headnya

Tuesday, October 23, 2007

MATINYA KREATIFITAS KREATOR VISUAL

Buku seni dan desain sedang membanjir sekarang di toko-toko buku. Daya beli pun meningkat meski tidak peduli berapa duit buku tersebut terbeli. Memang biasanya buku jenis ini dijual dengan harga relatif mahal, khususnya buku yang menghadirkan contoh gambar yang banyak, full colour dan tebal halamannya. Namun hal ini tidak mengurangi daya beli dari kreator visual di Indonesia, bahkan mahasiswa seni jaman sekarang dengan mudahnya dapat ditemui sedang menenteng buku seni dan desain import. Pemandangan yang tentu berbeda di dekade ‘80-‘90-an. Perpustakaan di kampus seni pada saat itu banyak diisi oleh buku dengan halamannya yang sobek, karena ada gambar di buku tersebut yang diambil oleh peminjamnya. Perpustakaan menjadi satu-satunya tempat sebuah buku tersedia karena minimnya daya beli mahasiswa untuk membeli buku. Sebuah pemandangan yang secara ekonomis berbeda dengan kehidupan mahasiswa jaman sekarang yang gampang mendapatkan buku seni dan desain di toko buku modern.

Buku pun menjelma dan berubah muka menjadi simbol gaya hidup seperti yang difenomenakan oleh film Ada Apa Dengan Cinta beberapa tahun yang lalu. Sekejap remaja-remaja di Indonesia menggilai buku sastra. Kejadian yang sama terulang kembali dalam bidang pendidikan. Seni rupa yang lagi booming seiring dengan perkembangan wacana terutama program desain yang banyak dibuka di perguruan tinggi menjadikan buku import yang lagi membanjir bagaikan hujan di musim kemarau. Dicari dan ditunggu bila ada buku desain yang terbaru.

Cari Referensi atau Cari Gambar?
Saya tertarik dengan Hermawan Tanzil (desainer grafis dan pemilik LeBoYe Jakarta) yang mengungkapkan ketertarikannya tidak saja pada buku desain grafis, namun juga buku-buku yang menurutnya dapat menunjang esensi sebuah desain. Bukan masalah pada memiliki buku desain apa tidak, namun pada esensi serta tujuan mengapa membaca buku. Untuk seorang Hermawan Tanzil membaca buku psikologi, filsafat dan sastra folklore tentu bukan hal yang asing. Berbanding terbalik dengan desainer grafis lain yang memajang buku-buku desain grafis import berrak-rak entah itu kumpulan karya terbaik atau karya pemenang award, desainer grafis yang demikian tentunya juga mempunyai tujuan membaca buku sendiri. Sekali lagi bukan pada kita punya buku apa yang sesuai dengan bidang kita. Esensinya adalah pada kemungkinan terintegrasinya sebuah bidang ilmu yang ditekuni dengan bidang ilmu yang lain.

Desain grafis berkaitan dengan humanity. Karena itulah agaknya aneh ketika buku dibeli karena ingin melihat ‘referensi’ (baca: gambarnya saja) lain. Melihat gambar pada buku desain grafis tidak ada hubungannya dengan kreatifitas desainer. Malah yang terlihat adalah kemungkinan terjadinya ’transfer gaya’ seorang desainer ke desainer yang lain dan berimbas pada ketidak-aslian sebuah ide.

Bagi mahasiswa, ada kecenderungan pencarian latar belakang sebuah karya desain dibuat (baca: konsep) tidak terlalu dipermasalahkan. Padahal kalau ditilik lebih jauh perkembangan desain grafis itu juga selaras dengan perkembangan kehidupan manusianya. Insight di sekeliling kreator visual berpengaruh pada karya yang dibuat. Seharusnya bagi mahasiswa, kondisi demikian dimaknai pada keragaman bentuk maupun cara pandang berkarya visual. Membuat karya visual sekedar ingin dilihat seperti karya desainnya si A, si B di negara C atau di negara D seperti yang ada di buku E dan buku F, bahkan ada yang termotivasi sebagai pengikutnya desainer G atau desainer H tanpa terlebih dahulu tahu pada latar belakang hingga insight karya dibuat tidak membuat sebuah perkembangan budaya visual di Indonesia maju secara signifikan.

Membaca buku desain sebagai referensi sah-sah saja dan malah dibutuhkan untuk melihat perkembangan. Namun jika buku tersebut yang seharusnya menjadi ’jendela’ berubah fungsi menjadi media yang justru membuka kemungkinan matinya kreatifitas maka yang berdosa bukanlah bukunya melainkan pembacanya yang tidak mengerti hakikat sebuah buku itu diterbitkan. ***

Labels:

SELAMAT DATANG SAMPAH VISUAL!

Media massa di Jawa Timur, khususnya Surabaya diramaikan dengan perilaku ‘berpromosi’ yang dilakukan oleh para calon gubernur Jawa Timur dalam menarik simpati masyarakat melalui medium poster, stiker bahkan juga spanduk (Metropolis Jawa Pos, 12/7/2007). Tiang-tiang listrik, kaca bemo, becak dan tembok di Surabaya sudah ramai dengan tempelan stiker, poster dan spanduk yang bergelantungan di jalan. Pejabat pemerintah kota maupun propinsi menganggap hal ini bukan sebagai bentuk merusak pemandangan kota.

Bomber graffiti maupun personel tim sukses calon gubernur yang menempel poster dan stiker di tembok kota memiliki motivasi yang berbeda tetapi secara teknis sama. Mereka melakukan di bidang yang bukan miliknya dan secara tersirat memiliki aspek repetisi atau perulangan dengan medium yang sama. Stiker, poster dan graffiti memiliki spirit seni yang sama dalam membidik ‘konsumen’ di jalanan entah untuk mengekspresikan dirinya maupun membuat wajah kota menjadi lebih artistik. Konsep ini sering disebut sebagai street art. Namun, lihatlah perlakuan terhadap keduanya berbeda! Yang satu dihukum, tetapi yang lainnya dibiarkan.

Kreatifitas Dipertanyakan
Saat medium promosi dilakukan dalam rangka mempopulerkan seorang kandidat pemimpin, nyaris tidak ada yang berubah dengan medium-medium promosi tersebut dari tahun ke tahun, bahkan antar wilayah pun tidak ada sesuatu yang baru dan segar. Serba sama dan seragam pemakaian mediumnya. Kaus, stiker, poster dan spanduk seakan-akan menjadi medium yang wajib dipakai untuk mempromosikan seorang calon ketua RT, ketua RW hingga calon gubernur dan calon presiden.

Stiker yang versinya hanya satu dan penempelannya diulang-ulang pada bidang yang sama secara visual merupakan bentuk yang tidak berkonsep matang, tidak artistik dan tidak memperhitungkan ekologi visual begitu pula pada medium poster yang ditempelkan di tembok. Belum lagi baliho yang asal pasang dan tidak memedulikan faktor lingkungan mengakibatkan efek tumpang tindih yang tidak menarik bagi indera mata.

Dalam konteks kampanye pemilihan gubernur Jawa Timur memang perlu dipikirkan kreatifitas dalam menggunakan medium maupun visual. Visi dan misi dari calon gubernur mendatang memang diperlukan buat masyarakat. Namun cara penyampaiannya pun perlu strategi, terutama dalam hal menarik perhatian masyarakat. Tidak hanya sekedar memasang baliho,menempel poster atau stiker, alih-alih ingin mendapat perhatian masyarakat yang didapatkan malah komunikasi yang berlebihan dan ujung-ujungnya masyarakat alergi dengan janji.

Yang mesti dilakukan sekarang oleh mereka (khususnya tim sukses) adalah berpikir kreatif. Bila hanya sanggup menumpuk sampah visual maka mereka mengulang-ulang kesalahan yang sama dan berkelakuan seperti halnya mereka yang tidak peduli pada artistik dan ekologi. Jika ada kandidat menempel stiker, kenapa memilih medium yang sama untuk diingat massa?jika ada kandidat menempel poster sampai memanjang kayak kereta api dan itupun hanya perulangan, mengapa harus memilih medium yang sama untuk membangkitkan minat massa? Kalaupun tetap yang dipilih medium yang sama, maka pikirkanlah konsepnya secara matang sehingga secara visual ada kebaruan dan semangat yang menyegarkan.

Ada yang berpendapat, penampilan menentukan aura sebagai pemimpin. Pemikiran yang sempit sehingga tidak heran seratus persen medium kampanye kandidat-kandidat ini selalu menempatkan foto diri mereka sebagai magnet. Begitu baliho atau juga spanduk terpasang, maka foto mereka akan ’bersaing’ ketat dengan Agnes Monica atau Adjie Massaid dalam medium jalanan dan berujung pada medium periklanan yang sama sekali tidak artistik. Sangat tidak artistik bila dibandingkan dengan mural, graffiti maupun karya stencil yang dikerjakan oleh street artist di jalanan.
Bagi tim sukses tentunya perlu berpikir dengan ide yang lebih segar untuk mengenalkan kandidat Anda daripada sekedar menumpuk sampah visual yang sudah terlanjur menumpuk di Surabaya. Bagi pemerintah kota maupun propinsi senyampang masih belum dimulainya agenda kampanye, maka perlu tindakan yang efektif dan adil untuk menertibkan sampah visual dari para calon gubernur itu. Street artist yang berkomunitas di kota-kota di Jawa Timur tentu tidak menerima tindakan mendua dari pemerintah.

Bagi calon gubernur, bila Anda berbicara masalah lingkungan maka mulailah sesuatu dari yang paling kecil. Membuat medium kampanye yang tidak artistik, tidak segar secara ide dan monoton sehingga membuat efek perwajahan kota semakin semrawut sama artinya dengan membuat sampah visual semakin menumpuk di Surabaya.***

Labels: