CATATAN IKLAN POLITIK PILKADA JATIM
Ada mitos dalam Yunani Kuno tentang seorang dewa yang bernama Narcius. Dewa Narcius dikenal karena dalam mitosnya tersebut ia terpesona oleh kerupawanannya sendiri. Sampai-sampai ketika ia berkaca di kolam, ada versi yang menyebutkan Dewa Narcius akhirnya mati tercebur di kolam karena terbuai oleh sikapnya yang seolah tidak percaya mempunyai rupa yang elok. Sekian lama ia bercermin hingga ia terbuai kemudian jatuh di kolam dan akhirnya mati.
Dari mitos ini pula yang kemudian memunculkan istilah yang merujuk pada sikap memuja pada diri sendiri atau dikenal dengan narsis.
Rakyat Jawa Timur telah melakukan pemilihan kepala daerahnya secara langsung. Pada saat-saat ini pula, di berbagai kota di Jawa Timur marak iklan politik para calon gubernur yang bertebaran dari jalan hingga media massa lokal. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sudah sejauh mana iklan tersebut sangat efektif sebagai media pengenalan visi dan misinya kepada rakyat di Jawa Timur atau malahan iklan tersebut hanyalah alat untuk melakukan pemujaan pada diri sendiri alias tidak bisa berkata apa-apa kepada masyarakat?
Rakyat Jawa Timur telah melakukan pemilihan kepala daerahnya secara langsung. Pada saat-saat ini pula, di berbagai kota di Jawa Timur marak iklan politik para calon gubernur yang bertebaran dari jalan hingga media massa lokal. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sudah sejauh mana iklan tersebut sangat efektif sebagai media pengenalan visi dan misinya kepada rakyat di Jawa Timur atau malahan iklan tersebut hanyalah alat untuk melakukan pemujaan pada diri sendiri alias tidak bisa berkata apa-apa kepada masyarakat?
Politik Iklan
Seyogyanya iklan memang dibuat untuk diantaranya sebagai alat penyampai pesan tentang manfaat maupun keuntungan orang menggunakan sebuah produk apalagi dalam konteks produk yang baru. Tahapan selanjutnya iklan dibuat pada level citra, artinya orang menggunakan produk tersebut sudah tidak lagi pada tataran guna (manfaat) tetapi pada tataran nilai (citra), tentu saja level citra ini didapat jika produk tersebut sudah diakui oleh khalayak umum atau telah teruji manfaat dan nilainya. Tahap inilah yang menentukan konsumen juga ikut merasakan kebanggaannya sebagai bagian dari produk tersebut. Sehingga tidak heran orang akan bangga mengonsumsi produk yang bersifat ’jaminan mutu’ meski dengan harga tinggi, bahkan meskipun tidak ikut membeli produknya asalkan membeli merchandise dengan logo brand saja sudah bangganya bukan main. Inilah politik iklan!
Bagaimana dengan iklan politik para calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur? Tidak disangsikan lagi, masyarakat pada akhirnya jadi tahu wajah para kontestan Pilkada mendatang. Politik iklan dengan cara menyingkat-singkat nama kontestan menjadi hal yang sangat jamak ditemui seperti halnya Pilkada di daerah lain di Indonesia. Salam, SR, Kaji, Achsan dan Karsa adalah contoh cara mereka mengenalkan diri pada masyarakat. Cukup disini saja? Tidak! Dengan perencanaan pula, iklan yang mereka sebar juga menaruh foto diri yang dikombinasikan dengan atribut, warna, komposisi dan juga slogan.
Sampai di situ iklan politik yang mereka lakukan sudah sesuai dengan perkiraan. Masyarakat luas jadi tahu siapa yang akan mereka pilih nantinya. Kapasitasnya pun sedikit banyak telah diketahui oleh publik, mereka lebih banyak bermain di level apa, apakah level agamawan, birokrat, pengusaha, politisi ataukah politisi-selebritis? Sudah pada tingkatan apa, apakah lokal, regional ataukah nasional?
Pada level masyarakat jadi tahu nama ”produk”nya, iklan politik itu sudah memainkan tahapan awal dari politik iklan. Sudah cukup sampai disini? Ya. Iklan politik para kontestan tersebut sudah bermain di level perkenalan dan selesai. Dalam artian, iklan politiknya hanya berhasil pada kemasan saja. Tidak ada yang baru pada iklan-iklan politik di Jawa Timur. Semuanya sama dan cenderung paritas. Secara transparan, masyarakat tidak mengetahui urgensi dan manfaat apa sehingga masyarakat memilihnya. Pada level ini saja iklan politik tersebut telah gagal apalagi pada level citra, iklan politik itu tidak berkata apa-apa.
Narsisnya Kontestan
Dalam kajian sosial budaya, ada pendekatan yang bernama semiotika untuk membaca fenomena sosial termasuk iklan-iklan yang saling beradu dalam rangka Pilkada tersebut. Secara sederhana, kajian semiotik dipahami untuk membaca data lingual dan data visual berdasarkan tanda-tanda yang saling berhubungan. Dugaan (guess) dalam membaca data yang terkandung dalam iklan tersebut diperlukan sepanjang minimnya pesan kunci (anchorage) yang membantu pemahaman masyarakat luas.
Kopiah, baju koko dan jilbab adalah atribut yang khas dilakukan oleh hampir semua kontestan. Iklan tersebut seolah ingin menegaskan bahwa mayoritas pemilih di Jawa Timur adalah muslim (indexical). Sehingga berbagai tindakan yang dilakukan oleh mereka adalah rajinnya blusukan di pondok pesantren, masjid maupun aktif mengadakan pengajian. Jas dan dasi adalah atribut lain yang menegaskan keberadaannya pada level menengah ke atas. Pada tataran ini sebenarnya sudah cukup memberi gambaran adanya oposisi biner, kelas atas dan kelas bawah, birokrat maupun tidak, kaya ataupun miskin. Sehingga sebenarnya tidak masuk akal jika ada pendukung yang emosional hingga melakukan kekerasan ketika calonnya kalah, karena sebenarnya yang mereka bela mati-matian itu berada pada posisi ekonomi dan sosial yang berlainan juga.
Belum lagi penampilan fisik, seperti kumis, mata dan hanya menonjolkan senyuman memberikan makna yang tidak hanya berkaitan dengan keindahan foto tetapi jika diperhatikan juga dapat menimbulkan dugaan bias gender. Seolah-olah yang bisa memberikan kemajuan bagi masyarakat Jawa Timur hanyalah laki-laki. Hal ini pun juga masih diperkuat dengan iklan-iklan yang menonjolkan juga gelar di depan maupun di belakang namanya. Apa urgensi dari pencantuman gelar akademik di ranah publik seperti ini? Dugaan-dugaan semiotik itulah yang akhirnya muncul dikarenakan minimnya atau bahkan tidak adanya pesan penting dalam iklan tersebut.
Tidak ada pesan apapun yang mau dikatakan tetapi tampilan diri yang diutamakan. Tanpa bermaksud hati merendahkan iklan politik yang sudah dibuat, tetapi Pilkada adalah keputusan yang menuntut kebenaran dalam memilih, sehingga diharapkan iklan tidak hanya berbicara pada wilayah kemasan saja yang indah-indah tetapi juga memproyeksikan tujuannya ikut berkontestasi. Menjadi hal yang bagus lagi, jika iklan yang dibuat membuat masyarakat cerdas berpikir mengenai pilihannya. Jangan berikan masyarakat janji-janji, tetapi berikan masyarakat pencerahan dalam hal motivasi bagaimana memilih pemimpin yang benar bukan pemimpin yang narsis. Matinya Narcius karena terbuai dengan keindahan wajahnya sendiri. Jangan sampai calon pemimpin terpesona karena keberhasilannya di masa lalu, tetapi biarkan masyarakat terpesona pada apa yag akan dilakukan di masa mendatang.
Meski akhirnya dua kontestan akan bertarung kembali dalam putaran kedua, yaitu Kaji dan Karsa, saya masih melihat bahwa yang menjadi pemenang nantinya tetaplah Golputers, setelah pada putaran pertama berhasil memukul telak pasangan-pasangan yang ada.***