headnya

Thursday, September 04, 2008

CATATAN IKLAN POLITIK PILKADA JATIM

Ada mitos dalam Yunani Kuno tentang seorang dewa yang bernama Narcius. Dewa Narcius dikenal karena dalam mitosnya tersebut ia terpesona oleh kerupawanannya sendiri. Sampai-sampai ketika ia berkaca di kolam, ada versi yang menyebutkan Dewa Narcius akhirnya mati tercebur di kolam karena terbuai oleh sikapnya yang seolah tidak percaya mempunyai rupa yang elok. Sekian lama ia bercermin hingga ia terbuai kemudian jatuh di kolam dan akhirnya mati.

Dari mitos ini pula yang kemudian memunculkan istilah yang merujuk pada sikap memuja pada diri sendiri atau dikenal dengan narsis.
Rakyat Jawa Timur telah melakukan pemilihan kepala daerahnya secara langsung. Pada saat-saat ini pula, di berbagai kota di Jawa Timur marak iklan politik para calon gubernur yang bertebaran dari jalan hingga media massa lokal. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sudah sejauh mana iklan tersebut sangat efektif sebagai media pengenalan visi dan misinya kepada rakyat di Jawa Timur atau malahan iklan tersebut hanyalah alat untuk melakukan pemujaan pada diri sendiri alias tidak bisa berkata apa-apa kepada masyarakat?

Politik Iklan
Seyogyanya iklan memang dibuat untuk diantaranya sebagai alat penyampai pesan tentang manfaat maupun keuntungan orang menggunakan sebuah produk apalagi dalam konteks produk yang baru. Tahapan selanjutnya iklan dibuat pada level citra, artinya orang menggunakan produk tersebut sudah tidak lagi pada tataran guna (manfaat) tetapi pada tataran nilai (citra), tentu saja level citra ini didapat jika produk tersebut sudah diakui oleh khalayak umum atau telah teruji manfaat dan nilainya. Tahap inilah yang menentukan konsumen juga ikut merasakan kebanggaannya sebagai bagian dari produk tersebut. Sehingga tidak heran orang akan bangga mengonsumsi produk yang bersifat ’jaminan mutu’ meski dengan harga tinggi, bahkan meskipun tidak ikut membeli produknya asalkan membeli merchandise dengan logo brand saja sudah bangganya bukan main. Inilah politik iklan!

Bagaimana dengan iklan politik para calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur? Tidak disangsikan lagi, masyarakat pada akhirnya jadi tahu wajah para kontestan Pilkada mendatang. Politik iklan dengan cara menyingkat-singkat nama kontestan menjadi hal yang sangat jamak ditemui seperti halnya Pilkada di daerah lain di Indonesia. Salam, SR, Kaji, Achsan dan Karsa adalah contoh cara mereka mengenalkan diri pada masyarakat. Cukup disini saja? Tidak! Dengan perencanaan pula, iklan yang mereka sebar juga menaruh foto diri yang dikombinasikan dengan atribut, warna, komposisi dan juga slogan.

Sampai di situ iklan politik yang mereka lakukan sudah sesuai dengan perkiraan. Masyarakat luas jadi tahu siapa yang akan mereka pilih nantinya. Kapasitasnya pun sedikit banyak telah diketahui oleh publik, mereka lebih banyak bermain di level apa, apakah level agamawan, birokrat, pengusaha, politisi ataukah politisi-selebritis? Sudah pada tingkatan apa, apakah lokal, regional ataukah nasional?

Pada level masyarakat jadi tahu nama ”produk”nya, iklan politik itu sudah memainkan tahapan awal dari politik iklan. Sudah cukup sampai disini? Ya. Iklan politik para kontestan tersebut sudah bermain di level perkenalan dan selesai. Dalam artian, iklan politiknya hanya berhasil pada kemasan saja. Tidak ada yang baru pada iklan-iklan politik di Jawa Timur. Semuanya sama dan cenderung paritas. Secara transparan, masyarakat tidak mengetahui urgensi dan manfaat apa sehingga masyarakat memilihnya. Pada level ini saja iklan politik tersebut telah gagal apalagi pada level citra, iklan politik itu tidak berkata apa-apa.

Narsisnya Kontestan
Dalam kajian sosial budaya, ada pendekatan yang bernama semiotika untuk membaca fenomena sosial termasuk iklan-iklan yang saling beradu dalam rangka Pilkada tersebut. Secara sederhana, kajian semiotik dipahami untuk membaca data lingual dan data visual berdasarkan tanda-tanda yang saling berhubungan. Dugaan (guess) dalam membaca data yang terkandung dalam iklan tersebut diperlukan sepanjang minimnya pesan kunci (anchorage) yang membantu pemahaman masyarakat luas.

Kopiah, baju koko dan jilbab adalah atribut yang khas dilakukan oleh hampir semua kontestan. Iklan tersebut seolah ingin menegaskan bahwa mayoritas pemilih di Jawa Timur adalah muslim (indexical). Sehingga berbagai tindakan yang dilakukan oleh mereka adalah rajinnya blusukan di pondok pesantren, masjid maupun aktif mengadakan pengajian. Jas dan dasi adalah atribut lain yang menegaskan keberadaannya pada level menengah ke atas. Pada tataran ini sebenarnya sudah cukup memberi gambaran adanya oposisi biner, kelas atas dan kelas bawah, birokrat maupun tidak, kaya ataupun miskin. Sehingga sebenarnya tidak masuk akal jika ada pendukung yang emosional hingga melakukan kekerasan ketika calonnya kalah, karena sebenarnya yang mereka bela mati-matian itu berada pada posisi ekonomi dan sosial yang berlainan juga.

Belum lagi penampilan fisik, seperti kumis, mata dan hanya menonjolkan senyuman memberikan makna yang tidak hanya berkaitan dengan keindahan foto tetapi jika diperhatikan juga dapat menimbulkan dugaan bias gender. Seolah-olah yang bisa memberikan kemajuan bagi masyarakat Jawa Timur hanyalah laki-laki. Hal ini pun juga masih diperkuat dengan iklan-iklan yang menonjolkan juga gelar di depan maupun di belakang namanya. Apa urgensi dari pencantuman gelar akademik di ranah publik seperti ini? Dugaan-dugaan semiotik itulah yang akhirnya muncul dikarenakan minimnya atau bahkan tidak adanya pesan penting dalam iklan tersebut.

Tidak ada pesan apapun yang mau dikatakan tetapi tampilan diri yang diutamakan. Tanpa bermaksud hati merendahkan iklan politik yang sudah dibuat, tetapi Pilkada adalah keputusan yang menuntut kebenaran dalam memilih, sehingga diharapkan iklan tidak hanya berbicara pada wilayah kemasan saja yang indah-indah tetapi juga memproyeksikan tujuannya ikut berkontestasi. Menjadi hal yang bagus lagi, jika iklan yang dibuat membuat masyarakat cerdas berpikir mengenai pilihannya. Jangan berikan masyarakat janji-janji, tetapi berikan masyarakat pencerahan dalam hal motivasi bagaimana memilih pemimpin yang benar bukan pemimpin yang narsis. Matinya Narcius karena terbuai dengan keindahan wajahnya sendiri. Jangan sampai calon pemimpin terpesona karena keberhasilannya di masa lalu, tetapi biarkan masyarakat terpesona pada apa yag akan dilakukan di masa mendatang.

Meski akhirnya dua kontestan akan bertarung kembali dalam putaran kedua, yaitu Kaji dan Karsa, saya masih melihat bahwa yang menjadi pemenang nantinya tetaplah Golputers, setelah pada putaran pertama berhasil memukul telak pasangan-pasangan yang ada.***

DJAKABAIA: Historiografis Kuliner Klasik Surabaya


Judul : DJAKABAIA; Djalan-djalan dan makan-makan
di Soerabaia

Penulis : Vina Tania
Pengantar : Bondan Winarno
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun terbit : 2008
Tebal : iv + 63 halaman

Ini adalah buku panduan bagi pengidap penyakit untuk selalu merasakan petualangan rasa atas kuliner Indonesia, khususnya kuliner Surabaya. Ingin tahu kenapa Soto Gubeng PJKA Surabaya memasang sebuah papan bertuliskan ”Soto Masih Ada”? Konon ide memasang papan ini muncul karena seringnya pengunjung bertanya, ”Sotone jek onok ta?” (apakah sotonya masih ada/tersedia?). Karena sang penjual bosan ditanya dengan pertanyaan yang sama berulang kali, maka untuk lebih memudahkan dipasanglah papan tersebut. Lama kelamaan pengunjung akan tahu jika soto yang akan dibelinya ternyata sudah habis, maka ia tinggal melihat papannya sudah dilepas atau tidak. Kalau sudah dilepas, maka sotonya telah habis (hal. 38).

Itu adalah penggalan isi buku tentang tempat-tempat makan tradisional Surabaya yang masih eksis sejak puluhan tahun lalu. Ditengah gempuran tempat makan franchise kemudian tempat makan yang mengandalkan interior mewah maupun kemasan yang telah modern, buku berjudul Djakabaia ini hadir untuk ”menyelematkan” tempat makan yang bisa dikatakan ”kuno”.

Buku ini menjadi istimewa karena tiga hal. Pertama, gaya tulisan enak diikuti. Untuk ukuran jenis buku ringan yang berisi tentang informasi tempat makan di Surabaya yang relatif tua dan tak tergeserkan oleh perubahan tempat kuliner yang lebih modern, pemilihan kata bisa dikatakan bebas nilai. Ia tidak terlalu demonstratif namun juga tidak terlalu ribet. Yang jelas, pemilihan gaya tulisan khas anak muda, mengalir begitu saja.

Kedua, tidak banyak buku kuliner yang menyingkap asal-usul atau yang bersifat historiografi. Sub judul buku ini yang memakai ejaan lama menunjukkan bahwa Djakabaia menyoroti tempat makan di Surabaya dengan angle yang lain. Buku tentang kuliner di Surabaya perlahan mulai ramai dibuat, namun tidak banyak yang menyingkap asal-usul sebuah tempat makan atau justru asal-usul nama makanan itu sendiri. Djakabaia mampu muncul dengan memberi alternatif panduan tempat makanan ”kuno” di Surabaya. Tentu saja dengan mengambil alternatif angle yang demikian, maka buku ini membangkitkan romantisme bagi yang pernah tinggal di Surabaya maupun membangkitkan rasa penasaran sejarah bagi yang belum ke Surabaya.

Ketiga, kelebihan buku kuliner Surabaya ini terletak pada grafisnya. Karena itu, saya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa buku ini adalah perpaduan antara informasi sejarah dan grafis (historiografis). Dilengkapi dengan peta, foto dan grafis yang memikat, Djakabaia segar di mata dan layak juga dinamai sebagai buku panduan, karena informasinya yang lengkap tersebut. Lay out yang tidak ”normal” seperti halnya buku-buku serupa ditunjang dengan permainan warna yang atraktif untuk menandai setiap bahasan semakin mengukuhkan bahwa inilah karya anak muda yang besar dan tinggal di Surabaya yang mencoba memotret khasanah kuliner Surabaya dengan ”caranya sendiri”.

Namun begitu, di tengah-tengah kekurangan buku ini hal yang paling mencolok adalah kurangnya bobot pada pilihan dan sejarah (seperti juga yang dikritik oleh Bondan Winarno dalam halaman pengantar). Komunikasi visual pada buku ini cukup menutupi kelemahan tersebut, karena sekali lagi rupanya Vina Tania dalam buku ini tidak sekedar menulis namun juga mendesain sendiri lay outnya sekaligus pemilihan tipografinya.

Ekonomi Rakyat
Perdebatan mengenai pilihan tempat yang direkomendasikan oleh Vania pasti akan menyeruak di permukaan. Jangan menggugat penulis jika Anda tidak mendapati tempat makan di Surabaya yang menurut Anda lebih layak ada di buku ini. Perkara kuliner adalah perkara relatifitas. Perkara ketidakpastian. Bondan Winarno dalam pengantarnya mengatakan, ”beberapa tempat jika tidak bisa dikatakan sebagai top-markotop, pilihan itu masih tergolong second best”. Karena itu buku ini memang akan terus menimbulkan perdebatan jika tidak segera menyadarkan diri untuk kembali kepada misi awal mengapa buku ini diciptakan, yaitu mengangkat pusaka kuliner Surabaya.

The best 20 seperti yang diaku oleh Vania menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu apalagi jika diperhadapkan pada ekonomi politik. Buku yang ditulisnya ini tak ayal lagi akan menimbulkan perbincangan tentang siapa dibalik Vina maupun apa bedanya buku ini dengan buku yang sifatnya komersial (plus promosi)? Jangan-jangan Vina berada dalam kepentingan kapital maupun sosial tertentu, sehingga buku ini begitu dominan mengangkat tempat-tempat kaki lima. Mungkin terasa naif menduga seperti itu, karena anak muda seperti Vina sama halnya anak muda lainnya selalu berpandangan di mana saja oke-oke saja.

Makanan dalam perkembangan budaya diproduksi berdasarkan konsep dan makna serta kategori-kategori yang dikonstruksi dalam sebuah sistem sosial. Karena hal itulah dalam fenomena makanan terdapat semacam mistifikasi sebagaimana dikatakan Marx, yaitu bagaimana relasi di antara makanan diandaikan sebagai relasi di antara orang-orang dalam sebuah sistem sosial. Di dalam masyarakat, makanan dijadikan penanda untuk memberi kategori kelas sosial berdasarkan jenis makanannya, penataan makanan bahkan tata cara makan.

Klasifikasi, diskriminasi dan hierarki sosial yang terjadi dalam fenomena makanan memang tidak bersifat tetap, namun akan berubah sesuai dinamisasi masyarakat serta kebudayaan. Dominannya tempat-tempat yang khas kaki lima masuk dalam rekomendasi buku ini rupanya juga berseberangan dengan buku-buku sejenis lainnya yang banyak didominasi resto maupun kafe dengan tempat yang tentu saja memainkan kelas-kelas sosial tertentu. Bukan bermaksud memperlebar kelas sosial tersebut jika Vina lebih memilih kaki lima, tetapi lebih berhasrat pada ”penyelamatan” pada ekonomi mereka sekaligus memberikan citra yang positif dalam lintas kelas sosial bahwa pusaka kuliner Surabaya ternyata masih diselamatkan justru oleh pelaku-pelaku usaha kaki lima.

Di beberapa tempat, kuliner yang dijajakan oleh pedagang kaki lima ternyata merontokkan teori Marx tentang mistifikasi makanan. Karena ternyata ketika hari semakin malam, maka tempat-tempat itulah yang semakin ramai dikunjungi orang bahkan dalam lintas kelas sosial. Mulai dari yang hanya bersepeda hingga yang bermobil mewah semua menyatu dalam perburuan makanan. Tidak percaya? Tengoklah Rawon Setan Bu Sup di depan Hotel JW Marriot Surabaya!....***

(dimuat di Jawa Pos, 14 September 2008)

KENAPA MASYARAKAT CINTA TELEVISI?

Ada pertanyaan yang meluas di masyarakat tentang televisi di Indonesia. Mengapa setiap kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan teguran kepada beberapa stasiun televisi yang melanggar etika pertelevisian terkesan tidak ada perubahan yang berarti dari tayangan televisi di rumah kita? Masih saja ditemui adegan kekerasan baik fisik maupun mental dan bahkan menyerang martabat orang lain. Yang terbaru tentu saja pertanyaan, mengapa hari tanpa televisi tanggal 20 Juli yang lalu terkesan “gagal” bahkan ada kelompok masyarakat yang menentang kampanye tersebut?

Hegemoni Televisi
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) di tahun 2002 anak-anak menonton televisi selama 30-35 jam, maka pada tahun 2006 angka itu meningkat menjadi 35-40 jam seminggu dengan pilihan acara yang dinilai tidak aman dan tidak sehat (Reny Triwardhani, 2007). Bisa jadi jika penelitian dilakukan lagi di tahun 2008 ini, dalam sehari anak menonton televisi lebih banyak dari waktu mereka untuk tidur apalagi waktu mereka untuk beraktifitas selain menonton televisi.
Alasan pertama mengapa usaha KPI gagal begitu pula kampanye hari tanpa televisi gagal adalah anak telah menjadi audiens potensial. Acara televisi yang sekarang didominasi acara audisi-audisian tak pelak menjadi acara kesukaan anak-anak sehingga perlu dibuatkan format acara audisi untuk anak. Artinya pula, dengan kemasan yang sama seperti orang dewasa bahkan dengan lelucon yang sama serta penggunaan bahasa yang sama, maka anak telah menjadi audiens potensial. KPI gagal dan kampanye gagal, karena anak menjadi alasan pembenar atau tameng bagi industri televisi, karena faktanya acara yang ditentang KPI maupun LSM Anak justru itu yang disukai oleh masyarakat yang direpresentasikan oleh audiens anak-anak.


Alasan kedua adalah masyarakat Indonesia dewasa ini telah menjelma menjadi masyarakat yang super sibuk. Orang tua sudah disibukkan oleh pekerjaan rutinitas mereka, sehingga tidak ada waktu untuk sekedar menemani anaknya menonton televisi sekaligus memilih program acara yang sesuai dengan anaknya. Untuk menemani anaknya saja tidak mampu apalagi untuk berpikir kreatif tentang alternatif kegiatan selain menonton televisi. Televisi pun berubah menjadi benda hidup yang menemani anak mereka. Kemudian dimana dan bagaimana peran orang tua bagi anaknya? secara jujur harus dijawab, mereka sudah tidak ada lagi.
Alasan ketiga adalah keluarga telah terhegemoni televisi. Seburuk apapun acara televisi bagi anaknya, tetap baik bagi orang tua. Bagi mereka, kegiatan menonton televisi adalah kegiatan yang paling murah seperti yang sering didengung-dengungkan oleh pihak industri pertelevisian. Mengapa hal ini bisa terjadi? lagi-lagi faktor orang tua yang tidak mau direpotkan berpikir alternatif rekreasi visual selain menonton televisi. Hegemoni televisi dengan keywordnya yang jelas, yaitu rekreasi paling murah bagi keluarga lagi-lagi menjadi alasan sangat besar untuk menunjukkan sebenarnya keluarga Indonesia yang sangat tidak berdaya.
Negosiasi Menonton Televisi
Proses negosiasi sebagai counter atas mazhab Frankfurt yang sering berteori, bahwa media sangat kuat dalam mengkooptasi dan mengkonstruksi budaya sebenarnya menjadi ”senjata” atas kegiatan menonton televisi. Negosiasi muncul diantaranya melalui remote control. Ia dapat mengganti channel jika acara televisi dirasa tidak bagus untuk perkembangan anak. Namun remote control juga lambat laun berubah menjadi simbol atas ketidakberdayaan penontonnya untuk memencet tombol off. Ketidakberdayaan itulah yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat kita.
Di negara maju, negara tidak membentuk komisi-komisi yang bertugas mengontrol urusan domestik seperti televisi. Di sana, justru kelompok-kelompok sipil seperti guru TK, tokoh masyarakat bahkan masyarakat-masyarakat yang hanya sekedar peduli terhadap tayangan televisi itulah yang membentuk semacam KPI. Mereka terbukti menjadi palu godam yang sangat kuat dalam menekan pihak industri televisi untuk memperhatikan hak-hak anak bahkan masyarakat umum tentang kualitas acara televisi.

Bagaimana dengan masyarakat kita? tidak bermaksud skeptis, namun selama masyarakat kita terhegemoni dengan acara audisi-audisian seperti yang dipertontonkan oleh televisi, maka jangan berharap ada kekuatan kualitas dari tayangan televisi. Karena bukankah citra kualitas masyarakat kita dapat dilihat dari kualitas acara televisi yang mereka tonton? Jika masyarakat sipil kita kuat dalam mengkritisi televisi mungkin tidak diperlukan lagi KPI atau bahkan tidak diperlukan lagi kampanye hari tanpa televisi, karena masyarakat sudah sadar bahwa tanpa televisi pun mereka tetap bisa hidup.***