MERAYAKAN (LAGI) SEMIOTIKA DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
Judul Buku : Semiotika Komunikasi Visual
Penulis : Sumbo Tinarbuko
Pengantar : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Jalasutra
Tahun : 2008
Tebal : xvi + 118 halaman
Sebagai pengkajian, DKV seakan menjadi ’bunga baru’ yang ditunggu-tunggu kemekarannya oleh para petani tentu saja dengan perawatan, pengembangan dan penelitian yang membuatnya menjadi ’bunga’ yang mekar nan indah. Mengulik wilayah teori DKV inilah yang menjadi menarik. Di luar sana, banyak sekali pendekatan untuk mengkritisi DKV, mulai dari pendekatan seni, psikologi, sosiologi, filsafat, marketing dan budaya. Atau juga mulai dari paradigma evolusi kebudayaan hingga paradigma post-modernisme. Mulai dari analisis etnografi, politik hingga semiotika. Ketersediaan metode inilah yang mengakibatkan DKV juga dijadikan objek pengkajian secara mengasyikkan.
Sumbo Tinarbuko, dosen DKV ISI Yogyakarta sekaligus praktisi konsultan desain menjungkir-balikkan anggapan bahwa menulis bagi orang visual sebagai kutukan. Buku yang ditulisnya ini tidak hanya untuk mengajak mikir (ranah verbal) namun juga bisa untuk menstimulasi visual. Karena itulah buku ini menambah ketersediaan buku-buku lokal berbasis desain maupun seni rupa.
Mengapa Semiotika?
Pada beberapa tahun yang lalu, ide tentang semiotika ini menjadi semacam ilmu yang latah. Industri perbukuan menjadikan semiotika sebagai ilmu yang fashionable (meminjam istilah Kris Budiman, penulis Semiotika Visual), karena beramai-ramai penulis memfokuskan arah ilmunya pada pendekatan yang satu ini. Hal tersebut juga diikuti oleh mahasiswa yang berkutat dalam bidang pengkajian untuk membedah produk-produk DKV dengan pisau semiotika. Tidak mengherankan kemudian jika banyak daftar skripsi entah di perpustakaan maupun di library online menggunakan semiotika seakan-akan menjadi satu-satunya ’alat bedah’.
Buku ini lahir di saat gegap gempita atau perayaan tentang semiotika telah menurun. Memang terlambat kesannya, namun tidak bisa disangkal lagi, semiotika sebagai ilmu yang mempelajari tanda akan tetap relevan dipakai sebagai salah satu ’pisau bedah’ dalam memahami visual. Perdebatan-perdebatan ilmiah yang mendasari pemaknaan visualisasi sebuah karya desain berdasarkan semiotika inilah yang biasanya mendasari juga bagi desainer untuk menerapkan secara ’tepat’ kode-kode visualnya. Tentu saja sebagai seni terapan seperti yang disebutkan di awal, karya desain yang dilahirkan sebagai problem solver ingin dimaknai ’tunggal’ agar tidak menghasilkan kesalahan komunikasi yang berimbas pada image sebuah produk atau jasa.
Alur berpikir secara semiotik bagi desainer tidak hanya dipandang sebagai teori belaka tetapi sebagai rasionalitas ketika desainer mengeluarkan idenya dalam karya visual. Nah, karya yang rasionalitas dan memakai alur semiotika inilah yang biasanya di lain pihak juga dihindari oleh desainer, karena dianggap tidak terlalu kreatif, padahal jika dikaji lebih jauh lagi, karya-karya iklan yang sekarang banyak bertebaran di televisi maupun di media massa cetak menjadi beraroma semiotis. Justru semiotika pada saat-saat tertentu dipakai untuk membedah visual yang tidak rasional untuk menghasilkan pemaknaan yang rasional dan sejalan dengan klien.
Semiotika Komunikasi Visual tidak hanya tepat dilahirkan ketika minimnya buku yang mengkaji tentang visualitas dari dalam negeri namun buku ini juga tepat dilahirkan manakala pengkajian tentang DKV lahir dimana-mana. Pendekatan semiotika menjadi salah satu alat penting dalam menarasikan atau juga memaknai karya desain, serta juga sebenarnya bisa dipakai untuk menstimulus ide mengenai kemungkinan-kemungkinan tanda digunakan.
Di lain pihak, saya ingin mengkritisi buku ini karena aroma yang dilahirkan hanyalah melulu tentang tanda. Bukankah yang terpenting dari semiotika bukan ’tanda’ itu sendiri namun bagaimana relasi-relasi antar tanda tersebut berlangsung? Dari contoh-contoh yang disebut dalam buku, analisis semiotika hanya berlangsung terpotong-potong antar tanda. Begitu pula minimnya sumber asli, seperti Roland Barthes dan Charles S. Peirce dalam buku ini turut mempengaruhi alur berpikir sehingga menjadikan teori yang dipakai dalam buku ini hanyalah penelusuran sumber-sumber sekunder bahkan tersier.
Penelusuran sumber asli bukan hanya kutipan-kutipan dari sumber tersier tersebut diperlukan untuk mencegah kekeliruan mendasar yang ’terbiasa’ dipakai seperti menyebutkan Saussure sebagai tokoh semiotika (hal. 11), padahal Saussure adalah tokoh linguistik dan tidak pernah melontarkan gagasan tentang semiotika kecuali melontarkan istilah semiologi meski tidak pada tataran konten (lihat Course in General Linguistic, 1959). Begitu pula pemahaman mendasar yang terbalik-balik, seperti menyebutkan Saussure dan Barthes dengan signifier dan signified (hal. 21), padahal Barthes dikenal dengan denotasi, konotasi dan retorika-nya. Sifat kearbitreran tanda, hingga kemungkinan tanda tidak bersifat polisemik lagi, namun monosemik tidak dijelaskan secara komprehensif. Analisis semiotika dalam contoh-contoh yang disebutkan dalam buku pada akhirnya menjadi sangat kompleks dan cenderung ’memberondong’ sasaran yang sebenarnya tidak perlu ’peluru’ yang banyak.
Mari, sekarang kita bermain tanda!
Labels: Book