MATINYA KREATIFITAS KREATOR VISUAL
Buku seni dan desain sedang membanjir sekarang di toko-toko buku. Daya beli pun meningkat meski tidak peduli berapa duit buku tersebut terbeli. Memang biasanya buku jenis ini dijual dengan harga relatif mahal, khususnya buku yang menghadirkan contoh gambar yang banyak, full colour dan tebal halamannya. Namun hal ini tidak mengurangi daya beli dari kreator visual di Indonesia, bahkan mahasiswa seni jaman sekarang dengan mudahnya dapat ditemui sedang menenteng buku seni dan desain import. Pemandangan yang tentu berbeda di dekade ‘80-‘90-an. Perpustakaan di kampus seni pada saat itu banyak diisi oleh buku dengan halamannya yang sobek, karena ada gambar di buku tersebut yang diambil oleh peminjamnya. Perpustakaan menjadi satu-satunya tempat sebuah buku tersedia karena minimnya daya beli mahasiswa untuk membeli buku. Sebuah pemandangan yang secara ekonomis berbeda dengan kehidupan mahasiswa jaman sekarang yang gampang mendapatkan buku seni dan desain di toko buku modern.
Buku pun menjelma dan berubah muka menjadi simbol gaya hidup seperti yang difenomenakan oleh film Ada Apa Dengan Cinta beberapa tahun yang lalu. Sekejap remaja-remaja di Indonesia menggilai buku sastra. Kejadian yang sama terulang kembali dalam bidang pendidikan. Seni rupa yang lagi booming seiring dengan perkembangan wacana terutama program desain yang banyak dibuka di perguruan tinggi menjadikan buku import yang lagi membanjir bagaikan hujan di musim kemarau. Dicari dan ditunggu bila ada buku desain yang terbaru.
Cari Referensi atau Cari Gambar?
Saya tertarik dengan Hermawan Tanzil (desainer grafis dan pemilik LeBoYe Jakarta) yang mengungkapkan ketertarikannya tidak saja pada buku desain grafis, namun juga buku-buku yang menurutnya dapat menunjang esensi sebuah desain. Bukan masalah pada memiliki buku desain apa tidak, namun pada esensi serta tujuan mengapa membaca buku. Untuk seorang Hermawan Tanzil membaca buku psikologi, filsafat dan sastra folklore tentu bukan hal yang asing. Berbanding terbalik dengan desainer grafis lain yang memajang buku-buku desain grafis import berrak-rak entah itu kumpulan karya terbaik atau karya pemenang award, desainer grafis yang demikian tentunya juga mempunyai tujuan membaca buku sendiri. Sekali lagi bukan pada kita punya buku apa yang sesuai dengan bidang kita. Esensinya adalah pada kemungkinan terintegrasinya sebuah bidang ilmu yang ditekuni dengan bidang ilmu yang lain.
Desain grafis berkaitan dengan humanity. Karena itulah agaknya aneh ketika buku dibeli karena ingin melihat ‘referensi’ (baca: gambarnya saja) lain. Melihat gambar pada buku desain grafis tidak ada hubungannya dengan kreatifitas desainer. Malah yang terlihat adalah kemungkinan terjadinya ’transfer gaya’ seorang desainer ke desainer yang lain dan berimbas pada ketidak-aslian sebuah ide.
Bagi mahasiswa, ada kecenderungan pencarian latar belakang sebuah karya desain dibuat (baca: konsep) tidak terlalu dipermasalahkan. Padahal kalau ditilik lebih jauh perkembangan desain grafis itu juga selaras dengan perkembangan kehidupan manusianya. Insight di sekeliling kreator visual berpengaruh pada karya yang dibuat. Seharusnya bagi mahasiswa, kondisi demikian dimaknai pada keragaman bentuk maupun cara pandang berkarya visual. Membuat karya visual sekedar ingin dilihat seperti karya desainnya si A, si B di negara C atau di negara D seperti yang ada di buku E dan buku F, bahkan ada yang termotivasi sebagai pengikutnya desainer G atau desainer H tanpa terlebih dahulu tahu pada latar belakang hingga insight karya dibuat tidak membuat sebuah perkembangan budaya visual di Indonesia maju secara signifikan.
Membaca buku desain sebagai referensi sah-sah saja dan malah dibutuhkan untuk melihat perkembangan. Namun jika buku tersebut yang seharusnya menjadi ’jendela’ berubah fungsi menjadi media yang justru membuka kemungkinan matinya kreatifitas maka yang berdosa bukanlah bukunya melainkan pembacanya yang tidak mengerti hakikat sebuah buku itu diterbitkan. ***
Buku pun menjelma dan berubah muka menjadi simbol gaya hidup seperti yang difenomenakan oleh film Ada Apa Dengan Cinta beberapa tahun yang lalu. Sekejap remaja-remaja di Indonesia menggilai buku sastra. Kejadian yang sama terulang kembali dalam bidang pendidikan. Seni rupa yang lagi booming seiring dengan perkembangan wacana terutama program desain yang banyak dibuka di perguruan tinggi menjadikan buku import yang lagi membanjir bagaikan hujan di musim kemarau. Dicari dan ditunggu bila ada buku desain yang terbaru.
Cari Referensi atau Cari Gambar?
Saya tertarik dengan Hermawan Tanzil (desainer grafis dan pemilik LeBoYe Jakarta) yang mengungkapkan ketertarikannya tidak saja pada buku desain grafis, namun juga buku-buku yang menurutnya dapat menunjang esensi sebuah desain. Bukan masalah pada memiliki buku desain apa tidak, namun pada esensi serta tujuan mengapa membaca buku. Untuk seorang Hermawan Tanzil membaca buku psikologi, filsafat dan sastra folklore tentu bukan hal yang asing. Berbanding terbalik dengan desainer grafis lain yang memajang buku-buku desain grafis import berrak-rak entah itu kumpulan karya terbaik atau karya pemenang award, desainer grafis yang demikian tentunya juga mempunyai tujuan membaca buku sendiri. Sekali lagi bukan pada kita punya buku apa yang sesuai dengan bidang kita. Esensinya adalah pada kemungkinan terintegrasinya sebuah bidang ilmu yang ditekuni dengan bidang ilmu yang lain.
Desain grafis berkaitan dengan humanity. Karena itulah agaknya aneh ketika buku dibeli karena ingin melihat ‘referensi’ (baca: gambarnya saja) lain. Melihat gambar pada buku desain grafis tidak ada hubungannya dengan kreatifitas desainer. Malah yang terlihat adalah kemungkinan terjadinya ’transfer gaya’ seorang desainer ke desainer yang lain dan berimbas pada ketidak-aslian sebuah ide.
Bagi mahasiswa, ada kecenderungan pencarian latar belakang sebuah karya desain dibuat (baca: konsep) tidak terlalu dipermasalahkan. Padahal kalau ditilik lebih jauh perkembangan desain grafis itu juga selaras dengan perkembangan kehidupan manusianya. Insight di sekeliling kreator visual berpengaruh pada karya yang dibuat. Seharusnya bagi mahasiswa, kondisi demikian dimaknai pada keragaman bentuk maupun cara pandang berkarya visual. Membuat karya visual sekedar ingin dilihat seperti karya desainnya si A, si B di negara C atau di negara D seperti yang ada di buku E dan buku F, bahkan ada yang termotivasi sebagai pengikutnya desainer G atau desainer H tanpa terlebih dahulu tahu pada latar belakang hingga insight karya dibuat tidak membuat sebuah perkembangan budaya visual di Indonesia maju secara signifikan.
Membaca buku desain sebagai referensi sah-sah saja dan malah dibutuhkan untuk melihat perkembangan. Namun jika buku tersebut yang seharusnya menjadi ’jendela’ berubah fungsi menjadi media yang justru membuka kemungkinan matinya kreatifitas maka yang berdosa bukanlah bukunya melainkan pembacanya yang tidak mengerti hakikat sebuah buku itu diterbitkan. ***
Labels: Book