Labels: Social Justice
Saturday, October 29, 2005
MUDIK: KEMBALI KE NOSTALGIA KELUARGA
Lupakan dulu efek mudik, ketika jalanan di kota besar nampak hilir mudik orang berjejalan menunggu bis kota menuju terminal. Lupakan dulu lebih baik nggak mudik daripada berjejalan di stasiun-stasiun, teminal-terminal bahkan jauh-jauh hari tiket berbagai macam kendaraan sudah habis terbeli. Lupakan dulu perkataan '...toh pulang kampung nggak harus pada Hari Raya saja'.
Apa yang kita lihat pada hari-hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri adalah kebiasaan manusia untuk kembali lagi berkumpul dengan keluarga ketika Hari Raya keagamaan maupun masa liburan panjang tiba. Tidak hanya di Indonesia saja, namun juga menimpa negara-negara lain dengan mungkin content dan context yang berbeda. Jadi bila perilaku yang katanya ‘mudik’ itu hanya menghambur-hamburkan uang adalah pendapat yang salah. Yang dicari oleh mereka yang mudik bukan saja mereka pulang kampung, tetapi juga menikmati kemeriahan hari raya tidak hanya dengan diri sendiri maupun teman terdekat atau bagi mereka yang sudah berkeluarga tidak hanya dengan suami atau istri tetapi melibatkan keluarga (baca: masa lalu).
Kenangan-kenangan masa lalu adalah kenangan yang susah terbeli. Tidak ada yang bisa menggantikan tatkala melihat dulu jalanan belum di aspal tetapi sekarang sudah enak jalannya. Belum lagi bertemu teman lama teman satu kampung yang sekarang sudah berubah bahkan mungkin sudah menggendong anak serta berderet-deret daftar perubahan yang nampak di depan mata.
Sepandai-pandainya mereka sekarang, sekaya-kayanya mereka sekarang toh kembalinya juga ke keluarga lagi. Bahkan mereka yang menggelandang di jalanan pun begitu rindunya kembali ke keluarga dengan masa lalu yang begitu dekatnya. Kenangan manis maupun pahit, baik maupun buruk sebuah keluarga namun ketika waktu yang pas sudah tiba, maka ujung perhentian melepas kebosanan bahkan melepas kepenatan hidup adalah keluarga. Apapun keberadaan mereka ketika dulu mendidik, namun keluarga adalah ujung perhentian. Tidak ada benar atau salah ketika waktu dekat dengan keluarga tiba. Toh siapa tahu ke depannya kita sendiri yang jatuh. Siapapun bisa bersalah, begitu juga dengan keluarga.
Selamat mudik!...selamat berliburan bersama keluarga!...selamat menikmati kenangan yang susah terbeli itu….
Apa yang kita lihat pada hari-hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri adalah kebiasaan manusia untuk kembali lagi berkumpul dengan keluarga ketika Hari Raya keagamaan maupun masa liburan panjang tiba. Tidak hanya di Indonesia saja, namun juga menimpa negara-negara lain dengan mungkin content dan context yang berbeda. Jadi bila perilaku yang katanya ‘mudik’ itu hanya menghambur-hamburkan uang adalah pendapat yang salah. Yang dicari oleh mereka yang mudik bukan saja mereka pulang kampung, tetapi juga menikmati kemeriahan hari raya tidak hanya dengan diri sendiri maupun teman terdekat atau bagi mereka yang sudah berkeluarga tidak hanya dengan suami atau istri tetapi melibatkan keluarga (baca: masa lalu).
Kenangan-kenangan masa lalu adalah kenangan yang susah terbeli. Tidak ada yang bisa menggantikan tatkala melihat dulu jalanan belum di aspal tetapi sekarang sudah enak jalannya. Belum lagi bertemu teman lama teman satu kampung yang sekarang sudah berubah bahkan mungkin sudah menggendong anak serta berderet-deret daftar perubahan yang nampak di depan mata.
Sepandai-pandainya mereka sekarang, sekaya-kayanya mereka sekarang toh kembalinya juga ke keluarga lagi. Bahkan mereka yang menggelandang di jalanan pun begitu rindunya kembali ke keluarga dengan masa lalu yang begitu dekatnya. Kenangan manis maupun pahit, baik maupun buruk sebuah keluarga namun ketika waktu yang pas sudah tiba, maka ujung perhentian melepas kebosanan bahkan melepas kepenatan hidup adalah keluarga. Apapun keberadaan mereka ketika dulu mendidik, namun keluarga adalah ujung perhentian. Tidak ada benar atau salah ketika waktu dekat dengan keluarga tiba. Toh siapa tahu ke depannya kita sendiri yang jatuh. Siapapun bisa bersalah, begitu juga dengan keluarga.
Selamat mudik!...selamat berliburan bersama keluarga!...selamat menikmati kenangan yang susah terbeli itu….
Labels: Social Justice
Wednesday, October 19, 2005
SPRING BED = ROTI GORENG!
Permainan kata mungkin sudah sering kita temui dimana-mana. Mulai dari yang alami hingga sudah menjadi komoditi seperti halnya kaus JOGER dan DAGADU. Bahkan komoditi begituan langsung membanjiri pasar kaus hingga melahirkan kaus dengan permainan kata dari yang serius hingga bersifat guyonan.
Tadi malam, sewaktu cangkrukan di warung Cak Mis dengan Victor, Gubi, Goya dan Pak Budi Pras kami menemui permainan kata yang sudah nyerempet-nyerempet wilayah tanda (baca: semiotika). Warung yang dari SMA Santa Maria terus belok ke kiri itu menarik untuk diamati meski saya sendiri sering ketawa soalnya lucu. Bagi saya, hal ini baru dan mengingatkan saya dengan Es Enny di Jogja yang memiliki menu dengan nama yang lucu-lucu. Ada es cinderella, es dua hati, es padang pasir, es bumi hangus, dll. Yang membedakan adalah kelasnya. Mungkin bagi Es Enny untuk kalangan menengah ke atas tersebut lumrah memakai nama-nama yang ‘absurd’. Namun bagi warungnya Cak Mis tersebut permainan tanda dalam kata yang juga masuk ke wilayah semantik, menunjukkan bahwa yang absurd pun bisa menjadi hiburan tersendiri buat kelas bawah.
Unik dan lucu. Bayangkan untuk menyebut sate telur puyuh saja disebut sebagai cucak rowo, kemudian untuk minuman sinom disebut mbok nom, roti goreng dikatakan sebagai spring bed dan bagi mereka yang ingin minta air buat ‘kobokan’ atau mencuci tangan, maka sebutlah kolam renang untuk menunjukkan yang diminta. Masih banyak sebenarnya perbendaharaan kata lainnya yang sangat ‘plesetan’ yang akhirnya bagi saya sangat absurd itu.
Permainan kata tersebut semakin menguatkan kepemilikan secara universal kata-kata yang secara tidak langsung menjadi ‘hak milik’ kelas tertentu. Kesan berpikir, agak mbulet dan kesan intelek menjadi imej yang seolah-olah menunjuk pada kelas atas. Tapi Cak Mis tidak punya kesan seperti itu, semua diungkapkannya dengan lugas, tanpa perasaan bersalah tapi mengemasnya dengan lucu khas permainan kata miliknya Joger atau Dagadu.
Tapi sayang, untuk melihat fenomena seperti itu saya harus membayarnya dengan tilang dari Polisi. Aduh pak…baru kemarin rasanya saya nulis Safety Riding, eh saya jadi korbannya. Tapi nggak apa-apa…Robert Wolter Monginsidi ketika bergerilya pun akhirnya tertangkap tentara Belanda dan dihukum mati.** (obw)
Labels: Social Justice
Thursday, October 06, 2005
MEDIA CETAK, WASSALAM!
Berikut ini ada artikel yang saya download dari majalah GATRA pandang tentang media cetak seperti koran dan majalah. Masih perlu dipertanyakan lagi pernyataan Murdock mengenai masa depan suram media cetak. Apakah benar?...sepanjang masyarakat masih menyukai hal yang simpel dan dinamis, aku pikir pendapatnya Murdock mutlak harus dipertanyakan lagi. Apalagi ini pernyataan buat kalangan di Amerika Serikat sana yang secara sosio-kultural berbeda dengan negara-negara di Asia, terutama di Indonesia.
------------------------------------------------------------------------------------------------
RUPERT Murdock skeptis melihat masa depan koran. "Saya yakin, banyak editor dan reporter yang sudah kehilangan relasi dengan pembacanya," kata Rupert Murdock. Berbicara di hadapan Asosiasi Editor Surat Kabar Amerika pada April lalu, dengan percaya diri Murdock meramalkan bahwa kematian koran dan media cetak lain tinggal menunggu waktu.
Media cetak akan bernasib seperti dinosaurus. Punah oleh evolusi. Wassalam. Sebabnya, perusahaan yang memasang iklan di media cetak akan mengalihkan strategi mereka ke media elektronik dan internet. Pada akhirnya, media elektronik juga harus bersaing dengan internet. Terutama dengan produk seperti blog dan news portal. "Sekarang perusahaan media, termasuk perusahaan saya, harus lebih paham soal internet," katanya.Ramalan era kematian koran sebenarnya bukan hal baru. Para peneliti media pun sebelumnya mengatakan hal serupa. Bedanya, kini yang mengucapkan kalimat itu tidak lagi seorang peneliti, melainkan Murdock, sang raja media. Ramalan itu beralasan.
Berdasarkan data tahun 1995-2003 dari Asosiasi Surat Kabar Dunia, oplah koran terus menurun: antara lain turun 5% di Amerika, 3% di Eropa, dan 2% di Jepang. Bila pada 1960-an empat dari lima orang Amerika membaca koran, di tahun 2005 perbandingannya menjadi dua dari lima orang. Yang tiga lagi sudah masuk dunia elektronik atau digital.Tapi, meski peluang media elektronik untuk bersaing dengan internet masih cukup besar, Murdock tidak ingin terlambat. Ia terbiasa bertindak cepat. Itulah filosofi bisnisnya, mungkin juga hidupnya. "Tidak ada istilah yang besar mengalahkan yang kecil. Yang benar adalah yang cepat mengalahkan yang lambat, "ujarnya. Karena itu, bisa dipahami mengapa Murdock bergerak cepat. Semacam upaya "restrukturisasi" antara sayap TV dan sayap internet pun dilakukan. Bila TV memproduksi klip video atau berita, maka selain di jaringan TV itu sendiri, tayangan itu bisa diputar di media online.
Integrasi yang manis antara jaringan TV yang dimiliki Murdock - dengan jaringan online-nya yang baru berkembang - bisa terwujud.Meski bagi media cetak ramalam semacam itu relatif menakutkan, jelas keliru bila menyangkalnya. Memang benar tak semua media online dibaca - seperti halnya tidak semua koran dibaca. Tapi media online bisa berperan penting, bisa jadi lebih penting dari media tradisional seperti koran dan majalah. Buktinya adalah peran blog dalam pemilihan presiden Amerika Serikat terakhir lalu.
Matthew Hindman, professor politik dari Universitas Arizona, mengatakan bahwa blog-blog top selalu lebih dikunjungi dibandingkan dengan halaman opini di koran. Karena itu, jelas salah bila menganggap blog bersifat netral terhadap media cetak. Media online cenderung mengancam eksistensi media cetak. Seringkali sebuah blog membantah, atau bahkan membuktikan, bahwa media cetak keliru memberitakan.
Juga salah menganggap para blogger tidak bisa melakukan reportase layaknya media cetak. Contohnya adalah OhmyNews di Korea Selatan, yang menganut konsep "setiap warga adalah reporter". Dalam waktu lima tahun, OhmyNews punya 2 juta pembaca dan memiliki sekitar 3.000 reporter. Para reporter-warga itu adalah sukarelawan yang memasukkan berita yang diedit dan dicek faktanya oleh 50 staf permanen.
Jadi, sampai kapan media cetak bertahan? Menurut buku Saving The Vanishing Newspaper: Journalism in The Information Age karangan Philip Meyer, bila trend digital semacam ini terus berlanjut, diperkirakan tahun 2040 masih ada sisa-sisa pembaca koran. Lewat tahun itu, semua goes digital. ***(Basfin Siregar)
Majalah GATRA edisi 8 Oktober 2005 halaman 73
Labels: Art and Design