KUMPUL BUKAN ASAL KUMPUL
Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) Surabaya, Perlukah?
Selasa, 12 September 2006 sore hari, terjadi percakapan antar mahasiswa di kampus, saya namai mereka A dan B. Rupanya mereka teman lama yang dipertemukan kembali di sebuah medium kecil bernama toilet. Mereka saling menanyakan kabar masing-masing hingga tiba pada percakapan mengenai kapan lulus. Mahasiswa A yang beda jurusan dengan si B tersebut rupanya kuliah di jurusan desain komunikasi visual yang baru saja masuk jadi mahasiswa, jadi menurut dia lulusnya masih lama. Kemudian si B dengan enteng berujar kepada si A,”Wah, aku pusing, tapi harus tahun ini sudah lulus. Kalau kamu pasti cepet (lulus) lha wong kuliah cuman nggambar-nggambar aja nggak pakai mikir kan,?”…tahu dikatakan demikian, si A rupanya agak sewot. Percakapan mereka selesai ketika tahu saya keluar dari salah satu kamar di toilet tersebut.
Kamis, 14 September 2006, sebuah asosiasi yang diberi nama Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dilaunching di Surabaya sebagai kota tujuan kedua setelah Jakarta. Khusus untuk Surabaya, tampaknya perjuangan ini dilakukan dengan jerih payah yang tidak sedikit bahkan ‘pendekar-pendekar’ desain grafis di Jakarta yang selama ini menyuarakan pentingnya dibentuk asosiasi bagi desainer grafis rela ‘turun gunung’ dengan modal mereka sendiri. Sebuah upaya yang tidak bisa dikatakan remeh. Darah-darah muda dari desainer grafis Surabaya pun tampaknya sangat antusias demi mewujudkan gagasan tersebut.
Memang, konon pernah ada yang namanya Asosiasi Perancang Grafis Indonesia (APGI), tetapi seiring dengan perjalanan waktu, entah kenapa APGI ini tidak terdengar lagi gaungnya. Sayang memang.
Asosiasi, Perlukah?
Tanpa disadari oleh banyak pihak khususnya di Surabaya, dunia desain grafis memasuki awal baru yang menggembirakan seiring semakin menjamurnya lembaga pendidikan yang menyediakan program studi tersebut. Selain itu semakin bertumbuhnya jumlah media serta semakin majemuknya muatan dalam media juga mengakibatkan semakin bertumbuh pula desain grafis dalam usahanya sebagai salah satu alat kampanye secara visual. Tentu saja hal ini juga dibarengi oleh semakin meningkatnya permintaan mengangkat citra produk, institusi maupun personal dari Surabaya maupun luar Surabaya. Hal ini menunjukkan telah adanya kesadaran perusahaan maupun personal bahwa visual mempunyai kekuatan menembus keputusan yang melulu tidak berkaitan dengan hal yang rasional namun juga kepada intuisi. Kepekaan konsumen rupanya sudah mulai tersadarkan.
Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah tingkat apresiasi konsumen sudah setara dengan nilai yang dikeluarkan oleh desainer grafis untuk mencapai tahap yang dinamakan kreatif itu? Rupanya hal inilah yang menjadi tantangan bagi desainer grafis di Surabaya. Penghargaan profesi desainer grafis ternyata masih belum setara dengan profesi lainnya seperti dokter, arsitek maupun desainer interior. Bahkan untuk ukuran Surabaya, desainer grafis masih dianggap sebagai profesi otot tanpa otak.
Karena hal itulah, sangat mudah ditemui klien mapan yang ingin citra perusahaannya tambah bagus melalui pencitraan visual namun sebisa mungkin dapat dicapai dengan biaya yang murah. Atau dalam kasus yang lain, klien dengan seenaknya membatalkan kontrak kerjasama sementara desainer grafis rajin mengajukan approve desainnya. Namun ketika desainer grafis yang diputus kontraknya tersebut sedang membaca koran atau majalah, ternyata karya yang dibuatnya jadi dipakai oleh perusahaan tersebut tanpa sepeser pun penghargaan. Lebih parah lagi, desainer grafis tidak mempunyai landasan hukum yang kuat yang sebenarnya bisa diperoleh bila ada asosiasi yang membantu dan melindunginya.
Hal ini juga diperparah lagi oleh ‘oknum’ yang menamakan dirinya desainer grafis namun berbekal penawaran harga yang jauh di bawah layak bagi sebuah profesi keahlian, namun dengan bangga mencantumkan profesi desainer grafis di kartu nama. Belum lagi mereka yang hanya berbekal bisa mengoperasikan teknologi seperti komputer dengan kecanggihan softwarenya tidak didukung oleh konsep kreatif yang memadai. Dengan latar belakang demikian tidaklah heran bila desainer grafis tidak memiliki bargaining power di depan klien.
Karena itulah pembentukan ADGI sebaiknya tidak hanya dicitrakan sebagai asosiasi yang kelihatan terpandang gagah namun tidak mempunyai daya apa-apa terhadap tantangan tersebut. Asosiasi ini harus keluar dari anggapan tentang asosiasi yang mirip seperti arisan, pertemuan keluarga, pembicaraan yang tidak penting bahkan pembagian proyek yang cenderung nepotis hingga asosiasi yang hanya mampu menghimpun iuran dari anggotanya saja. Sebagai gantinya, asosiasi ini mesti memberikan pencerahan tentang profesi, sharing ilmu maupun hal lain yang sifatnya juga edukatif bagi desainer-desainer lokal agar mampu bersaing dengan desainer grafis lain yang mengglobal.
Desainer Grafis: Pembawa Kabar Baik
Kegiatan ‘jemput bola’ dengan berbaur ke masyarakat yang patut diperhatikan oleh ADGI adalah bagaimana mampu membantu masyarakat yang membutuhkan pemecahan masalah secara desain grafis untuk kebutuhan usaha kecil dan menengah (UKM). Hal ini akan menjadi karakteristik bagi ADGI Surabaya yang secara konstruksi sosial sudah terlanjur dekat dengan masyarakat.
Prihatin rasanya bila mengetahui bahwa produk-produk UKM bagus secara produktivitasnya, namun tidak didukung oleh visual branding yang estetik, efektif dan cerdik, hanya karena pihak UKM takut kena biaya mahal dari desainer grafis. Saya jadi teringat dengan ucapan dosen saya dulu, bahwa desainer grafis itu ibarat pembawa berita baik. Kehadiran ADGI harus juga membawa berkah bagi mereka yang membutuhkan manfaatnya tidak hanya bagi desainer grafis, namun masyarakat bawah melalui UKM tentunya juga ingin penampilannya bisa diperhitungkan di tingkat global.
Bila ADGI Surabaya telah berdiri, maka kelahirannya akan memberikan pemahaman, bahwa pekerjaan desainer grafis tidak hanya jago menggambar tetapi lewat bahasa gambarnya mampu memberikan kekuatan visual bagi produk, jasa maupun personal yang membutuhkannya. Ke depannya tidak lagi terdengar orang tua yang melarang anaknya masuk sekolah desain grafis hanya karena anggapan yang turun temurun, bahwa sekolah ‘jenis ini’ tidak pernah mikir atau tidak prospektif, namun profesi desainer grafis akan dihargai sama seperti profesi yang lain dan lebih dulu mapan. Mahasiswa si B dalam cerita saya di bagian atas, saya yakini akan bertobat setelah membaca artikel ini.
ADGI Surabaya, lahirlah dan tunjukkan!....**
Selasa, 12 September 2006 sore hari, terjadi percakapan antar mahasiswa di kampus, saya namai mereka A dan B. Rupanya mereka teman lama yang dipertemukan kembali di sebuah medium kecil bernama toilet. Mereka saling menanyakan kabar masing-masing hingga tiba pada percakapan mengenai kapan lulus. Mahasiswa A yang beda jurusan dengan si B tersebut rupanya kuliah di jurusan desain komunikasi visual yang baru saja masuk jadi mahasiswa, jadi menurut dia lulusnya masih lama. Kemudian si B dengan enteng berujar kepada si A,”Wah, aku pusing, tapi harus tahun ini sudah lulus. Kalau kamu pasti cepet (lulus) lha wong kuliah cuman nggambar-nggambar aja nggak pakai mikir kan,?”…tahu dikatakan demikian, si A rupanya agak sewot. Percakapan mereka selesai ketika tahu saya keluar dari salah satu kamar di toilet tersebut.
Kamis, 14 September 2006, sebuah asosiasi yang diberi nama Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dilaunching di Surabaya sebagai kota tujuan kedua setelah Jakarta. Khusus untuk Surabaya, tampaknya perjuangan ini dilakukan dengan jerih payah yang tidak sedikit bahkan ‘pendekar-pendekar’ desain grafis di Jakarta yang selama ini menyuarakan pentingnya dibentuk asosiasi bagi desainer grafis rela ‘turun gunung’ dengan modal mereka sendiri. Sebuah upaya yang tidak bisa dikatakan remeh. Darah-darah muda dari desainer grafis Surabaya pun tampaknya sangat antusias demi mewujudkan gagasan tersebut.
Memang, konon pernah ada yang namanya Asosiasi Perancang Grafis Indonesia (APGI), tetapi seiring dengan perjalanan waktu, entah kenapa APGI ini tidak terdengar lagi gaungnya. Sayang memang.
Asosiasi, Perlukah?
Tanpa disadari oleh banyak pihak khususnya di Surabaya, dunia desain grafis memasuki awal baru yang menggembirakan seiring semakin menjamurnya lembaga pendidikan yang menyediakan program studi tersebut. Selain itu semakin bertumbuhnya jumlah media serta semakin majemuknya muatan dalam media juga mengakibatkan semakin bertumbuh pula desain grafis dalam usahanya sebagai salah satu alat kampanye secara visual. Tentu saja hal ini juga dibarengi oleh semakin meningkatnya permintaan mengangkat citra produk, institusi maupun personal dari Surabaya maupun luar Surabaya. Hal ini menunjukkan telah adanya kesadaran perusahaan maupun personal bahwa visual mempunyai kekuatan menembus keputusan yang melulu tidak berkaitan dengan hal yang rasional namun juga kepada intuisi. Kepekaan konsumen rupanya sudah mulai tersadarkan.
Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah tingkat apresiasi konsumen sudah setara dengan nilai yang dikeluarkan oleh desainer grafis untuk mencapai tahap yang dinamakan kreatif itu? Rupanya hal inilah yang menjadi tantangan bagi desainer grafis di Surabaya. Penghargaan profesi desainer grafis ternyata masih belum setara dengan profesi lainnya seperti dokter, arsitek maupun desainer interior. Bahkan untuk ukuran Surabaya, desainer grafis masih dianggap sebagai profesi otot tanpa otak.
Karena hal itulah, sangat mudah ditemui klien mapan yang ingin citra perusahaannya tambah bagus melalui pencitraan visual namun sebisa mungkin dapat dicapai dengan biaya yang murah. Atau dalam kasus yang lain, klien dengan seenaknya membatalkan kontrak kerjasama sementara desainer grafis rajin mengajukan approve desainnya. Namun ketika desainer grafis yang diputus kontraknya tersebut sedang membaca koran atau majalah, ternyata karya yang dibuatnya jadi dipakai oleh perusahaan tersebut tanpa sepeser pun penghargaan. Lebih parah lagi, desainer grafis tidak mempunyai landasan hukum yang kuat yang sebenarnya bisa diperoleh bila ada asosiasi yang membantu dan melindunginya.
Hal ini juga diperparah lagi oleh ‘oknum’ yang menamakan dirinya desainer grafis namun berbekal penawaran harga yang jauh di bawah layak bagi sebuah profesi keahlian, namun dengan bangga mencantumkan profesi desainer grafis di kartu nama. Belum lagi mereka yang hanya berbekal bisa mengoperasikan teknologi seperti komputer dengan kecanggihan softwarenya tidak didukung oleh konsep kreatif yang memadai. Dengan latar belakang demikian tidaklah heran bila desainer grafis tidak memiliki bargaining power di depan klien.
Karena itulah pembentukan ADGI sebaiknya tidak hanya dicitrakan sebagai asosiasi yang kelihatan terpandang gagah namun tidak mempunyai daya apa-apa terhadap tantangan tersebut. Asosiasi ini harus keluar dari anggapan tentang asosiasi yang mirip seperti arisan, pertemuan keluarga, pembicaraan yang tidak penting bahkan pembagian proyek yang cenderung nepotis hingga asosiasi yang hanya mampu menghimpun iuran dari anggotanya saja. Sebagai gantinya, asosiasi ini mesti memberikan pencerahan tentang profesi, sharing ilmu maupun hal lain yang sifatnya juga edukatif bagi desainer-desainer lokal agar mampu bersaing dengan desainer grafis lain yang mengglobal.
Desainer Grafis: Pembawa Kabar Baik
Kegiatan ‘jemput bola’ dengan berbaur ke masyarakat yang patut diperhatikan oleh ADGI adalah bagaimana mampu membantu masyarakat yang membutuhkan pemecahan masalah secara desain grafis untuk kebutuhan usaha kecil dan menengah (UKM). Hal ini akan menjadi karakteristik bagi ADGI Surabaya yang secara konstruksi sosial sudah terlanjur dekat dengan masyarakat.
Prihatin rasanya bila mengetahui bahwa produk-produk UKM bagus secara produktivitasnya, namun tidak didukung oleh visual branding yang estetik, efektif dan cerdik, hanya karena pihak UKM takut kena biaya mahal dari desainer grafis. Saya jadi teringat dengan ucapan dosen saya dulu, bahwa desainer grafis itu ibarat pembawa berita baik. Kehadiran ADGI harus juga membawa berkah bagi mereka yang membutuhkan manfaatnya tidak hanya bagi desainer grafis, namun masyarakat bawah melalui UKM tentunya juga ingin penampilannya bisa diperhitungkan di tingkat global.
Bila ADGI Surabaya telah berdiri, maka kelahirannya akan memberikan pemahaman, bahwa pekerjaan desainer grafis tidak hanya jago menggambar tetapi lewat bahasa gambarnya mampu memberikan kekuatan visual bagi produk, jasa maupun personal yang membutuhkannya. Ke depannya tidak lagi terdengar orang tua yang melarang anaknya masuk sekolah desain grafis hanya karena anggapan yang turun temurun, bahwa sekolah ‘jenis ini’ tidak pernah mikir atau tidak prospektif, namun profesi desainer grafis akan dihargai sama seperti profesi yang lain dan lebih dulu mapan. Mahasiswa si B dalam cerita saya di bagian atas, saya yakini akan bertobat setelah membaca artikel ini.
ADGI Surabaya, lahirlah dan tunjukkan!....**
Labels: Art and Design