ADA TEMPAT ILMIAH BUAT KOMIK INDONESIA
PAMERAN, workshop, dan seminar tentang komik berskala nasional digelar pada 6-11 Maret lalu. Even yang mempertemukan komunitas dan komikus di Indonesia itu diadakan di UK Petra Surabaya dalam acara Pekan Komik Nasional (PKN) II. Yang pertama digelar pada 2002. Memang, untuk ukuran akademis, bukan hanya UK Petra satu-satunya kampus di Jawa Timur yang menyelenggarakan acara semacam itu. Universitas Negeri Malang dengan Pekan Komik Indonesia-nya malah lebih sering menyelenggarakan acara komik. Di luar Jawa Timur ada UNS Solo, ITB, Universitas Trisakti Jakarta, serta Universitas Maranatha Bandung.
Untuk ukuran yang benar-benar nasional, menurut catatan, hanya Pekan Komik dan Animasi Nasional (PKAN)-lah yang terbukti mampu mengumpulkan komunitas komikus serta animator hingga puluhan jumlahnya. PKAN adalah kegiatan yang sepenuhnya disponsori Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya RI.Acara yang mempertemukan komikus secara individual maupun komunitas dalam berbagai pameran memang bukanlah satu-satunya "ukuran" untuk mendeteksi kebangkitan komik Indonesia. Namun, acara yang diselenggarakan secara resmi oleh Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya yang bekerja sama dengan Masyarakat Komik Indonesia (MKI) maupun beberapa kampus di Indonesia merupakan indikator bahwa komik Indonesia masih ada!
Bukan Candu Masyarakat
Tidak bisa dimungkiri, yang harus bertanggung jawab atas "pernah matinya" komik Indonesia, salah satunya, adalah kalangan akademis. Catatan sejarah liku-liku komik Indonesia menunjukkan, sekolah maupun kampus "terlibat" dalam pemberian stigma bahwa membaca komik adalah kegiatan yang jelek serta tidak mendidik.Pemerintahan Orde Lama memberangus komik karena kontraproduktif bagi perjuangan nasionalisme. Sementara itu, Orde Baru mengulangi dengan alasan tidak mengajari hal-hal positif terhadap generasi muda pada masa pembangunan.
Harus diakui, komik sudah menjadi gaya hidup kalangan pelajar dan mahasiswa saat itu. Namun, tidak beralasan menyatakan bahwa komik adalah candu masyarakat.Nah, kalangan akademis pun mendukung keputusan pemerintah saat itu dengan turut melakukan razia komik di tas murid-murid sekolahnya. Sebuah usaha yang tidak relevan dibandingkan tingkat pemakaian narkotika yang juga mulai mewabah pada 1980-an.
Budaya akademis yang lebih berbangga hati bila prestasinya dilihat dari potensi ilmu pasti maupun ilmu sosial tentu tidak memberikan tempat yang luas bagi seni, terutama komik yang saat itu merajalela menjadi konsumsi massa.Sekarang, menjamurnya kegiatan komik di kalangan akademis seakan menjadi rekonsiliasi budaya dalam menggairahkan kembali seni komik yang sempat mati pada 1990-an.
Kalangan akademis juga memberikan tempat secara ilmiah untuk mengembangkan potensi komikus muda. Bahkan, beberapa kampus yang mempunyai program studi seni rupa memasukkan komik dalam salah satu mata kuliah. Sebuah usaha bagus yang dilakukan untuk menutup "dosa" masa lalu dan menatap masa depan dalam memajukan komik Indonesia.
Seno Gumira Ajidarma, salah seorang pembicara dalam seminar di PKN II, menyatakan, menjamurnya komunitas komikus merupakan usaha pencapaian perjuangan ideologi dalam memajukan komik di Indonesia. Tentu, dia menyatakan hal demikian dalam konteks komik Indonesia di tengah serbuan komik-komik impor, terutama komik dari Jepang.Berjuang menantang komik impor tersebut tidak bisa hanya dengan jargon-jargon yang menjual mimpi, namun harus benar-benar diwujudkan dengan karya sendiri yang lebih bagus daripada mereka. Itulah perjuangan ideologi tersebut. Dan, kampus sebagai tempat kajian ilmiah tentunya harus meluaskan tempat serta pandangan dalam memajukannya.
Sinergi Komikus, Penerbit, dan Akademikus
Banyak komunitas komik yang dilahirkan dari kampus, meski kampus tidak secara langsung melahirkan komik sekarang. Meja kelas, naungan pohon, maupun di sudut-sudut selasar kampus menjadi saksi lahirnya komikus genre baru di Indonesia. Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menjadi saksi lahirnya beberapa komik independent (indie) seperti dari Sekte Komik. Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta bahkan menjadi saksi lahirnya beberapa komik indie seperti Core Comic, Daging Tumbuh yang dikelola Eko Nugroho, serta Tehjahe yang dikelola Beng Rahadian (sekarang di Akademi Samali Jakarta). UNS Solo melalui mahasiswa seni rupanya melahirkan komik berjudul Street Soccer dari komunitas yang bernama Bengkel Qomik. Sekitar 1995, mahasiswa seni rupa ITB juga melahirkan komik fenomenal saat itu yang berjudul Caroq.
Gagasan anak-anak kampus tersebut memang bukan hasil kontribusi yang sangat besar dari kampus, namun hasil pengolahan ide individu mahasiswa. Kampus seni rupa yang kian hari makin jauh dari wacana keilmuan yang baru "memaksa" mereka memanfaatkan sarana kampus (baca: pohon rindang di halaman, sudut kelas, kantin, dan beberapa ruang marginal kampus lainnya) dalam mengeksplorasi ide visual yang dituangkan dalam bahasa komik.
Wacana yang berkembang di PKN II kemarin, mampukah mahasiswa pembuat komik tersebut mendobrak sistem-sistem industri yang terlampau memanjakan komik-komik impor Jepang atau mendobrak gaya-gaya impor itu dalam suatu sistem perjuangan ideologi?Tumbuhnya komik indie cukup membesarkan hati. Tetapi, memajukan komik Indonesia tidak cukup dengan itu. Diperlukan sistem pasar yang lebih luas, yakni sinergi yang kuat antara komikus dan penerbit. Kini juga sudah banyak penerbit yang mau menerbitkan komik Indonesia. Tetapi, masih perlu dipertanyakan lagi kesungguhannya, apakah sistem distribusi dan promosinya disetarakan dengan komik-komik impor mereka? Selama sistem dagang masih berlaku, upaya penerbit dalam menerbitkan komik Indonesia sebatas pemanis bibir.
Itulah yang harus diupayakan mahasiswa pencinta komik Indonesia untuk mendobrak sistem tersebut. Tidak ada jalan lain kecuali membuat komik Indonesia yang lebih bagus daripada komik-komik impor. Caranya, komikus harus banyak belajar dalam mengeksplorasi ide cerita dan mengeksekusinya dalam bahasa komik. Kalangan akademis juga harus ikut terlibat meneliti serta melakukan pengembangan agar komik Indonesia kembali berjaya. Bila isu beberapa tahun lalu di kalangan komikus adalah memantapkan sinergi yang kuat antara penerbit dan komikus, perlu ditambah lagi, yaitu penerbit, komikus, dan akademikus!
Ada tempat secara ilmiah saat ini bagi komik Indonesia berkarya saja sudah merupakan pencapaian perjuangan ideologi yang luar biasa. Ingat, di Jepang, komik menjadi lahan hidup komikus. Tentu hal tersebut tidak bisa dilepaskan pula dari keikutsertaan profesor-profesor seni dalam mengilmiahkan komik ke sistem pendidikan di sana. Di Indonesia, hal tersebut seharusnya juga menjadi semangat bersama untuk kembali memajukan komik Indonesia. Support your local comic! ***
(dimuat di Jawa Pos, 19 Maret 2006)
Labels: Visual Culture