headnya

Sunday, November 16, 2008

VISUALITAS DI JALAN RAYA DAN KORUPSI


Polda Jatim merilis hasil evaluasi program Responsible Riding (RR) dalam kerjasamanya dengan Jawa Pos sebagai tingkat keberhasilan yang signifikan (Jawa Pos, 16 Oktober 2008). Perbandingan kecelakaan pun menurun pada September – Oktober selama program ini dijalankan. Jika pada bulan Agustus (masa pra RR) terjadi kejadian 832 kasus, maka pada program RR kejadian hanya 739 kasus (minus 93), korban meninggal dunia dari 284 jiwa, hanya menjadi 280 jiwa (minus 4), kemudian korban luka berat 229 orang menjadi 204 orang (minus 25) dan korban luka ringan dari 889 orang menjadi 784 orang (minus 105). Begitu pula tren penurunan tingkat kejadian kecelakaan di jalan raya pada masa Operasi Ketupat jika dibandingkan dengan tahun 2007 menunjukkan tingkat penurunan yang bisa dikatakan signifikan (di bawah 50%).

Bagaimana dengan di Surabaya sendiri? Menurut catatan situs Berita Indonesia.com, tercatat setiap tahun tingkat kecelakaan lalulintas di Surabaya semakin meningkat. Ini terjadi sejak 5 Januari hingga 5 Juni 2008 yang mengalami kenaikan signifikan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Pada Januari hingga 5 Juni 2007 lalu dalam catatan Satlantas Polwiltabes Surabaya, jumlah kejadian mencapai 534 kasus dan pada periode yang sama tahun ini meningkat sekitar 12% menjadi 599 kasus.

Kenaikan angka juga terjadi pada korban meninggal dunia, luka berat, serta luka ringan. Jika pada periode yang sama tahun 2007 lalu ada 283 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, maka tahun ini jumlah meninggal dunia naik 33% menjadi 283 korban. Untuk luka berat tahun lalu ada 103 korban dan tahun ini naik tipis menjadi 106 orang. Begitupula dengan korban luka rungan yang tahun lalu mencapai 419 orang, tahun ini naik menjadi 485 orang. Artinya, angka-angka tersebut terjadi pada masa periode sebelum RR berlangsung.

Tanpa berpolemik mengenai signifikan atau tidaknya tren penurunan tingkat pelanggaran di jalan raya, maka menjadi hal yang menarik jika perilaku dalam berkendara dan memanfaatkan jalan raya menjadi perhatian kecil yang harus dibenahi di tengah-tengah wacana besar mengenai pemberantasan korupsi. Apa relevansi keduanya?

Visualitas di Jalan Raya
Telah diketahui oleh umum bahkan oleh tamu dari luar negeri perihal perilaku masyarakat Indonesia dalam berkendara maupun dalam menggunakan jalan raya adalah karakter masyarakat kita yang ”berani mati”. Pada kalangan anak muda, karakter yang menyerempet bahaya ini acap dipakai pada jenis olah raga yang dikenal sebagai extreme sport. Tentu saja, idiom ini bukan hal yang positif jika melihat perilaku masyarakat kita atau justru kita sendiri yang mengalaminya. Apa saja visualitas ekstrim tersebut?

Pertama, ketika ada mobil yang akan mengambil jalan mundur, maka bisa dipastikan pengguna jalan yang lain seperti sepeda atau sepeda motor akan mengambil jalan nekad, yaitu tetap jalan di belakang mobil yang berusaha mundur tersebut atau mengambil jalan di depan mobil itu. Tidak sabar menunggu mobil itu berada dalam posisi yang pas. Kedua, jika ada pejalan kaki yang akan menyeberang tepat di area zebra cross maka sepeda motor atau mobil akan tetap melaju kencang tidak memberikan jalan bagi pejalan kaki. Ketiga, rambu lalu lintas yang mengisyaratkan kecepatan dalam kota tidak boleh lebih dari 50 km/jam, maka di jalanan akan mudah terlihat sepeda motor yang melaju kencang bagai di sirkuit balapan.

Keempat, begitu lampu masih merah atau bahkan kuning, para pengguna jalan sudah berebutan membunyikan klakson tanda bahwa mereka menguasai jalanan itu sehingga hafal di luar kepala kapan lampu perempatan menjadi hijau. Kelima, di beberapa tempat di Surabaya, pejalan kaki dengan asyiknya melenggang menyeberang jalan di tengah jalan yang ramai tanpa menggunakan zebra cross atau jembatan penyeberangan. Keenam, tanpa menyalakan lampu sein ketika akan mengubah posisi jalur, mobil atau sepeda motor seenaknya saja pindah jalur. Ketujuh, kedelapan bahkan hingga kedua puluh Anda pasti dengan cepat akan menambahkan daftar saya tersebut, karena memang visualitas di jalan raya itu sangat nyata dan bahkan tanpa skenario.

Apa yang menyebabkan visualitas itu masih tetap ada hingga sekarang? Jelaslah, tingkat kesadaran dalam memperlakukan kendaraan maupun perilaku di jalan raya yang masih minus. Program RR dan mungkin program lainnya menjadi tidak bermanfaat jika tidak didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat sendiri. Seorang pemikir post-semiotik, Michel Foucault pernah berujar bahwa kekuasaan bisa terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Tidak hanya pemerintah dan aparatusnya yang sering kita anggap mereka sebagai penguasa. Artinya, sebagai manusia dengan sifatnya yang bio-politics kita dapat dengan mudah memperlakukan rambu-rambu lalu lintas, termasuk tidak menggunakan etika di jalan raya. Alih-alih kita berkuasa atas kendaraan kita sendiri, aturan di jalan raya pun tidak diperlakukan dengan etika yang benar.

Korupsi
Apa relevansi antara etika berkendara dengan pemberantasan korupsi? Dalam berbagai pertemuan ilmiah atau bahkan jurnal-jurnal ilmu pemerintahan yang berbicara tentang pemberantasan korupsi, maka logika berpikir dan konsep mereka adalah bagaimana beretika profesi. Tidak hanya mampu menahan diri dalam menyalahgunakan wewenang, namun juga bagaimana di berbagai tempat etika dijunjung tinggi. Telah banyak referensi bahkan perbicangan di media massa mengenai hal ini, namun saya lebih tertarik berangkat dari fenomena keseharian di jalan raya yang bisa menjawab, apakah korupsi bisa diberantas di negeri ini?

Hal kecil mengenai sikap di jalan raya adalah visualitas. Visualitas itu akan menjadi simbol mengenai peradaban dan produk budaya. Artinya, berbagai konsep mengenai pemberantasan korupsi tidak akan berjalan jika hal kecil yang negatif dalam keseharian kita telah menjadi produk budaya yang fenomenatik. Selama kita masih melaju kencang ketika lampu telah berubah menjadi merah, atau kita tidak memberi jalan bagi pejalan kaki yang akan menyeberang di zebra cross atau juga kita melaju kencang dan memperlakukan jalan raya bagai sirkuit Formula One, maka kita jangan berharap korupsi dapat diberantas di negeri ini.

Semoga saja sebelum kita berkoar-koar mengenai wacana besar tentang pemberantasan korupsi, kita sadar tentang bagaimana membenahi hal-hal kecil terlebih dahulu di sekitar kita. Semua berpulang pada kesadaran diri sendiri.***

MEREKA MENUNGGANGI AKTIFITAS ANAK MUDA


Anak muda itu hanya ingin berkreasi...
Jadi jangan ditunggangi apalagi dengan motif politik,
bahkan dengan ambisi kepentingan pribadi.

Jadi biarkan mereka berkreasi sebebas mungkin,
bahkan sebebas caci maki mereka pada situasi.

Kalau boleh memilih, mereka akan memilih sistem anarki
untuk memulai semua dari nol.

(potret dari penunggangan aksi mural komunitas P Art, Tiadaruang dan komunitas mural lain di Surabaya oleh partai politik tertentu di depan kampus UWM Dinoyo, Surabaya)

TENTANG "SPONTANITAS" (dari catatan yang tercerai berai...)

Kata tersebut begitu akrab di telinga kita pada beberapa hari terakhir ini berkaitan dengan meninggalnya mantan Presiden Soeharto. Kata spontanitas digunakan untuk menandai antusias masyarakat dalam proses pemakaman mantan presiden tersebut. Ribuan orang – seperti yang ditulis di headline surat kabar maupun televisi – turut menyertai perjalanan rombongan duka dari Cendana hingga ke Halim Perdanakusuma. Tidak cukup di Jakarta saja, ribuan orang – lagi-lagi disebutkan – juga telah menunggu di jalanan kota Solo menuju Astana Giribangun, tempat terakhir jenazah dikebumikan. Visualitas tentang pelayat dan kata ‘spontanitas’ yang menyertainya, menarik diperhatikan di sisi yang lain kejadian besar awal tahun 2008 ini.

Pierre Boudieu (1990) menyebut spontanitas adalah salah satu ciri ketika perilaku melakukan kebiasaan sosial atau habitus berlangsung berulang-ulang bahkan tidak disadari. Di saat kebanyakan orang melakukan hal yang sama, maka hal demikian dikatakan sebagai suatu ciri sosial. Di sisi lain, habitus tidak serta merta muncul dari suatu kondisi yang tiada. Jika kebiasaan dilakukan dengan kesadaran dan tidak ada iming-iming hadiah atau bahkan paksaan, maka hal itu lebih menunjukkan seberapa dalam tingkat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Kebiasaan sosial yang demikian bukanlah kebiasaan sosial yang direkayasa untuk menumbuhkan spontanitas. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang dilakukan oleh masyarakat dalam menyambut rombongan pelayat dan jenazah Soeharto dapat dikatakan sebagai aksi spontanitas seperti yang sering diperdengarkan oleh berita di media massa itu?

Mengkuantitatifkan Duka
Tanpa bermaksud memperbandingkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain apalagi hal tersebut menyangkut masa lalu, namun rupanya saya tidak kuasa menolak untuk sekedar menolehkan muka sejenak ke belakang. Visualitas tentang masyarakat yang berduka dan iring-iringan mobil keluarga, pejabat dan jenazah adalah satu kesatuan. Begitu pula ketika Indonesia dikejutkan oleh berita meninggalnya Bung Karno, Bung Hatta, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan kemudian Soeharto, pelayat yang datang seakan-akan diposisikan sebagai aparatus untuk ’menguji’ spontanitas mereka kepada sang tokoh.

Headline di koran saat Soeharto akan dikebumikan adalah ”ribuan orang mengantar Soeharto”, ”ribuan orang berdiri di tepi jalan”, ”puluhan ribu masyarakat Jakarta tampak mengiringi Soeharto di tepi jalanan ibu kota” dan beberapa kalimat lain yang mengagungkan angka sebagai tolok ukur cinta. Kalimat itu pulalah yang sering dikatakan oleh presenter televisi dalam meliput peristiwa tersebut seakan-akan meneguhkan kecintaan masyarakat kepada seorang tokoh melalui angka.

Variabel lain dalam peristiwa meninggalnya Soeharto tampaknya diabaikan dalam hal ini. Media massa lupa angka selalu akan berkorelasi dengan variabel lain yang mengakibatkannya. Jika demikian, masihkah bisa dikatakan sebagai ’spontanitas’ jika ada variabel lain yang membuatnya demikian?

Sebagai contoh, kebiasaan mengantri di bank. Kebiasaan umum yang selanjutnya mengarah kepada tindakan spontanitas dalam mengantri di bank ternyata masih diimbangi juga dengan peralatan yang mendukung untuk mengantri, misalnya tali pembatas. Tali pembatas telah menjadi variabel yang lain untuk membuat orang spontan mengantri tanpa disuruh-suruh. Namun apakah ketika tali pembatas, nomor urut antrian dan peralatan lain suatu ketika tidak ada, maka akan ada spontanitas? Saya meragukan hal itu, karena kebiasaan umum masyarakat Indonesia belum mencapai pada tingkat tersebut. Secara substansial, habitus untuk mengantri belum ada.

Variabel sebab-akibat
Jika demikian, maka saya menyangsikan angka besaran masyarakat sebagai sebuah sikap spontanitas. Ada sebab yang mengakibatkan demikian dan itu telah keluar dari substansi makna ‘spontanitas’. Berita di televisi, kemudian juga koran, majalah, bahkan tabloid hiburan dan masih ditambah lagi berita infotainment yang biasanya mengulas kehidupan glamour selebriti berganti muka menjadi berita keharuan ketika Soeharto masuk Rumah Sakit. Itu pun belum berakhir. Secara berturut-turut, berita di televisi masih juga mengulas tentang acara tahlil yang juga masih mengagungkan angka sebagai perkara yang substansial disebutkan. Betapa dahsyat pengaruh media massa menyihir masyarakat sehingga nampak seolah-olah itu adalah sikap yang spontan!

Di jaman ketika semuanya menjadi demikian terbuka, pers menjadi bebas dan rakyat berada dalam kondisi tanpa tekanan, maka visualitas masyarakat yang ‘seolah-olah spontan’ tersebut menjadi hal yang wajar.

Kondisi yang berbeda ketika meninggalnya Bung Karno, rakyat berada dalam bayang-bayang ketakutan dalam melayat karena takut di-cap PKI, namun tetap saja ‘ribuan’ orang mengiringi dengan ratap tangis di sepanjang jalan. Dan peristiwa duka ini tetap ditetapkan sebagai peristiwa paling akbar di Indonesia. Bila bicara kuantitatif, maka telah banyak lembaga data yang mencatat jumlah pelayat yang sangat besar bahkan melebihi pelayat Soeharto.

Begitu pula ketika Bung Hatta meninggal, tanpa ada dukungan yang besar dari aparatus duka, seperti media massa, rakyat masih melepasnya dengan keharuan meski bisa jadi saat itu telah ada pengkultusan individu sosok Soeharto di rejim ketika Bung Hatta tiada. Toh, bagaimanapun Iwan Fals secara khusus membuat lagu untuk kepergian Bung Hatta, meski di jaman itu Iwan Fals menjadi momok bagi pemerintahan Soeharto.

Meninggalnya HB IX juga mendapat perhatian tersendiri berkaitan dengan angka. Tanpa ada pemberitaan menyangkut sebelum HB IX meninggal, namun rakyat meluber mengiringi jenazah HB IX dikebumikan. Visualitas yang sama dengan ketika Bung Karno dan Bung Hatta meninggal dunia.

Contoh-contoh di atas (kepergian Soekarno, Bung Hatta dan HB IX) adalah substansi dari makna ‘spontanitas’ sesungguhnya. Sikap yang menjadi kebiasaan umum ketika orang yang dikenalnya meninggal dunia. Sikap tanpa paksaan, sikap tanpa ada pengaruh dan tentu saja sikap yang didasari pada keinginan hati yang mendalam. Sikap tersebut sama juga dengan meninggalnya salah seorang di lingkungan masyarakat umum yang meninggal dunia. Begitu berita menyebar dari mulut ke mulut, spontanitas ikut mengiringi kebiasaan umum untuk melayat atau menaburkan bunga dan uang logam ke iring-iringan jenazah. Inilah gambaran kebiasaan umum tersebut dan telah menjadi habitus dalam masyarakat kita.

Sekali lagi, tanpa bermaksud mengunggul-unggulkan satu dengan yang lain, namun kata ‘spontanitas’ hanya dengan menunjuk kisaran angka sebagai bukti tanpa melihat faktor lain yang mendukung penggunaan kata ‘spontanitas’ tersebut, adalah pembiasan dalam melihat fenomena visual. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan muatan politik. Sungguh tidak pada tempatnya.***

MEWUJUDKAN SURABAYA KOTA KREATIF


Pada Juni 2008, Departemen Perdagangan RI merilis cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia 2009-2025 serta pengembangan subsektor-subsektor ekonomi kreatif yang kemudian dikenal sebagai industri kreatif itu. Berdasarkan cetak birunya, ada 14 subsektor industri kreatif, yaitu periklanan; penerbitan dan percetakan; TV dan radio; film, video dan fotografi; musik; seni pertunjukan; arsitektur; desain; fesyen; kerajinan; pasar barang seni; permainan interaktif; layanan komputer dan piranti lunak; penelitian dan pengembangan.

Ekonomi kreatif sendiri berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreatifitas individu sebagai sebuah kekayaan intelektual. Sektor ini dipercaya pemerintah sebagai harapan bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit, bersaing da meraih keunggulan dalam ekonomi global.

Kontribusi sektor ini juga sangat berdampak bagi Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu rata-rata sebesar 104,638 triliun rupiah pada tahun 2002-2006 atau menyumbang 6,3 persen dari PDB nasional. Sektor industri kreatif pun mampu menyerap tenaga kerja rata-rata sebesar 5,4 juta pekerja di Indonesia dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8 persen serta produktivitas tenaga kerja bahkan mencapai 19,5 juta rupiah per pekerja setiap tahun melebihi produktivitas nasional yang “hanya” mencapai kurang dari 18 juta rupiah per pekerja per tahun.

Bandingkan dengan industri kreatif di negara lain, seperti Singapura. Singapura sendiri sedang berambisi menggenjot pendapatan Negara dari sektor ini untuk menaikkan kontribusi dari kurang lebih 3 persen (2000) menjadi 6 persen (2001). Simak juga ambisi Singapura untuk menjadikan Negara itu sebagai creative hub utama di Asia, sehingga mereka meluncurkan tiga inisiatif, yaitu kota Renaissance, Design Singapore dan Media 21.

Dengan menyingkirkan sekilas pandangan yang melihat upaya pemerintah yang sangat terlambat sementara sektor-sektor tersebut di Indonesia telah melaju kencang di pasar pasca ambruknya ekonomi Indonesia tahun 1997, indikasi positif pemerintah ini patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Bagaimana dengan Surabaya? Apa yang harus diperbuat agar mampu berdiri sejajar dengan kekuatan ekonomi global lainnya minimal sejajar dengan kota-kota dan wilayah kreatif lainnya, seperti Bandung, Jakarta, Bali dan Jogjakarta?

Sinergi Tiga Pihak
Banyak yang berpendapat, bahwa Surabaya ini bukanlah kota yang tepat dan mampu mengapresiasi kreatifitas orang dengan baik. Dengan kata lain, Surabaya bukan kota kreatif. Benarkah?

Apa yang tidak dipunyai oleh kota ini? Ada Budi Darma maupun Lan Fang serta sederet nama lain di bidang sastra. Siapa yang tidak kenal Padi maupun Boomerang serta puluhan grup band indie di sektor industri pertunjukan? Di periklanan mulai tumbuh rumah-rumah iklan, bahkan sumber daya manusianya (mahasiswa) bahkan mampu meruntuhkan dominasi mahasiswa periklanan dari kota lain yang selama ini dekat dengan periklanan, yaitu Jakarta dan Bandung. Di bidang desain, banyak fashion designer maupun desainer grafis yang malang melintang di dunia internasional. Bahkan distro pun banyak bertebaran di lingkungan kampus. Jangan tanyakan juga komik yang lahir dari Surabaya. Banyak komunitas komik dan komikus yang sangat getol berindustri di sektor ini. Seiring dengan boomingnya seni rupa Indonesia, kota ini juga punya deretan perupa-perupa yang mampu berbicara di tingkat nasional maupun internasional. Masih banyak potensi lain dari kota ini jika pihak pemerintah kota mau menginventarisasinya sebagai kekayaan kota. Namun tragisnya, mapping mengenai hal ini, pemerintah kota pun tidak mempunyainya.

Ada tiga hal yang harus bersinergi dalam memajukan ekonomi kreatif di Surabaya, yaitu intelektual, kalangan bisnis dan pemerintah. Kekuatan utama industri kreatif selama ini adalah mampu survive meski tanpa perhatian ketiga hal tersebut. Namun tidak ada salahnya, mulai tumbuh perhatian kepada mereka yang akan merangkak naik dalam industri kreatif di Surabaya.

Mengapa pihak intelektual bertanggungjawab pada pengembangan ekonomi kreatif? Yang jelas, faktor pendidikan inilah yang penting untuk ikut aktif melahirkan manusia-manusia kreatif. Banyaknya kampus di kota ini seharusnya mampu menjadi basis melahirkan generasi kreatif seperti halnya Bandung atau Jogjakarta. Namun apakah secara jujur mereka beritikad baik untuk melahirkan generasi-generasi kreatif ataukah hanya mengejar jumlah mahasiswa? Bagaimana peran serta mereka untuk secara aktif berkiprah di luar kampus? Adakah peran aktif dalam memberikan pelatihan-pelatihan di bidang kreatifitas ke kantong-kantong masyarakat? Bagaimana pula dengan penanaman pentingnya berpikir kreatif di tingkat pendidikan dasar dari SD hingga SMA? Apakah kurikulumnya masih berpihak dan terlalu menonjolkan kekuatan otak kiri dibanding otak kanan? Tentunya hal ini membutuhkan pula tenaga-tenaga pendidik yang tidak hanya pintar mengajar tetapi juga kreatif.

Di pihak bisnis, adakah kesempatan buat komunitas-komunitas masyarakat untuk mengembangkan kreatifitasnya? Program-program tanggung jawab sosial (CSR) yang dikembangkan oleh industri-industri besar akhir-akhir ini seharusnya mampu merangkul komunitas-komunitas yang secara proaktif mengembangkan bidangnya. Tengok saja, berapa banyak komunitas komik di Surabaya yang kadang-kadang gagal berangkat berpameran di kota lain di Indonesia hanya gara-gara kekurangan dana. Ada juga cerita dari seorang perupa Surabaya, yang gagal berangkat ke Biennale di Korea Selatan hanya karena juga masalah klasik tersebut. Komunitas-komunitas masyarakat yang secara aktif ingin menekuni kerajinan rakyat, misalnya, juga sangat membutuhkan rangkulan tangan dari pihak industri untuk menaikkan citra mereka. Jika di Surabaya banyak bertebaran mall seharusnya ini juga jadi sesuatu yang positif jika mereka menyediakan tempatnya untuk dijadikan ajang bisnis usaha kecil menengah (UKM) tanpa prosedur yang berbelit-belit bahkan mahal.

Bagaimana untuk pemerintah kotanya? sarana-sarana pendidikan kreatif juga harus diciptakan. Di Thailand, konsep taman edukasi telah diaplikasikan dalam Thai Knowledge Park yang dibangun dalam sebuah pusat perbelanjaan. Anak-anak dan kaum remaja dapat datang berkunjung ke sana untuk belajar sambil bermain, dan bahkan berbelanja. Tujuan dikembangkannya taman edukasi seperti ini adalah untuk mendorong siswa berpikir lebih kreatif. Pemerintah kota Surabaya sendiri telah membangun taman-taman kota yang memungkinkan berkumpulnya orang-orang kreatif. Namun, sekedar membangun infrastruktur tidaklah cukup. Langkah awal untuk menginventarisasi kekayaan intelektual di Surabaya dengan masuk ke industri kreatif yang telah mapan maupun komunitas-komunitas anak muda yang kreatif sangat dinantikan. Komunitas anak muda ini biasanya terpinggirkan padahal mereka berpotensi besar jika diperhatikan. Meskipun mereka banyak ’berindustri’ di kamar kos pun, pihak pemerintah tidak seyogyanya menampik keberadaan mereka. Dengan banyak upaya seperti itu, maka pemerintah kota diharapkan memasukkan program pengembangan industri kreatif ini ke anggaran kota sehingga dapat memacu insan-insan kreatif Surabaya untuk maju.

Jika tiga serangkai tersebut mampu berbuat banyak; pihak intelektual menyiapkan sumber daya manusia yang kreatif dan mumpuni, kemudian pihak bisnis membuka ruang selebar-lebarnya dalam bentuk kemudahan finansial maupun material buat pengembangan industri kreatif serta pihak pemerintah yang tidak lagi terlalu sibuk perihal ijin yang berpotensi iklim kreatif menjadi lesu, maka dalam waktu ke depan, Surabaya pun mampu menjadi kota yang kreatif! Siapapun harus saling percaya untuk mewujudkan cita-cita ini.***

(telah dimuat di Jawa Pos, 24 September 2008)

MURAL PERLAWANAN PILKADA JATIM 2008


Ini adalah catatan yang tercecer dari persitiwa selama Pilkada Jawa Timur 2008. Peristiwa yang mendatangkan beragam opini, termasuk komunitas Tiadaruang yang merespon isu tersebut.

Ketika yang didengung-dengungkan oleh pemerintah dan tokoh agama, bahwa golput itu haram, maka yang diambil oleh komunitas Tiadaruang tersebut adalah perlawanan. Mengambil sikap berbeda. Sekalian basah dengan anggapan tersebut, maka kegiatan bergerilya dengan agenda utama yaitu mengambil jalan golput pada pilkada Jatim ditempuh. Mulai dari Sidoarjo hingga Surabaya, mulai ditebarkan kegiatan yang mirip kampanye golput. Dilakukan pada tgl 20 Juli 2008, mereka pun beraksi…dan lagi-lagi memakai cara seperti yang dilakukan Affandi dkk ketika membuat mural di jaman revolusi melawan Belanda dulu.***