaya. Laporan investigasi semacam ini pun menjadi buah pertanyaan. Apakah kita geram dengan keadaan sosial ini ataukah laporan investigasi itu semakin memudahkan mendapatkan informasi bagaimana mendapatkan sekaligus harganya? Pertanyaan yang harus diperhatikan oleh media massa jika berkomitmen untuk menghapuskan pelacuran anak.

Bagaimana pula dengan para orang tua? Apakah kita juga cukup puas dengan cara memenuhi semua keinginan dan kebutuhan material anak sebagai imbalan atas kesibukan kita sebagai orang tua? Sekarang segalanya menjadi gampang dengan mencurahkan kesalahan kepada negara, sekolah dan bahkan mungkin juga agama ketika masalah domestik yang semestinya menjadi urusan keluarga tidak lagi diperhatikan. Globalisasi dalam segala hal tidak bisa terelakkan dalam dunia yang semakin terbuka dan tipis ini. Grey chicken yang ingin memenuhi kebutuhannya dengan materialisme itu sebenarnya terjebak pada pemenuhan globalisasi palsu. Yang kini diperlukan adalah sikap dan kontrol sebagai sosial maupun sebagai keluarga. Rasa peduli dan saling keterkaitan satu dengan yang lainnya akan membentuk sikap politik yang melahirkan kontrol sosial yang kuat.

Diperlukan semua pihak untuk terlibat aktif dalam kontrol sosial, termasuk industri-industri pariwisata yang menjadi lahan basah bagi industri seks ini. Kontrol sosial yang semakin ketat, menjadikan ruang gerak semakin dipersempit bagi pemenuhan fantasi liar dan hasrat bodoh laki-laki dalam menciptakan industri pelacuran anak. Kehadiran grey chicken bisa tidak kita sadari atau juga kita sadari namun pura-pura kita tidak menyadarinya. Atau juga kita menyadarinya, untuk kemudian suatu saat kita memanfaatkannya?...Gawat!!!***